NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rock n’ Roll

Beberapa orang belum menyelesaikan makan malam ketika seorang tamu mulai menyumbangkan suara di pentas disusul oleh tamu lainnya. Tampaknya tamu yang menyelesaikan lagunya kemudian menunjuk tamu lain untuk naik ke atas pentas membuat panggung tetap terisi karena giliran berantai.

Satu jam lebih acara berlangsung meriah. Panggung silih berganti diisi oleh para tamu. Beberapa tampil memukau, sementara yang lain tampil lucu.

Sesaat Dion memperhatikan Kiki sedang berdiri menikmati tembakau di teras restoran. Di sampingnya, Clarissa duduk berbincang dengan seorang wanita lain. 

Dion yang duduk bersama Wanda, Astrid, dan seorang pengusaha muda di bidang hotel dan restoran meminta izin pada mereka untuk berbicara dengan Kiki.

Sambil berjalan Dion melemparkan senyum membalas sapaan beberapa orang yang duduk berbincang di teras.

“Wah, aku baru tahu kalau Abang merokok.”

Kiki membalikkan badan ke arah Dion yang melangkah ke arahnya. “Ah, aku suka merokok ketika merasa plong. Berbeda dengan orang-orang yang merokok ketika berpikir keras. Aku justru hanya bisa menikmati tembakau ketika merasa gembira.”

“Selamat buat Abang dan Kakak atas rencana pernikahannya,” Dion kembali menyalami Kiki dan Clarissa.

“Lho, bukannya Dion sudah tahu jauh-jauh hari. Kan Dion yang bikin undangannya?” ucap Clarissa heran.

“Benar, Kak. Tapi kan selama undangannya belum disebar atau belum ada pengumuman ke publik seperti yang Abang lakukan tadi, berarti hanya sebatas wacana. Nah sekarang wacana itu sudah resmi menjadi rencana,” jelas Dion membuat Clarissa tersenyum membenarkan.

“September sudah dekat, kami akan sibuk. Aku mungkin akan meminta bantuanmu untuk mengurusi acara pernikahan,” ungkap Kiki pada Dion.

“Siap, Bang! Anytime,” sahut Dion.

Kiki tersenyum mendengar jawaban Dion. “Terima kasih sudah membantu kegiatan tadi pagi. Aku senang lomba maratonnya berjalan sukses. Jauh lebih sukses dari yang kuharapkan.”

“Sama-sama, Bang. Aku juga senang bisa membantu. Lagipula, perusahaan kami justru mendapat keuntungan besar dari kegiatan itu.”

Keduanya terlibat perbincangan membahas kejadian sepanjang pagi hingga malam hari itu. Dari hal-hal lucu sampai hal yang mengejutkan membuat keduanya beserta Clarissa dan wanita lainnya tertawa.

“Oh iya, bukannya menu hari yang dipesan juga ada wine dan bir?” tanya Kiki.

“Aku sengaja menyembunyikannya. Nanti jam 9 baru dikeluarkan supaya tidak lekas habis. Lagipula, ini aku ingin meminta Abang untuk memimpin toast dengan minuman itu. Bagaimana, Bang?”

“Wah! Jangan aku lagi dong! Hmm, suruh si Indra saja memimpin toast dan memberi sambutan supaya dia ada kerjaan. Dari tadi dia cuma berusaha mendekati si Meyleen saja.”

Dion mengangguk setuju. Merasa saatnya tepat, ia mulai menyampaikan maksudnya menghampiri Kiki di teras itu. “Kalau saatnya pas, aku ingin membicarakan sesuatu, Bang! Bukan hal teramat penting, sih.”

“Soal apa? Bilang saja! Jangan pake intro seperti itu.”

Dion pun menceritakan perihal Karenia yang ingin menyewa properti di kawasan real estate yang sedang dikembangkan oleh perusahaan keluarga Sutan.

