Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Gagal Lagi
Di sisi lain, Jamilah dan Winda, setelah mendengar laporan Adrian tentang pertemuan "kebetulan" itu, merasa sedikit kecewa.
"Bagaimana bisa dia begitu dingin, Adrian?" tanya Jamilah tak percaya.
"Apakah dia benar-benar tidak terpengaruh?" tanya Jamilah lagi.
"Dia bahkan tidak tersenyum, Ma," Adrian mengaku.
"Dia tampak sangat kuat dan... terlindungi."
"Terlindungi oleh pria itu," Winda mencibir.
"Aku melihat bagaimana Damian melirikmu saat dia menjemput Tasya di depan galeri. Dia seperti ingin membunuhmu."
Jamilah merenung. "Ini akan lebih sulit dari yang Mama bayangkan. Tapi kita tidak boleh menyerah. Wanita itu pasti punya kelemahan. Kita hanya perlu menemukannya."
Adrian merasa lelah dengan semua ini. Ia merindukan masa lalu, ketika hidupnya lebih sederhana dan ia tidak dihantui oleh ambisi dan intrik.
Namun, ia juga terjebak. Tekanan dari Jamilah dan Winda, serta bayangan kehidupan miskin, mendorongnya untuk terus maju.
Ia tahu, satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendapatkan Anatasya kembali, bagaimanapun caranya.
Jamilah tidak menyerah setelah kegagalan pertemuan pertama. Ia terus mendesak Adrian untuk mencari celah.
Setelah beberapa kali memata-matai, Winda melaporkan bahwa Anatasya terkadang mengunjungi sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat ia dulu sering menulis dan membaca buku.
Kafe itu adalah salah satu tempat favorit Anatasya di masa-masa awal pernikahannya dengan Adrian, sebelum mereka pindah ke kota besar.
Seperti mendapat angin segar, Jamilah berseru senang mendengar temuan Winda tentang tempat favorite Anatasya.
"Itu dia, Adrian!" seru Jamilah bersemangat.
"Tempat itu pasti punya banyak kenangan baginya. Kamu harus muncul di sana, tapi kali ini, kamu harus lebih persuasif." nasihat Jamilah pada Adrian.
Adrian ragu. "Ma, aku tidak yakin ini akan berhasil. Anatasya terlihat sangat bahagia dan kuat."
"Kebahagiaan bisa jadi topeng, Adrian! Kita tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan di balik semua itu," Jamilah memprovokasi."
"Mungkin dia kesepian di tengah kemewahan itu. Mungkin dia merindukan masa-masa sederhana bersamamu." Jamilah menduga.
Dengan berat hati, Adrian menyetujui. Ia pergi ke kafe itu beberapa kali, mencoba membaca suasana, mempelajari jadwal Anatasya, hingga akhirnya ia yakin akan bertemu dengannya.
Pada suatu sore yang mendung, Adrian duduk di salah satu sudut kafe, pura-pura membaca buku sambil melirik ke arah pintu masuk.
Tak lama kemudian, Anatasya masuk, kali ini hanya ditemani satu pengawal yang duduk di meja terpisah namun tetap waspada.
Anatasya memesan secangkir teh herbal dan duduk di dekat jendela, mengeluarkan sebuah buku dari tasnya.
Adrian menarik napas dalam-dalam. Ini adalah kesempatannya. Ia bangkit, melangkah ke meja Anatasya, dan tersenyum canggung.
"Anatasya?" ucapnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut dan sedikit melankolis.
"Dunia ini memang sempit, ya? Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi di sini." ucap Adrian mencoba ramah walaupun terkesan di paksakan.
Anatasya mendongak, ekspresinya masih datar, namun ada sedikit kilatan terkejut di matanya. "Adrian," gumamnya.
"Aku... aku sering datang ke sini. Tempat ini mengingatkanku pada banyak hal,"
Adrian melanjutkan, mencoba membuat suaranya terdengar tulus. "Masa-masa di mana kita berdua berjuang bersama, di mana kita punya impian sederhana."
Adrian mencoba mengingatkan tentang masa-masa kebersamaan mereka sebelum menikah.
Anatasya menatapnya tajam. "Impian sederhana yang kau buang begitu saja demi ambisi, Adrian."
Adrian terkesiap. Ia tidak menyangka Anatasya akan begitu blak-blakan.
Raut wajah terkejut nya berusaha menampilkan wajah penyesalan. "Aku tahu, Tasya. Aku tahu aku salah. Aku sangat menyesali semua keputusanku di masa lalu."
