Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Zhea keluar dari kamar mandi. Cahaya lampu tidur yang temaram menyapu lembut wajah kecil Zheza yang sudah terlelap di dalam boksnya. Dada Zhea sesak melihat betapa tenangnya putrinya tidur, seolah dunia tidak sedang berguncang di luar sana.
Perlahan Zhea mendekat, menunduk, dan membelai rambut halus Zheza. Suara Zhea lirih, hampir seperti bisikan yang takut pecah. "Nak ..." Bibirnya bergetar. "Jangan bersedih ya. Meskipun ke depannya kamu mungkin nggak bisa bertemu ayahmu lagi ... nggak bisa hidup bareng dia seperti anak-anak yang lainnya ..." Ia terdiam sejenak, menahan air mata yang memanas.
"Tapi kamu harus tetap kuat. Mama bakal ada buat kamu. Mama bakal jadi rumah kamu, tempat kamu pulang, tempat kamu berlindung. Kamu nggak akan sendirian ... Mama janji." Air mata akhirnya jatuh, menetes di punggung tangan kecil Zheza. Zhea menunduk dan tersenyum getir. "Tidurlah, sayang. Mama sayang kamu."
Zhea beranjak dari samping boks Zheza, melangkah pelan menuju tempat tidurnya. Ia merebah dengan hati sedikit gundah. "Ya Allah ... restui lah perceraian hamba dan Zavier. Mudahkan lah segalanya."
____
Rindu dan Arin akhirnya masuk ke kamar mereka setelah para tamu yang ikut tahlilan pulang. Begitu pintu tertutup, sunyi langsung menelan ruangan. Sunyi yang berat ... sunyi yang penuh luka.
Di ranjang besar itu, Rindu sudah tidak mampu menahan air mata. Ia duduk di tepi kasur, menunduk, bahunya naik turun menahan isak. "Kenapa keluarga kita harus hancur seperti ini, Rin?" suaranya pecah.
Arin tak kuat melihat mamanya seperti itu. Ia langsung meraih Rindu ke dalam pelukan. Keduanya saling mendekap erat seolah takut satu sama lain juga akan ikut hilang.
Rindu menangis semakin keras. "Rin ... Papamu ... nggak pernah jahat pada siapa pun ... tapi darah dagingnya sendiri ... malah tega menghilangkan nyawanya. Apakah didikan Mama dan Papa selama ini salah, sampai menghasilkan monster seperti Zavier?"
Arin menutup mata rapat-rapat, menahan gejolak di dadanya. "Mama cukup. Didikan Mama dan Papa nggak ada yang salah. Apa yang dilakukan Zavier ... semua murni karena dia dibutakan oleh cinta gilanya pada si pelakor setan itu. Mama dan Papa adalah orang tua terbaik di dunia ..." Suaranya rendah, serak menahan tangis. "Sekali lagi ... semua ini murni salah Zavier, Ma. Zavier!"
Rindu memeluk Arin lebih erat, seolah mencari kekosongan yang hilang. "Mama kangen Papamu, Rin. Mama ingin memeluk dia. Mama ingin mencium dia ..."
Arin akhirnya tak bisa menahan diri. Air matanya jatuh, membasahi rambut sang ibu. "Aku juga kangen, Ma ... aku juga masih nggak percaya Papa telah tiada."
Untuk beberapa saat, mereka hanya menangis di dalam pelukan yang sama ... menangisi kehilangan yang terlalu menyakitkan, sekaligus kebusukan perbuatan Zavier yang telah menghancurkan keluarga mereka.
Di luar kamar, angin malam menggesek tirai pelan. Tapi di dalam, hanya ada dua perempuan yang saling memeluk, mencoba tetap utuh meski hati mereka patah dalam diam.
_____
Pagi itu, Zhea datang ke kantor hukum milik Zola, adik sepupu ibunya, seseorang yang sudah seperti pamannya sendiri.
Ruangan itu elegan, dipenuhi rak buku hukum, wangi kopi, dan suasana tenang khas kantor pengacara profesional.
Zhea duduk sambil meremas jemarinya. Mata sembapnya masih tampak jelas, namun ia mencoba tegar. Tak lama, pintu terbuka dan Zola masuk membawa map tebal. "Zhea ..." panggilnya lembut, nada penuh iba. "Kamu sudah siap membicarakan semuanya?"
Zhea mengangguk pelan. "Aku siap, Om."