“Itulah, Bang. Si Karenia itu ingin bertemu secara langsung dengan Abang karena katanya mereka selalu gagal mencapai kesepakatan dengan manajemen setelah beberapa kali pertemuan,” jelas Dion.

“Usahanya di bidang apa?”

“Fitness. Aku juga member mereka, begitulah aku mengenalnya.”

“Hmm. Kenapa tidak pernah ada yang melaporkan itu kepadaku. Bagian komersil di deretan terdepan itu memang disewakan. Kami sengaja memilih-milih penyewa karena ingin memprioritaskan usaha yang menyediakan layanan pada warga seperti toko makanan, restoran atau kafe, supermarket, laundry dan fitness.”

“Begini saja, Selasa pagi ini aku akan berada di sana sampai tengah hari. Dia bisa menemuiku di sana. Oh iya, Dion harus menemaninya untuk menemuiku. Sekalian agar Dion bisa melihat-lihat rumah di situ,” tambah Kiki.

“Mana mungkin aku sanggup beli rumah di tempat itu.”

“Siapa yang suruh beli. Aku kan bilang lihat-lihat,” sahut Kiki bercanda.

“Iya, Bang. Aku pasti ke sana bersama dia.”

Tapi baru saja menyelesaikan kalimatnya, Dion kaget mendengar Wanda setengah berteriak memanggilnya dari pintu teras restoran.

“Bang, aku tinggal dulu,” ujar Dion pada Kiki sebelum melangkah mendekati Wanda.

“Jangan lupa Selasa pagi,” sahut Kiki setengah berteriak.

Ketika mendekati Wanda, wanita itu langsung saja menarik tangan Dion dan mengajaknya berjalan menuju panggung.

“Batamang akang manyanyi,” ujar Wanda yang terus saja menarik tangan Dion.

Seseorang telah menunjuk Wanda sebagai penampil berikutnya. Sepertinya sudah menjadi aturan tak tertulis, yang ditunjuk tidak boleh menolak.

Di atas pentas, Wanda lantas sibuk membolak-balik buku lagu sementara Dion hanya menatapi buku, menunggu wanita itu menentukan pilihan.

Dion mengangguk setuju ketika Wanda menujuk sebuah lagu Ambon berjudul “Parcuma” yang kala itu sedang populer bersama Nanaku Group. Dion tak berkeberatan karena beberapa kali menyanyikannya bersama penghuni indekos.

Ketika Wanda berjalan ke arah pengiring musik, Dion memanfaatkan momen itu untuk memberikan pengumuman karena ia melihat jarum pendek jam dinding sudah mendekati angka 9.

“Setelah nyanyian ini, kita akan mengadakan toast sebagai ungkapan syukur atas suksesnya kegiatan maraton dan toast untuk persahabatan malam ini. Kami berharap Pak Indra bersedia untuk memimpin toast sekaligus memberi sepatah dua patah sambutan.” 

“Nah, setelah toast, kami juga meminta Pak Indra untuk menyumbangkan satu, dua atau beberapa lagu sekaligus,” kata Dion membuat para tamu tertawa dan bertepuk tangan gembira. Sementara Indra yang sedang berbincang dengan Meyleen mengangguk kepalanya tanda persetujuan.

Seperti sejatinya lagu Parcuma, penyanyi pria lah yang menyanyikan bait pertama.

“Angin bawa kabar ka sana, bawa beta pung pasan par dia di sana.”

Dion memulai menyanyi dengan suara seraknya yang khas membuat para penonton bersorak bertepuk tangan.

Tapi penonton kembali bersorak dan bertepuk tangan ketika mendengar Wanda menyanyi dengan suara lembut feminin namun juga melengking tinggi. Mereka kemudian tahu alasan Wanda terpilih menjadi juri kontes menyanyi siang tadi. Wanita itu menyanyi dengan sangat baik.

