Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 > Pilihan Yang Dibayar Dengan Darah
Malam menyelimuti rumah persembunyian itu dengan kesunyian yang menekan. Tidak ada suara serangga. Tidak ada angin. Hanya detak jam dinding yang terdengar terlalu jelas, seolah setiap detik sedang menghitung mundur menuju sesuatu yang tak terelakkan.
Serene duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat. Wajahnya pucat, bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena ketegangan yang belum sepenuhnya pergi dari tubuhnya sejak serangan di jalan tadi. Setiap kali ia menutup mata, suara tembakan itu kembali. Dentuman keras. Getaran mobil.
Pelukan Raiden yang terlalu erat, seolah ia mencoba menjadi perisai hidup. Raiden berdiri di dekat jendela kamar, punggungnya tegap, namun Serene tahu, ia sedang menahan badai di dalam dirinya. “Raiden…” panggil Serene pelan.
Raiden menoleh cepat, ekspresinya langsung melunak.
“Aku di sini,” katanya, berjalan mendekat. “Apa kau merasa sakit?”
Serene menggeleng. “Tidak. Tapi aku ingin kau duduk.”
Raiden menurut. Ia duduk di hadapan Serene, berlutut agar sejajar dengan wajahnya. “Tatap aku,” katanya lembut.
Serene menatapnya. Mata itu... mata seorang pria yang dunia anggap tak tersentuh, kini dipenuhi kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. “Aku takut,” Serene akhirnya mengaku. “Bukan hanya untuk diriku. Tapi untuk bayi-bayi kita.”
Raiden mengepalkan tangannya. “Aku gagal,” katanya rendah.
Serene terkejut. “Apa?”
“Aku seharusnya sudah memusnahkan semua bayangan masa lalu itu,” lanjut Raiden. “Aku membiarkan satu hidup… dan sekarang dia datang menagih.”
Serene menggenggam tangan Raiden. “Ini bukan salahmu,” katanya lembut. “Kau sudah melindungiku lebih dari siapa pun.”
Raiden menutup mata sesaat. “Tidak cukup,” gumamnya. “Belum cukup.”
Sementara di ruang lain, Arlo berdiri di depan meja panjang yang dipenuhi layar holografik. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras saat membaca laporan demi laporan. “Dia sengaja membiarkan kita lolos,” ucap Arlo akhirnya.
Raiden berdiri di ujung ruangan. “Aku tahu.”
“Ezra Kael bukan tipe yang menyerang tanpa tujuan,” lanjut Arlo. “Dia ingin memancing.”
“Memancing apa?” tanya salah satu ajudan.
Arlo menoleh ke arah Raiden. “Emosi Tuan.”
Raiden tersenyum dingin. “Kalau begitu,” katanya pelan, “aku akan memberinya apa yang dia mau.”
***
Pagi berikutnya datang dengan kabar yang menghantam lebih keras dari pada peluru. Sebuah video muncul di semua jaringan gelap internasional.
Dan itu menunjukkan wajah Serene, yang diambil dari rekaman lama, saat ia masih mahasiswi biasa. Gambar-gambar kesehariannya dipotong, disusun, lalu diberi satu kalimat di akhir: “Dia adalah kelemahanmu.”
Serene menatap layar itu dengan tangan gemetar.
“Mereka… mereka memperlihatkanku ke dunia,” bisiknya.
Raiden berdiri di belakangnya, aura dinginnya memenuhi ruangan. “Tidak,” katanya pelan. “Mereka mengumumkan kematian mereka sendiri.”
Serene menoleh. “Raiden, ini sudah terlalu jauh.”
“Belum,” jawab Raiden dingin. “Dia baru mulai.”
Serene memutar tubuhnya, menatap suaminya dengan mata basah. “Apa yang dia inginkan?”
Raiden terdiam lama. “Dia ingin aku memilih,” jawabnya.
“Memilih apa?” tanya Serene dengan suara hampir tak terdengar.
Raiden menatap perut Serene. “Antara dunia… dan keluargaku.”
Ingatan Raiden kembali melayang ke masa lalu... ke hari ketika ayahnya tergeletak tak bernyawa di lantai ruang kerja, darah mengalir di karpet mahal. Waktu itu, ia masih sangat muda. Masih naif. Dan dunia mengajarinya pelajaran paling kejam: kekuatan adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti semua orang. Ezra Kael ada di sana hari itu, ia berdiri di bayangan dengan tersenyum.
“Aku tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali,” gumam Raiden.
Malamnya, Serene tidak bisa tidur. Raiden duduk di samping ranjang, mengusap rambutnya perlahan. “Kau tidak harus kuat,” katanya lembut. “Aku akan menanggung semuanya.”
Serene membuka mata, menatapnya lama. “Raiden,” katanya pelan, “kalau sesuatu terjadi padaku-”
Raiden langsung menggeleng keras. “Jangan.”
“Dengarkan aku,” Serene bersikeras. “Kalau sesuatu terjadi, lindungi anak-anak kita. Jangan biarkan dunia yang kejam ini—”
Raiden menunduk, bibirnya menempel di kening Serene. “Tidak akan ada ‘kalau’,” katanya tegas. “Kau akan hidup. Kalian semua akan hidup.”
Air mata Serene jatuh. Raiden menyekanya satu per satu. “Aku mencintaimu,” katanya lirih dengan jujur, tanpa perisai.
Serene terisak, lalu tersenyum kecil. “Aku juga mencintaimu,” jawabnya. “Lebih dari diriku sendiri.”
Pelukan itu cukup lama. Keadaan sunyi. Seolah mereka berdua tahu, ketenangan seperti ini mungkin tidak akan bertahan lama.
***
Keesokan harinya, pesan masuk ke ponsel Raiden. Nomor tak dikenal. Pesan itu menampilkan satu kalimat. “Datang sendiri. Atau dia akan datang kepadamu.”
Raiden menatap layar itu tanpa berkedip. Arlo langsung mendekat. “Tuan, ini jebakan.”
Raiden mengangguk. “Aku tahu.”
“Kalau Anda pergi-”
“Aku akan pergi,” potong Raiden. “Tapi tidak seperti yang dia harapkan.”
Ia menoleh ke arah kamar Serene. Tatapan itu... bukan milik seorang raja. Melainkan milik seorang pria yang bersedia membakar dunia demi keluarganya. “Siapkan semuanya,” kata Raiden dingin. “Malam ini… kita akhiri.”
***
Di tempat lain, Ezra Kael menatap layar dengan senyum puas. “Datanglah, Varendra,” gumamnya.
“Tunjukkan padaku… apakah cintamu lebih kuat dari kekuasaanmu.”
Dan malam ini akan menjadi saksi pilihan paling berdarah dalam hidup Raiden Varendra.
***
Apa yang akan Raiden Varendra pilih?
Bersambung…