Zola duduk di depannya, meletakkan map itu di meja. "Baik. Kita mulai dari yang paling urgent: perceraian. Kamu sudah mantap?"
Zhea menarik napas panjang, dadanya sesak, tapi ia mengangguk mantap. "Sudah. Aku sudah mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan agama karena aku sudah nggak mau lagi hidup dalam kebohongan. Aku udah cukup terluka, Om. Apalagi sekarang Zavier sudah jadi tersangka."
Zola menatap Zhea penuh pengertian. "Baik. Dengan kasus Zavier sekarang ... pembunuhan tidak disengaja, proses cerai seharusnya tidak akan dipersulit. Kamu berhak meminta hak asuh penuh atas Zheza dan harta gono gini, tentunya."
Zhea menelan ludah, tapi mengangguk.
Zola melanjutkan, lebih serius, "Sekarang soal perselingkuhan. Kamu benar-benar mau melaporkan Zavier dan perempuan itu? Elara, ya?"
Mendengar nama itu, Zhea mengepalkan tangan kuat-kuat. "Iya, Om. Aku mau mereka mendapatkan hukuman. Mereka sudah menghancurkan rumah tangga aku. Mereka sudah merusak keluarga aku ... Zavier bahkan lebih milih wanita itu daripada anaknya sendiri. Dan karena perselingkuhan itu, Zheza menjadi korban. Anakku kini kehilangan sosok ayah." Suara Zhea pecah di ujung, tapi matanya tetap tegas.
Zola mengangguk pelan. "Baik. Untuk melaporkan mereka atas perselingkuhan, kita bisa pakai Pasal 284. Tapi ada syarat: hubungan mereka harus terjadi saat Zavier dan kamu masih sah sebagai suami istri."
"Itu sudah pasti, Om. Aku merekam pengakuan mereka tepat saat perayaan ulang tahun Zavier yang ke 35 sekaligus saat semuanya aku bongkar di hadapan keluarga Zavier," desis Zhea lirih namun mantap. "Mereka sudah selingkuh sejak satu tahun yang lalu, sebelum aku mengandung ... dan aku, punya bukti-bukti ketika mereka melakukan hubungan menjijikan itu di dalam ruangan kantor Zavirer. Aku pun melihat dengan mata kepalaku sendiri waktu itu ..." Nada suaranya getir, tapi tidak bergetar lagi. "Semua bukti itu ada di dalam laptop ini."
Zola membuka map, menyiapkan pena. "Berarti kita punya dasar kuat. Tapi Om harus tanya satu hal penting ..." Ia mencondongkan tubuh sedikit. "Zhea, kamu siap menghadapi prosesnya? Ini akan panjang. Bukti akan dibuka, saksi mungkin dipanggil. Ini bisa melelahkan secara mental."
Zhea menarik napas panjang. "Untuk aku ... untuk Zheza, dan untuk harga diriku sebagai istri yang disakiti ... aku siap." Matanya menatap Zola tanpa keraguan.
Zola tersenyum tipis ... bangga sekaligus iba. "Baik. Kalau begitu ... kita mulai perjuanganmu hari ini."
Zhea mengangguk, dan untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan terjadi, ia merasa sedikit lebih kuat.
Sedikit saja.
Tapi cukup.
_____
Sementara itu di tempat lain, Elara terbangun dengan kepala berat dan mata perih. Hujan semalam masih menyisakan embun di jendela apartemennya yang kini terasa terlalu sunyi ... dan terlalu sempit untuk semua kekacauan hidupnya. Ia meraih ponsel yang sejak tadi bergetar nonstop.
"Mama lagi ..." Dengan dengusan kesal, ia menggeser layar. "Ya, Ma. Kenapa lagi?" suaranya datar, terseret.
Dari seberang, suara ibunya langsung memekik tanpa basa-basi. "Ela! Kamu ini gimana sih? Kenapa belum transfer juga?! Uang pensiunan Papa kamu udah habis buat bayar biaya sekolah adik kamu dan belanja kebutuhan sehari-hari serta belanja bulanan. Mama belum bayar arisan, paylater dan bayar cicilan mobil. Buruan dong Ela! Kamu tega banget sih sama Mama!"
Elara memejamkan mata, menahan amarah yang mendidih. "Ma ... aku udah bilang dari kemarin, kalau bulan ini ... aku nggak bakal kirim uang."