"Aku... aku tidak tahu apa yang merasukiku saat itu. Aku terlalu silau dengan kekayaan dan status." ucap Adrian mencoba membela diri walaupun sepertinya percuma karena Anatasya menatapnya dengan wajah datar tanpa ada simpati.
"Penyesalan datang terlambat, Adrian," kata Anatasya, nadanya dingin.
"Waktu tidak bisa diputar kembali." tambahnya.
"Aku tahu. Tapi... apakah tidak ada sedikit pun kesempatan bagiku untuk memperbaiki semuanya?" Adrian menatapnya dengan tatapan memohon.
"Aku tidak meminta apa-apa darimu, Tasya. Aku hanya ingin kamu tahu, aku benar-benar berubah. Aku merindukan Anatasya yang dulu, yang mau berjuang bersamaku dari nol."
Anatasya mencebik mendengar perkataan Adrian, itu mengingatkan nya di saat ia menjadi wanita bodoh yang mau saja di manfaatkan oleh laki-laki seperti Adrian atas nama cinta.
Bullshit!
Anatasya tersenyum miris. "Anatasya yang dulu sudah mati, Adrian. Kau yang membunuhnya. Sekarang, aku adalah Anatasya yang baru. Anatasya yang lebih kuat, yang tidak akan pernah membiarkan dirinya disakiti lagi."
Percakapan mereka terhenti ketika seorang pria tinggi dan tegap, yang tidak lain adalah Damian, masuk ke dalam kafe. Damian, yang sudah curiga dengan kehadiran Adrian di sekitar Anatasya, datang untuk memastikannya.
Tatapannya langsung tertuju pada Adrian yang sedang berbicara dengan Anatasya. Aura permusuhan segera menyelimuti ruangan.
"Ada apa ini?" tanya Damian, suaranya rendah dan penuh ancaman. Ia berdiri di belakang Anatasya, seolah melindungi wanita itu dari bahaya yang mengancam.
Adrian menelan ludah. Kehadiran Damian selalu membuatnya merasa inferior. "Tidak ada apa-apa, Damian. Aku hanya... kebetulan bertemu dengan Anatasya dan berbincang sebentar."
"Aku rasa perbincangan kalian sudah cukup," Damian membalas, matanya tak lepas dari Adrian. "Anatasya tidak punya waktu untuk hal-hal tidak penting." jelas Damian dengan nada tegas.
Anatasya bangkit, mengambil tasnya. "Mari, kak." Ia bahkan tidak menoleh ke arah Adrian.
Adrian kembali terpaku, melihat punggung Anatasya dan Damian yang menjauh.
Hatinya perih. Rencana Jamilah lagi-lagi gagal. Anatasya tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan sedikit pun. Justru ia semakin yakin bahwa Anatasya benar-benar telah melupakannya, dan Damian adalah tembok kokoh yang tak bisa ditembus.
Kegagalan kedua Adrian membuat Jamilah semakin frustrasi. Ia membanting vas bunga di meja, suaranya bergema di rumah yang kini terasa kosong.
"Bodoh! Kamu benar-benar bodoh, Adrian!" teriak Jamilah, menuding putranya.
"Kenapa kamu tidak bisa membuat dia luluh? Apa yang salah denganmu?" Jamilah terus saja meneriaki Adrian.
Adrian yang merasa tertekan balas membentak. "Mama pikir mudah? Dia sudah berubah, Ma! Dia punya Damian yang melindunginya seperti singa! Dan dia tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda peduli padaku!"
"Itu karena kamu kurang gigih! Kurang dramatis!" Jamilah tak mau kalah.
"Kamu harus membuat dia merasa bersalah! Kamu harus membuatnya melihat betapa menderitanya kita tanpanya!"
Winda, yang duduk di sudut ruangan, menyuarakan keputusasaannya.
"Aku sudah tidak tahan hidup seperti ini, Ma. Setiap hari harus berhemat, tidak bisa beli baju baru, tidak bisa jalan-jalan. Teman-temanku menertawaiku!"
Jamilah menatap putrinya, kemudian kembali menatap Adrian. Ia tahu mereka tidak bisa menyerah. Hidup miskin adalah neraka bagi mereka.
"Dengar, Adrian. Ada satu cara lagi. Cara yang mungkin sedikit... ekstrim. Tapi kita harus mencobanya."
Adrian menatap ibunya dengan tatapan curiga. "Apa lagi, Ma?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
.