Penonton kembali takjub ketika mereka memasuki bait ketiga yang dinyanyikan secara bersamaan oleh wanita dan pria. Mereka takjub dengan harmoni suara yang dihasilkan oleh Wanda dan Dion.

Meyleen yang menyaksikan keduanya bernyanyi bersama menjadi cemburu. Apalagi ketika di reff, Dion melantunkan lagu dengan suara tingginya sambil menatap Wanda serius.

Wanda sendiri menjadi gugup ketika mendapati Dion menyanyikan reff itu dengan penghayatan sambil menatapnya dalam-dalam. Dada Wanda berdegup keras karena merasa tatapan Dion menembus dirinya.

Suasana sempat hening karena tak ingin mengganggu merdunya nyanyian Dion dan Wanda. Tapi tiba-tiba kembali gaduh ketika Wanda menggenggam tangan Dion di akhir lagu sambil menyanyikan bait terakhir bersamaan. Pemandangan yang membuat Meyleen kian cemburu di tempat duduknya.

“Aku penasaran, sudah berapa banyak wanita yang patah hati karena si Dion ini,” ujar Kiki kepada Carissa yang menyaksikan mereka di ambang pintu yang terbuka.

“Untung aku sudah punya Kiki. Kalau tidak, mungkin aku juga akan tergoda,” sahut Carissa bercanda lalu menyandarkan kepalanya di bahu calon suaminya itu.

“Lagi! Lagi! Lagi” sorak para penonton ketika Dion dan Wanda menyelesaikan lagunya. Sorakan itu bertambah keras ketika Dion dan Wanda berniat melangkah turun dari panggung.

Karena permintaan penonton ditambah Indra yang juga melakukan permintaan yang sama dengan menunjukkan angka satu dengan jarinya membuat Dion dan Wanda bertahan di panggung.

“Sekarang Dion yang pilih lagunya,” kata Wanda bersemangat.

Dion yang tadi sempat melihat judul lagu Bryan Adams lalu membolak-balik buku lagu. Ketika menemukan judul lagu yang diinginkan, Dion lalu menunjukkannya pada Wanda.

“When You're Gone, itu kesukaanku!” ujar Wanda gembira.

Dion yang pada dasarnya lebih menyukai lagu-lagu dengan beat sedikit cepat itu pun merasa gembira. Akhirnya hari itu ia berkesempatan menyanyikan lagu ber-genre kesukaannya, rock n' roll.

Dion yang menikmati momen itu, bernyanyi dengan lepas. Ia menghentak-hentakkan kaki, mengalunkan bahu dan kepalanya mengikuti dentuman musik.

Apalagi Wanda yang sangat fasih dengan lagu itu menyertainya dengan suara merdunya menghasilkan harmoni gembira. Penampilan apik keduanya membuat para penonton ikut bergoyang. Suasana menjadi sangat riuh gembira.

Di tempat duduknya Meyleen menyaksikan Dion dengan perasaan bercampur aduk. Kagum, cemburu dan berkecil hati.

Dion yang bernyanyi di panggung tampak berbeda dengan Dion sehari-hari yang ia kenal. Di sana Dion tampak sangat berkarisma dan sangat percaya diri bahkan berkesan angkuh. Sikap panggung yang justru sangat disukai para penonton.

Wanda yang sangat bersemangat menyanyikan lagu itu tak sadar keringat telah mengucur di dahinya. Di akhir lagu, Dion melemparkan senyum lebar pada Wanda yang tampak sangat gembira. Wanda tak kuasa menahan dirinya untuk memberikan Dion pelukan yang tentu saja kembali memicu riuhnya tepuk tangan para penonton.

Bagi mereka, penampilan Dion dan Wanda dengan dua lagu itu jelas merupakan yang terbaik malam itu.

“Dengan dia di tim, kita bisa menggandakan portofolio dengan cepat,” ujar Kiki sambil bertepuk tangan pada Astrid yang kini berdiri di samping kanannya ketika Dion dan Wanda mengakhiri lagu itu. Astrid menyahut pernyataan Kiki dengan mengangguk kepalanya lalu bertepuk tangan.

