NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30

Ucapan Hilda sangat menusuk. Kalimat itu terus terngiang di telinga Amira bahkan setelah ia melangkah keluar dari ruang tamu. Setiap kata seolah berubah menjadi duri, menancap perlahan di hatinya. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak. Ia berhenti di depan taman kecil tak jauh dari jarak rumah Hendra, mencoba menenangkan diri.

Udara sore itu seharusnya menyejukkan, tapi yang ia rasakan justru panas yang menekan dari dalam. Tatapannya kosong menembus hamparan bunga melati yang baru mekar. Tangannya bergetar, menggenggam ujung pakaian yang dikenakannya.

“Kenapa semuanya harus seperti ini…” bisiknya lirih. Ada getar yang nyaris pecah dari suaranya, tapi Amira menahannya. Ia tahu, menangis di tempat itu hanya akan membuatnya terlihat lemah.

Namun, sekuat apa pun ia mencoba menahan diri, air mata tetap jatuh juga. Satu tetes. Dua tetes. Hingga akhirnya ia menunduk, membiarkan rasa perih itu mengalir tanpa perlawanan.

Amira mengusap air matanya perlahan, mencoba mengatur napas yang tersengal.

Namun pikirannya justru semakin berantakan. Ia tak hanya memikirkan ucapan Hilda yang menusuk itu, tapi juga perihal pernikahannya sendiri—sesuatu yang dulu ia kira akan menjadi pelindung, bukan penjara. Dan yang lebih dominan adalah sosok Satria—seseorang yang begitu berarti baginya dengan penuh kerinduan, kini justru tampak asing hilang harapan.

Pernikahannya dengan Angga tidak pernah bisa membuatnya merasa tenang. Meski setiap hari ia mencoba menerima Angga demi keinginan sang Ayah, namun sungguh setiap langkahnya menjalani pernikahannya itu, ia seperti berjalan di atas pecahan kaca.

Dan di sela-sela kehancuran itu, bayangan Satria muncul lagi. Tatapan matanya yang tenang, caranya memanggil namanya dengan suara yang menenangkan—semuanya kembali menyeruak tanpa bisa ia cegah. Tapi kenangan itu justru semakin menyesakkan dada. Karena pada akhirnya, kini Satria kembali bukan lagi untuknya.

“Kenapa semua terasa salah…” Gumamnya, suara nyaris tak terdengar.

Ia tahu, mencintai Satria adalah kesalahan, tapi menerima Angga juga tak pernah mudah. Hatinya seperti terbelah dua, satu dipaksa untuk tetap bertahan, satu lagi perlahan mati di dalam diam.

****

"Halo, Pa?"

"Satria, bagaimana dengan hari pertamamu?"

"Semua berjalan lancar, Pa,” Jawab Satria. Kedua lengannya memegang stir, sementara pandangannya tetap terfokus pada jalanan di depannya, mobil melaju tenang di antara arus sore yang mulai padat.

“Bagus kalau begitu. Papa senang dengarnya. Kita bicara lagi nanti di rumah. Papa juga sebentar lagi pulang."

"Baik, Pa."

Tuuuut.

Satria melepaskan earphone saat panggilan dari Hendra terputus. Ia menarik tuas persneling, lalu menghela napas pelan ketika mobilnya berhenti mendadak di tengah kemacetan. Deru klakson dari kendaraan lain bersahutan, membuat dahinya berkerut. Ia menatap sekilas ke arah jam di dashboard—jarum detiknya terasa berjalan lambat, sama seperti antrean kendaraan di depannya yang nyaris tak bergeming.

Satria mencondongkan tubuh, menatap ke luar jendela. Barisan mobil mengular panjang hingga ke tikungan. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di setir, mencoba menahan rasa jenuh yang mulai merayap. Di sela riuh kota itu, pikirannya kembali melayang pada sosok satu nama yang masih menggelayuti pikirannya—dan juga pada satu nama yang tanpa sadar kembali ia sebut dalam hati. Amira.

Nama itu seperti gema yang tak kunjung padam. Meski sudah berusaha menepisnya dengan kesibukan, bayangan perempuan itu tetap muncul di sela pandangannya. Bahkan, di antara deru mesin dan hiruk pikuk kendaraan, Satria merasa seolah waktu berhenti sejenak—membiarkannya tenggelam dalam kenangan yang masih hangat sekaligus menyakitkan.

Bagaimana bisa Amira membiarkan lelaki itu menikahinya? Menawarkannya sejuta kehangatan yang tidak lagi ia berikan, bahkan sebuah pelukan sederhana namun menyakitkan, begitu jelas di depan matanya.

Satria menarik tuas persneling dan menekan pedal gas mobilnya lagi, saat kendaraan di depannya perlahan mulai bergerak. Deretan mobil yang tadinya berhimpitan kini sedikit demi sedikit maju, memberikan ruang untuknya melaju.

Beberapa menit kemudian, Satria akhirnya berhasil melewati titik kemacetan itu. Jalanan di depannya mulai renggang, lampu-lampu kota memantul di kaca depan mobilnya, menambah kesan malam yang seakan baru saja bernafas lega. Ia mengendurkan genggaman di setir, membiarkan mobil melaju dengan kecepatan sedang.

Meski jalan sudah terbuka, pikirannya tetap terasa sesak. Nama itu—Amira—masih bergema di kepalanya, menolak untuk pergi bersamaan dengan hilangnya macet di belakang sana.

Namun di sela lamunannya itu, sesuatu di jalan menarik perhatiannya. Ya. Dari jarak beberapa meter di depan, ia menyadari ada sebuah motor yang tampak berjalan perlahan, membuntuti mobil sedan putih. Dua orang di atasnya, seorang pengendara dan penumpang di belakang, terlihat seperti sedang memperhatikan kendaraan di depan mereka. Gerak-geriknya mencurigakan, terutama ketika motor itu sengaja menjaga jarak tetap dekat namun tidak menyalip.

