Elena
"Pria itu unik. Suka menyalahkan tapi menerima saat disalahkan."
Elena menemukan sosok pria pingsan dan membawanya pulang ke rumah. Salahkah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Emma Shu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Cemburukah?
Dalam diam, Elena memperhatikan perbincangan antara Aini dan Revan. Aini terlihat begitu dekat, begitu akrab dengan Revan. Tiga hari Revan menunggui Salva di klinik, selama itu juga mereka jadi sering bertemu dan mengobrol. Kedekatan Revan dengan Aini membuatnya merasakan sesuatu yang aneh. Antara kesal dan benci. Elena merasa tak nyaman dengan situasi itu.
Ada apa ini? Elena semakin tak mengerti dengan perasaannya. Kenapa harus kesal melihat Aini mendekati Revan dengan segala perhatiannya, dengan segala jurus ampuh senyum dan tatapan hangat itu. Namun Elena tetap memaksakan bibir tersenyum saat pandangannya bertabrakan dengan Aini.
“Van, bisa ngomong sebentar nggak?” tanya Aini dengan tatapan teduh ke mata Revan.
“Boleh,” jawab Revan cepat. Kemudian ia berjalan keluar mengikuti bidan berjilbab itu meninggalkan kamar.
What? Mereka mau berduaan gitu? Elena menggeleng sebal. Apa yang akan mereka omongin sampai harus berduaan saja? Rasa penasaran mulai menghampiri. Elena celingak-celinguk kemudian mengikuti arah langkah kaki kedua manusia di depannya. Revan dan Aini terlihat menyusuri lorong dan melewati pintu utama, berjalan sampai ke samping klinik. Aini duduk di sebuah kursi. Revan menyusul duduk di samping gadis itu.
Elena menempelkan punggung di balik dinding dekat mereka duduk. Pura-pura berdiri menyandar di dinding, padahal sedang nguping. Sesekali ia melongokkan kepala, mengintip. Ya ampun, begitu besar rasa ingin tahunya akan kedekatan Revan dan Aini. Sampai-sampai harus jadi pengintip. Yang jelas, ia tidak mau Aini menjadi perempuan paling dekat di hidup Revan. Kedekatan mereka seakan menjadi ancaman dalam hidupnya.
Aini memandang wajah Revan dengan senyuman manis yang tidak putus. Revan menoleh kepadanya. Menyadari sejak tadi perempuan itu memperhatikannya terus. Keduanya bersitatap.
Gadis mana yang tidak terpanah melihat seorang Revan? Ia lelaki yang tampan dan kharismatik. Dengan ukuran tubuh yang tinggi dan perawakan kekar hingga membentuk petak-petak di dada bidangnya, ia terlihat sempurna dan menawan.
“Ada apa?” tanya Revan melihat perempuan di sampingnya itu hanya diam dan terus memandangnya.
“Ah… Ya…” Aini tergagap. Tersadar telah memandang terlalu dalam. “Maaf.” Gadis itu menunduk malu-malu.
“Apa ada hal penting mengenai Salva yang perlu dibahas?”
“Mmm….” Aini tersenyum. “Setahuku Elena itu nggak punya kakak laki-laki. Bukannya dia yatim piatu?”
“Oo… Itu. jadi lo kenal sama dia?”
Aini menggeleng. “Aku nggak mengenalnya. Dia pernah datang ke sini membawa adiknya yang sakit. Namanya Dava. Sayangnya Dava nggak tertolong. Para bidan di sini sering memperbincangkannya. Aku salut dengan perjuangannya yang gigih. Dia perempuan yang kuat. Lalu… gimana kamu bisa bersamanya? Bukannya dia nggak punay siapa-siapa selain Salva?”
“Mmm…. Gue mesti ngomong dari mana ya? Iya bener gue memang bukan bagian dari keluarga Elena. Tapi sekarang bisa dikatakan masuk ke bagian hidupnya.”
“Maksudnya? Kamu calon suaminya?” tanya Aini gugup. Namun kemudian ia menunduk dan berkata, “Maaf… aku terlalu banyak ikut campur. Seharusnya aku nggak bertanya begini.”
Revan tersenyum. Ia mengerti Aini memiliki perhatian khusus terhadap Salva, wajar jika Aini ingin banyak tahu mengenai orang yang diperhatikannya. Termasuk Elena. Apalagi Elena menjadi sosok yang paling sering dibicarakan oleh teman-teman sepekerjanya. Mereka pasti bertanya-tanya siapa dirinya hingga bisa ada di dekat Salva?
“Bukan calon suaminya, kok. Gue… Gue… apa ya?” Revan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Mm… Kakak angkatnya. Ya gitulah.”
Aini tidak begitu merespon jawaban Revan. Tapi yang jelas wajahnya lebih lega setelah beberapa detik terlihat tegang.
TBC
kan revan hampir dirampok crita'a