Mendekati tengah malam, banyak tamu telah meninggalkan restoran. Kiki, Carissa dan Astrid beserta para stafnya telah lama meninggalkan restoran karena berdalih akan berangkat keluar kota pagi-pagi sekali. Tapi yang tertinggal tetap semangat bercengkerama. Mungkin karena pengaruh alkohol.

Prediksi Kiki benar. Banyak tamu melanjutkan acara malam itu di klub lain karena restoran akan segera ditutup. Tamu yang terbagi menjadi beberapa kelompok bergantian membujuk agar Dion menyertai mereka ke klub malam. Tak terkecuali kelompok Indra. Tapi Dion dan Meyleen menolak halus ajakan-ajakan mereka.

“Aduh Bang. Pasti akan menyenangkan sekali menghabiskan malam bersama Bang Indra dan kawan-kawan. Abang benar sebelum lomba tadi. Satu-satunya alasan aku menang karena aku masih sangat muda dan bisa memaksa tubuhku sampai ke batasnya. Sekarang badanku sudah mulai sakit. Tulang-tulang rasanya ingin lepas dari engselnya,” Dion menolak halus ajakan Indra.

Akhirnya Indra dan rekan-rekannya meninggalkan restoran menyisakan Dion, Meyleen dan Wanda beserta dua orang stafnya.

Obrolan ketiganya berlanjut di dalam mobil Meyleen karena Wanda menerima tawaran Dion untuk mengantarkannya pulang ke rumah, sementara kedua staf Wanda pulang dengan kendaraan berbeda.

Tak puas karena obrolan terputus karena mobil telah sampai di rumah dinas Wanda, wanita itu kemudian menawarkan minuman kepada Meyleen dan Dion, yang disetujui oleh keduanya.

“Suasana di perumahan ini tampak asri, rumah di sini bagus-bagus. Saya penasaran, bagaimana rasanya bertetangga dengan rekan kerja di kantor?” Dion membuka obrolan baru ketika ketiganya sudah duduk di teras rumah Wanda.

“Positifnya, tidak perlu usaha keras untuk adaptasi. Negatifnya pulang ke rumah rasanya tidak benar-benar pulang karena kanan kiri masih rekan-rekan sekantor,” jelas Wanda.

Wanda kemudian bercerita bagaimana kehidupan di kompleks itu sangat kaku karena strata jabatan di kantor otomatis terbawa pada kehidupan bertetangga.

“Serba salah. Saya pernah coba bergaul dengan istri-istri bawahan, tapi mereka bersikap seolah-olah saya itu bos mereka, membuat pergaulan terasa canggung. Saya juga coba bergaul dengan para ibu-ibu lain, tapi malah lebih parah karena mereka saling iri dan sepanjang hari hanya membicarakan gosip di kantor membuat saya tidak betah,” keluh Wanda.

Obrolan mereka masih berlangsung hingga hampir jam dua pagi. Dion yang tidak tega melihat Meyleen yang terlihat berusaha keras menghalau rasa kantuknya akhirnya mohon pamit pada Wanda.

“Sabtu pagi Dion dan Meyleen akan jemput Ibu untuk makan Bubur Manado, bagaimana, Ibu?” cetus Dion setelah mengucapkan kalimat pamitnya.

“Janji, ya! Awas kalau tidak datang jemput saya,” jawab Wanda melepas tamunya dengan wajah gembira.

Dion lalu mengemudikan mobil itu meninggalkan kompleks perumahan Wanda. Meyleen yang sudah mengantuk lalu merebahkan jok duduknya. 

“Bagaimana Ibu Wanda menurut Meyleen?” tanya Dion setelah keduanya berada di dalam mobil yang dikemudikan menuju kediaman Meyleen.

