Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Berpakaian Gelap
Hari itu memang masih siang, namun mendung seolah mengundang malam terlalu dini. Ya, siang itu, saat Gita menyaksikan penulis kesayangannya dicekik dan dibanting oleh seorang pria.
Benar. Gita yakin, itu tangan dan perawakan seorang laki-laki, meski wajahnya tak terlihat.
Gita yang berlari kocar-kacir sekuat tenaga tak tahu apa yang kemudian terjadi, selepas ia pergi dari lokasi kejadian. Ia pun tak tau jika seseorang, dengan langkah lebar menyelinap dari arah berbeda, mengikuti dirinya. Seseorang bertubuh tegap dengan pakaian gelap dan secarik kain menutupi separuh wajahnya, kecuali sepasang matanya yang menyorot waspada dan tajam.
Orang berpakaian gelap itu tadi menyadari kehadiran Gita dan segera menyingkirkan Denting dari lokasi kejadian, tepat sebelum Tomy berkeliaran di sekitar sana.
Bayangan Denting yang kemungkinan sedang terluka memenuhi kepala Gita, ia menoleh ke sana ke mari, namun tak seorang pun nampak untuk gadis itu mintai pertolongan. Mungkin karena mendung yang merayapi langit sejak ujian usai, seolah telah mengusir pergi orang-orang dari bangunan sekolah, agar tak terjebak derasnya hujan.
"Pasti ada pak satpam di gerbang depan, kan?" gumam Gita separuh berharap.
Petir menggurat di langit, diikuti suara gemuruh yang menggetarkan hati. Langkah pria di belakang Gita samakin cepat mengikuti gadis itu.
"Gue harus pastiin si cewek tadi gak cerita ke siapa-siapa," gumam pria tersebut seraya berjongkok mengambil sebuah conblock yang terlepas dari perkerasan halaman.
Suara petir yang menggelegar mengejutkan Gita, sedang ia tak tahu jika seseorang tengah mengikuti langkahnya. Wajahnya sedikit cerah melihat satpam yang tertidur di pos jaga dekat gerbang.
Lalu saat langkah gadis itu hendak memanggil satpam—
BRAGH!
Pria bermasker melempar conblcok hingga hancur mengahantam dinding di depan Gita.
Gita membeku di tempat, lututnya lemas. Ia sadar berada dalam bahaya, meski sepertinya terlambat.
Ia dapat merasakan seseorang telah berdiri di balik punggungnya. Apa ... apa dia orang yang tadi menyakiti Denting?
"Jangan beri tau siapa pun tentang apa yang Kamu lihat tadi. Atau lain kali, bukan lagi batu bata, tapi kepala Kamu yang akan hancur," ucap suara berat dan parau tepat di belakang kepala Gita.
Gita terkesiap. Ia menelan ludah dengan kasar. Ia penasaran, namun tak berani menoleh. Lalu tanpa banyak berpikir lagi, dengan sekuat tenaga, ia melarikan diri. Tak ia pedulikan lagi satpam yang tengah pulas di pos jaga. Niat melapornya telah pudar, ia hanya ingin segera pulang.
Sedangkan pria berpenutup wajah pun tak berniat mengejar, tugasnya sudah selesai, ia cukup memberi peringatan untuk kali ini. Lalu dia kembali menyelinap di antara dinding-dinging SMA Pelita, mengamati situasi dan merencakan langkah selanjutnya.
Tak lama kemudian Tomy terlihat melintasi lapangan, pria bermasker kain itu mengamati hingga Tomy pergi. Setelah yakin sekolah benar-benar sudah sepi. Barulah ia kembali ke tempat Denting disembunyikan, bersama orang yang hendak ia amankan.
Namun gadis itu hilang.
Ruangan yang ia tinggalkan, hanya menyisakan 'tuannya' yang tidak sadarkan diri di pojok ruangan.
"Cih, masih ada tenaga rupanya tuh cewek songong," gumam pria bermasker melihat sebilah balok kayu yang sepertinya dipakai untuk melumpuhkan 'sang tuan'.
Setelah mangamankan sang tuan yang diserang kekasihnya itu, pria bermasker kembali mencari Denting yang berkeliaran dan bersembunyi entah di bagian mana sekolah yang luas tersebut.
Namun petir kembali terdengar menggelegar, kemudian disusul hujan yang turun tak terbendung. Satpam sekolah terbangun kaget, ia melirik jam tangannya yang menunjukkan sudah hampir ashar. Ia kemudian bergegas mengenakan jas hujan, mengunci gerbang dan berlarian untuk pulang.
Sementara itu Denting bersembunyi, meringkuk di sebuah pojok kelas, entah sudah berapa jam lamanya, hingga akhirnya hujan menjadi reda dan awan gelap menyingkir.