Satria sempat mengerutkan dahi, nalurinya langsung terpicu. Ia menurunkan sedikit kecepatan, berusaha memperhatikan lebih jelas. Lampu belakang motor berkedip sebentar, lalu mati. Penumpangnya menunduk, seperti sedang menghindari cahaya dari kendaraan lain.

Suasana jalan memang sudah mulai lengang, tapi entah kenapa, pemandangan itu membuat Satria merasa ada yang tidak beres. Ia menegakkan tubuhnya, meletakkan kembali tangannya di kemudi dengan lebih mantap.

Tatapannya kini fokus, mengikuti gerak motor itu dari kejauhan. Di antara sorot lampu jalan yang bergantian menerangi wajahnya, ada sesuatu di mata Satria—kewaspadaan, dan mungkin sedikit rasa curiga yang belum sempat ia pahami sepenuhnya.

Motor itu tiba-tiba menyalip dari sisi kiri, melesat cepat dan memotong jalur mobil sedan putih yang sejak tadi mereka ikuti. Satria spontan menegakkan tubuh, matanya membulat ketika melihat penumpang di belakang motor mengangkat sesuatu dari balik jaketnya—sekilas, seperti batang besi atau mungkin senjata tumpul.

Refleks, Satria menekan klakson keras-keras sambil membanting setir sedikit ke kanan. Mobilnya hampir mengenai separator jalan, tapi ia berhasil menyeimbangkan arah. Suara klakson dan decit ban membuat beberapa pengendara lain menoleh panik namun tidak bereaksi.

Motor itu tersentak, nyaris kehilangan kendali, tapi kemudian kembali mencoba mendekati mobil sedan di depan.

“Sial…” Desis Satria pelan. Adrenalinnya langsung naik. Tanpa berpikir panjang, ia menekan pedal gas lebih dalam, mendekat ke arah motor itu. Ia tahu apa yang akan terjadi jika membiarkannya—dan entah kenapa, nalurinya menolak diam.

Mobilnya kini hanya berjarak beberapa meter dari motor tersebut. Penumpang di belakang motor itu sempat menoleh ke arah Satria, mungkin terkejut melihat seseorang mengejar mereka. Dalam sepersekian detik, tatapan mereka bertemu—tegang, tajam, penuh insting bertahan.

Satria menekan pedal gas dalam-dalam, menyalip ke sisi kanan jalan dan memotong jalur motor tepat di depan mobil sedan putih yang menjadi target. Ban mobilnya berdecit keras dan menimbulkan suara gesekan tajam di aspal lagi. Namun kali ini, dalam sekejap, mobilnya berhenti melintang di tengah jalan, memaksa motor dan mobil sedan di depannya menghentikan laju mereka secara mendadak.

Motor itu oleng, hampir terguling. Pengendara dan penumpangnya berusaha menyeimbangkan diri, tapi kehilangan kontrol. Satria cepat turun dari mobil, langkahnya mantap dan penuh adrenalin. Suara pintu mobilnya menutup keras, menggema di antara jalanan yang kini hening, hanya tersisa bunyi mesin yang masih hidup.

“Berhenti!” Seru Satria, suaranya dalam dan tegas. Ia mendekat, matanya menyapu cepat ke arah motor yang kini berputar arah lalu pergi hingga menghilang dari pandangan dalam seperkian detik. Sementara, mobil sedan putih yang kini berhenti beberapa meter di depan, beringsut turun seorang wanita yang tampak ketakutan—wajahnya pucat, matanya melebar, menatap ke arah Satria dengan kebingungan.

"Makasih, Mas!" Ungkap wanita itu. Usianya mungkin tak begitu beda darinya. Cantik, dengan rambut sedikit pirang yang terurai acak karena kepanikan barusan, sebagian menempel di pipinya yang masih memucat. "Kalau gak ada Mas, aku gak tahu nasib aku kayak gimana,"

Satria hanya mengangguk pelan, masih mencoba menstabilkan napasnya.

"Sekali terima kasih banyak ya, Mas." Tambah wanita itu. Dibalik matanya yang disapu maskara, nampak bola mata yang lekat penuh permohonan. "Oh ya, aku Tania."

"Satria," Jawab Satria datar. "Lain kali lebih hati-hati lagi."

"Iya, Mas." Angguk wanita itu. Ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu—campuran antara syok dan rasa syukur yang tulus. Cahaya lampu jalan memantul di matanya yang bening, memberi kesan hangat di tengah dinginnya udara sore yang nyaris menuju malam.

"Kalau begitu, saya permisi dulu." Satria berbalik. Suaranya tenang tapi menyiratkan sisa ketegangan yang belum sepenuhnya reda. Ia melangkah menuju mobilnya, membuka pintu tanpa banyak bicara lagi.

Perempuan itu sempat ingin menahannya, seolah masih ingin mengucapkan sesuatu. “Mas… tunggu!” Panggilnya pelan. Satria menoleh sebentar, menatapnya dengan senyum tipis yang singkat namun tulus.

“Nggak apa-apa. Hati-hati di jalan,” Ucapnya, lalu menutup pintu mobil. Mesin kembali menyala, menyisakan dengung rendah di antara sunyi sekitar.

Perempuan itu berdiri di tempat, menatap mobil Satria yang perlahan menjauh, lampu belakangnya memudar di balik kelokan. Di wajahnya masih tersisa ekspresi kagum bercampur rasa penasaran—tentang siapa sebenarnya pria yang baru saja menolongnya itu.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!