Surga Dunia Jenna Dan Jagat

“Selamat, Jenna. Akhirnya, kamu bebas dari sini.”

Jenna tersenyum bahagia, berhubung masa penahanannya telah selesai. Dia akan kembali menghirup udara bebas, menjadi seseorang yang tak lagi terkurung dalam suasana dan situasi yang selalu sama setiap hari.

Cahaya mentari siang itu terasa begitu menyilaukan. Jenna memejamkan mata, merasakan embusan angin yang menerpa paras cantiknya. Ya. Ibunda Sakha tersebut masih terlihat menawan, meskipun lebih kurus dan pucat.

“Aku harus ke mana, Tuhan? Apakah Jagat masih bersedia menerimaku?” gumam Jenna ragu. Dia tak berani melangkah meninggalkan halaman depan lapas, tempat dirinya ditahan selama beberapa tahun.

Namun, Jenna tak mungkin terus berada di tempat itu. Dia sudah terlalu bosan dengan aroma penjara yang memuakkan. Meskipun berat, ibu satu anak tersebut melangkahkan kaki meninggalkan tempat yang tak akan pernah dia lupakan.

Sungguh menyedihkan. Tak ada siapa pun yang menyambut hari kebebasannya. Jenna pulang seorang diri, walau tak yakin dengan nasib yang akan dihadapi setelah tiba di tempat yang dituju.

“Jenna!”

Jenna langsung tertegun mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Walaupun sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi dia masih mengenali suara itu. Perlahan, Jenna menoleh.

“Bagaimana kabarmu?” tanya seorang pria, yang tak lain adalah Haris.

“Om Tio?” Jenna menatap ragu. “Kenapa ada di  _____”

“Aku tahu kamu dibebaskan hari ini,” sela Haris, yang saat ini berusia 50 tahun. Namun, ketampanan suami mendiang Viviana tersebut tak lekang oleh waktu. Dia justru terlihat makin matang dan menawan, dengan rambut yang sebagian sudah memutih.

“Apa?” Jenna mengernyitkan kening, mendengar ucapan Haris.

“Mari,” ajak Haris, seraya mengarahkan tangan ke tempat mobilnya terparkir. “Aku sengaja menjemputmu hari ini karena yakin Jagat Hartadi tidak akan datang kemari,” ucap Haris penuh wibawa.

“Apa maksud Om?” Jenna menatap tak mengerti.

“Aku tahu semua yang terjadi, Jenna. Sudahlah. Mari.” Tanpa menunggu persetujuan Jenna, Haris langsung mengarahkan mantan wanita simpanannya itu ke mobil.

Mau tak mau, Jenna menurut. Lagi pula, dia belum tahu harus ke mana, meskipun pikirannya terus tertuju kepada Jagat dan Sakha. Namun, mengingat selama ini Jagat tidak peduli padanya, itu membuat Jenna ragu untuk mendatangi sang suami.

“Aku dan Pak Jagat masih terikat pernikahan. Namun, entah dengan keputusannya selama ini karena dia tidak pernah menjengukku sama sekali,” ucap Jenna, saat berada dalam perjalanan.

“Kamu masih mengharapkannya?” Haris menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan perhatian ke depan.

“Dia suamiku. Sakha juga bersamanya. Apakah keliru bila aku berharap?”

Haris tidak menjawab. Dia hanya menggumam pelan.

Kebisuan sempat bertahta beberapa saat, hingga mobil yang Haris kendarai tiba di villa yang dulu pernah Jenna dan Jagat datangi.

“Aku sengaja pulang ke Indonesia, saat mendengar masa penahananmu berakhir,” ucap Haris, seraya mempersilakan Jenna masuk.

“Kenapa?”

“Karena aku ingin bertemu denganmu. Duduklah. Akan kubuatkan minuman dan ____”

“Aku ingin pulang dan bertemu Sakha,” sela Jenna segera.

“Kita makan siang dulu,” putus Haris cukup tegas, seraya berlalu meninggalkan Jenna.

Haris mengajak Jenna  bersantap siang bersama, sebelum menyuruhnya mandi dan berganti pakaian dengan yang lebih layak.Namun, Jenna menolak dan justru memakai baju yang dibawa pulang dari penjara.

“Kamu yakin ingin menemui Jagat?”

“Jika Pak Jagat tidak bersedia, maka aku hanya akan menemui Sakha.”

“Baiklah. Aku akan mengantarmu ke sana,” putus Haris.

Jarak dari villa menuju kediaman Jagat sekitar 15 menit. Beruntung karena lalu lintas tidak terlalu ramai siang itu.

“Pak Jagat sudah menjual rumah ini. Kebetulan, saya yang membelinya. Terlepas dari cerita orang tentang tragedi berdarah yang terjadi beberapa tahun silam, saya hanya melihat rumah ini masih dan sangat layak untuk ditempati,” ucap seorang pria paruh baya, yang menempati rumah lama milik Jagat.

“Bapak tahu ke mana Pak Jagat pindah?” tanya Jenna hati-hati.

“Saya tidak tahu pasti. Namun, dari perbincangan terakhir dengan perantara yang menjual rumah ini, beliau mengatakan bahwa Pak Jagat pindah dan menetap di Inggris.”

“Ing-Inggris?” ulang Jenna tak percaya.

“Seperti itulah yang saya dengar. Kalau boleh tahu, Ibu siapa?” tanya si pria sopan.

“Saya ….” Jenna memilih tidak melanjutkan kalimatnya. Dia justru mengembuskan napas pelan bernada keluhan. “Terima kasih untuk semua informasinya, Pak. Permisi.” Jenna berbalik menuju mobil, lalu segera masuk.

“Bagaimana?” tanya Haris, yang menunggu di dalam mobil.

Jenna tidak menjawab. Dia justru menangis sambil menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan.

“Kamu tidak akan percaya bila aku yang memberitahu,” ucap Haris lagi, seraya menyalakan mesin mobil. Tanpa menunggu tanggapan dari Jenna, dia melajukan kendaraan meninggalkan tempat itu.

Selama dalam perjalanan, Jenna memilih tak banyak bicara. Dia menyandarkan kepala sambil menatap keluar jendela. Kepedihan terlihat jelas dari sorot matanya. Kerinduan yang teramat besar terhadap Sakha, mungkin akan lama bisa terobati. Itu juga bila jagat mengizinkannya bertemu dengan sang anak.

“Apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Haris, setelah kebisuan bertahta beberapa saat.

“Aku tidak tahu,” jawab Jenna pelan.

“Kenapa Jagat tidak menceraikanmu?” tanya Haris lagi.

“Kenapa bertanya padaku?” Jenna menjawab malas pertanyaan Haris. “Kalian para pria berkantong tebal, biasa melakukan apa pun sesuka hati.“

“Bagaimana dengan statusmu sekarang?”

“Entahlah. Aku hanya memikirkan Sakha.”

“Kalau begitu, kita temui Jagat Hartadi di Inggris."