"Masa kamu nggak punya tabungan sedikit pun? Atau perhiasan? Masa jadi gundik seorang bos besar nggak dikasih satu pun cincin berlian?"
Elara menjambaki rambut panjangnya. "Aku ada tabungan. Tapi itu untuk bekalku di sini sebelum dapat pekerjaan lagi. Kalau perhiasan ... si Zavier nggak pernah ngasih aku hadiah kayak gitu. Karena aku emang nggak terlalu suka sama perhiasan. Aku lebih suka diajak jalan-jalan dan staycation."
"Bodoh!" Hardikan dari seberang sana berhasil membuat Elara nyaris menjatuhkan ponselnya. "Seharusnya kamu minta dibelikan perhiasan setiap bulan, Ela! Untuk jaga-jaga kejadian tak terduga seperti ini! Ini malah milih jalan-jalan dan staycation-staycation! Punya otak tuh dipake! Jadi simpanan tuh harus pintar mengeruk harta lelaki. Bukan cuma pintar nungging, mengangkang dan ngulek doang! Heuh! Kamu ini, ya ... bikin Mama darah tinggi! Dasar dongo! Birahi saja diutamakan ... tapi materi dikesampingkan! Tolol!"
"Mama!" Elara meninggikan suara, berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan rahang mengetat. "Stop mengata-ngatai aku ... tolol, bodoh, dongo! Seharusnya dalam keadaan seperti ini, Mama tuh dukung aku! Bukannya malah terus memojokanku hanya karena aku ... nggak bisa ngirim uang bulan ini! Mama tuh dari dulu egois! Nggak pernah bener-bener peduli sama aku! Yang Mama peduliin tuh ... cuma uang, uang dan uang! Aku capek jadi sapi perah kalian! Capeeek!" Elara mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini ia simpan dalam hati. Kekesalannya sudah tak bisa dibendung lagi.
Suara ibunya malah kian menggema lebih dari suara Elara. "Udah berani ya kamu ngelawan Mama! Menyahuti semua perkataan Mama! Dasar anak durhaka! Tidak tahu berterima kasih! Mama sudah mengandung, melahirkan dan mengurusmu sampai sebesar sekarang ... tapi kamu, hanya karena Mama minta jatah bulanan ... langsung membentak Mama dengan perkataan yang menyakitkan. Tega kamu Ela! Sakiiit hati Mama!"
Elara membanting punggungnya ke sofa yang ada di kamarnya, rambutnya ia tarik frustrasi. "Ma ... "
Tangisan nyaring terdengar dari seberang sana, dan itu membuat Elara serba salah, merasa menyesal karena telah membentak ibunya.
"Ma, aku minta maaf. Oke ... nanti siang, aku akan transfer uangnya."
Seketika, tangisan ibunya berhenti. "Nah, gitu dong. Mama kan senang dengernya. Lima puluh juta ya, Ela. Jangan kurang. Kalau lebih boleh."
Elara menggertakkan gigi, nyaris melempar ponselnya. "Iya."
"Jangan bohong, Ela. Mama tunggu!"
Telepon diputus.
Elara terpaku. Ponselnya kini menampilkan layar hitam.
Kesal. Putus asa. Marah. Semuanya bercampur jadi satu.
Ia memukul bantal dengan kasar, terisak tak terkendali. "Setan! Kenapa hidupku jadi begini?! ATM berjalanku hilang ... dan orang tua toxic-ku malah makin menjadi-jadi! Sialan! Keparat! Brengsek!" Detik selanjutnya, Elara pun menangis.
Setengah jam berlalu, Elara masih terduduk di sofa, napasnya tersengal oleh sisa-sisa tangis dan amarah. Ponsel yang tadi ia lempar ke sisi bantal bergetar lagi, tapi kali ini ia tak peduli. Kepalanya pening, pikirannya kusut.
Tiba-tiba terdengar bel berbunyi.
"Siapa sih?! Ganggu aja!" Dengan emosi yang masih tersisa, Elara keluar dari kamarnya.
Bel kembali berbunyi. "Ihh! Nggak sabaran banget jadi tamu!" jeritnya sambil memutar kunci dan membuka pintu dengan kasar.
Namun ketika matanya melihat si tamu, tubuh Elara spontan membeku bak patung batu.
jadi ayah yg baik untuk anak mu apalagi anakmu perempuan hati"loh