“Sepertinya ia baik. Dan Dion benar, ia kesepian sampai-sampai bersemangat sekali ngobrol,” jawab Meyleen sambil terkantuk-kantuk.

“Meyleen coba tidur deh. Nanti kalau sudah sampai, Dion akan bangunin,” Dion tak tega mengajak Meyleen ngobrol.

...***...

Meyleen terbangun ketika merasakan sentuhan Dion di lengan yang mencoba membangunkannya. “Lho, ini kan gerbang ke perumahan ku?” tanyanya pada Dion menyadari mereka telah sampai di kompleks perumahan Meyleen, bukannya di indekos Dion.

“Iya, dong. Emangnya mau pulang ke mana lagi, Nona? Rumah Meyleen yang mana nih, tunjukin dong!” kata Dion.

“Yah ke rumah Dion lah! Nanti kamu pulangnya bagaimana?”

“Wah jangan Meyleen. Ini sudah larut, bisa berbahaya kalau Meyleen menyetir sendirian. Aku sih gampang, bisa pulang naik taksi.”

“Ya sudahlah, lurus saja, sampai di bundaran pilih jalan kiri, rumahku nomor 6,” jelas Meyleen kembali memejamkan matanya.

Sesampainya di rumah dimaksud, Dion berupaya membangunkan Meyleen yang kembali terlelap. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai beruban membukakan pintu pagar. Pria itu adalah paman Meyleen, Adam, kakak tertua Ayah Meyleen.

Adam kaget mendapati seorang pemuda mengemudikan mobil keponakannya. Melalui jendela kaca yang diturunkan ia melihat pemuda itu tampak berusaha membangunkan keponakannya yang tertidur di jok penumpang.

“Selamat malam!” sapa Adam yang tampak ragu dan heran.

“Selamat malam, Om!” sahut Dion menghentikan usahanya membangunkan Meyleen karena menyadari pria itu telah berdiri di samping mobil dan menyapanya.

“Maaf, anda siapa?” tanya Adam. Tapi pertanyaan itu tak sempat dijawab oleh Dion karena Meyleen yang telah terbangun mendahuluinya.

“Ini Dion, Tua-Pek! Rekan sekantor yang pernah Mey ceritakan,” jawab gadis itu sambil membukakan pintu mobil dan melangkah keluar.

Adam yang tadi khawatir sesuatu menimpa keponakannya merasa lega mendapati Meyleen hanya tertidur karena mengantuk.

Dion pun keluar dari mobil setelah menutup kembali kaca yang tadi sempat ia turunkan.

“Trus Dion dari sini mau jalan kaki ke jalan utama?” tanya Meyleen sambil menerima kunci mobil yang disodorkan Dion padanya.

“Iya. Nggak terlalu jauh kok,” jawab Dion.

“Wah jangan, Nak! Dari sini ke jalan utama lebih dari empat kilometer, lho,” Adam tak tega Dion berjalan kaki hingga jalan utama.

Mendengar penjelasan Adam, Dion hanya garuk-garuk kepala, ia menyalahkan dirinya yang salah menghitung jarak dari jalan utama ke rumah Meyleen.

“Biar Om yang antar mencari taksi di depan sana,” cetus Adam sambil meminta kunci mobil dari Meyleen.

Dion yang tak punya pilihan lain lalu berpamitan pada Meyleen dan duduk di jok penumpang.

Adam merasa senang ketika tak mendapati tanda-tanda kedua orang muda itu telah mengkonsumsi alkohol.

“Terima kasih, Om. Maaf saya malah membuat repot padahal hari sudah hampir pagi. Pasti istirahat Om jadi terganggu,” ujar Dion ketika akhirnya mendapatkan taksi.

“Tidak apa-apa. Terima kasih juga sudah mengantarkan Meyleen pulang. Hati-hati di jalan, ya!” sahut Adam membiarkan pemuda itu memasuki taksi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!