Gadis yang terluka itu mengendap ke luar dari persembunyiannya, ketika langit selepas hujan itu menunjukkan semburat warna senja. Suasana terasa sunyi dan tenang. Lalu ia berjalan ke arah lapangan, hendak menuju gerbang, dan wajahnya menjadi cerah kala melihat seseorang di luar gerbang itu, Denting pun berusaha memanggilnya.
Tapi ... kemudian pria bermasker itu kembali.
***
Kembali pada saat ini.
Di rental komik di mana Gita dan Tomy masih duduk dengan pikiran yang sibuk. Tadi Yuli dan Gio sempat bergabung sejenak, dengan mereka. Menceritakan pada anak konglomerat itu, tentang kunjungan mereka ke indekos Denting.
Tomy terkejut karena Gio memaparkan kembali fakta tentang identitas orang yang diduga kuat adalah kekasih Denting.
"Remi," desis Tomy untuk kesekian kalinya.
Meski Gio menyukai Denting, namun rasa sukanya berbeda dengan yang dirasakan Tomy, dan Gio memahami hal itu. Ia pun mengajak Yuli kembali ke deretan komik, memberi ruang bagi Tomy untuk menerima informasi tersebut.
Walau pun Yuli masih ingin duduk di dekat Tomy, namun ia sedikit merasa cemburu karena pembahasan mereka menyangkut Denting—gadis yang disukai Tomy.
Gita diam beberapa saat, sampai wajah tegang Tomy kembali normal.
"Gue yakin yang nyerang Denting itu cowok, tapi gue gak liat mukanya. Maaf Tom. Kita belum bisa memastikan orang itu Remi atau bukan," ujar Gita sebelum Tomy nekat memerintahkan bawahan ayahnya untuk memberi pelajaran pada Remi.
"Tapi, suara orang yang mengancam gue di hari itu, terdengar bukan seperti suara remaja. Entah gimana menjelaskannya, suara itu terdengar agak serak dan berat." Gita melanjutkan.
Tomy membuang napas kasar. "Jadi bisa saja memang benar ada orang yang melihat gue dan Lo saat itu. Entah orang yang sama atau bukan dengan yang udah menyakiti Denting."
Gita mengangguk. Saat ini mereka tak bisa langsung menyimpulkan, meski memiliki tersangka. Lalu Gita teringat kembali akan firasatnya tentang Rudi.
"Tom, Denting pernah ngomongin soal Rud ... eh pak Rudi gak?" tanya Gita.
Tomy memijat keningnya, lalu menatap kesal pada lawan bicaranya, "Apa Denting juga punya hubungan khusus sama guru muda sok kegantengan itu? Lo kira dia cewek macem apa yang ngedeketin banyak cowok?"
Gita menggaruk belakang lehernya. "Jangan ngamuk dulu sih. Gue cuma mencurigai pak Rudi karena beberapa hal yang masih sulit buat dijelaskan."
"Apa suara orang yang ngelempar bata itu mirip sama pak Rudi?" tanya Tomy sambil menyilangkan lengan di depan dada.
"Bukan bata Tomy, tapi conblock," koreksi Gita.
"Sama aja lah," kilah Tomy.
"Beda Tomy. Bata itu dari tanah liat kalau conblock dari campuran semen dan agregat." Gita berkeras.
Tomy memutar bola matanya. "Iya iya, ya elah. Nah paham kan maksud pertanyaan gue tadi?" tanya Tomy sebelum perbincangan mereka berbelok pada soal pembahasan matrial.
"Gue lupa sih suara persisnya," jawab Gita menyeringai.
"Terus Lo menjadikan Rudi sebagai tersangka itu apa?" tanya Tomy berusaha sabar.
Gita meletakkan telapak tangan di dada kirinya. "Jantung gue gak aman rasanya kalau lihat pak Rudi," jawab gadis itu.
Tomy menyentil kening Gita kesal. "Ganjen Lo."
"Ye, bukan berdebar yang kayak gitu maksud gue. Hah, nanti deh kalau gue nemu bukti lain." Gita mengusap keningnya yang terasa nyeri.
Melihat suasana di antara Gita dan Tomy yang kembali tampak normal, Gio pun kembali menghampiri mereka sambil membawa beberapa komik seri Flame of Recca .
"Udah kelar bahasannya?" tanya Gio.
"Yah ... masih gantung sih," jawab Gita.
"Oh iya, soal rumor Denting pindah sekolah itu, dia pindah ke mana? Ada yang tau gak?" tanya Gita sambil menlirik Tomy yang satu angkatan dengan Denting.
"Gue dengernya sih di semacam boarding school di kota B gitu," jawabnya tak yakin.
"Lo, ketua OSIS bisa cari tau lebih detail gak? Lo kan perwakilan murid ... masa iya gak punya akses buat informasi kayak gitu?" Gita menaik turunkan alisnya pada Gio.
Gio menautkan kedua tangannya di atas meja, tampak mempertimbangkan sesuatu. Lalu dia mengangguk.
"Oke akan saya coba," tandasnya.
***