Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Ruang dan Luka
Cahaya pagi menyelinap pelan melalui celah tirai, membentuk garis-garis lembut di lantai kayu kamar asrama. Udara masih dingin, tapi hangatnya sinar mentari membuat bayangan malam kemarin terasa jauh, meski hatiku masih membawa serpihan rasa sakitnya.
Aku duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sendiri, menatap cahaya yang menari di dinding. Masih ada jejak air mata di pipiku, dan napasku berat meski tak terdengar dari luar. Rasanya seperti habis menempuh badai yang panjang, tapi aku masih berdiri—rapuh, tapi bertahan.
Pikiran tentang Nick berputar di kepalaku. Suara lirihnya, tatapannya, penyesalan yang tersimpan di matanya… semuanya masih segar, mengisi ruang hampa di dadaku. Aku ingin menahan diri, menolak rasa sakit itu, tapi sekaligus ingin membiarkan hatiku meresapi setiap emosi, setiap luka yang pernah kubawa dari masa lalu dan malam kemarin.
Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kamu kuat, Nora." bisikku pada diriku sendiri, suaraku nyaris hilang di udara pagi. "Kamu masih bisa merasa, masih bisa berdiri, meski hatimu belum sepenuhnya sembuh."
Di luar jendela, dunia kampus sudah mulai bergerak. Suara langkah kaki dari koridor, bisik angin di pepohonan, dan kicau burung yang belum sepenuhnya bangun membuatku tersadar—dunia terus berjalan, meski hatiku ingin berhenti sejenak.
Aku menutup mata, membiarkan cahaya hangat mentari pagi menelusup ke kulitku. Sedikit demi sedikit, rasa sakit malam kemarin mulai mereda, digantikan oleh kesadaran bahwa aku masih memiliki waktu, masih memiliki kesempatan untuk mengerti, memaafkan, dan—mungkin—percaya lagi.
Aku menuruni tangga asrama dengan langkah perlahan, masih membawa rasa letih yang tersisa dari semalam. Di lorong, Nina sudah menunggu dengan satu cup kopi panas. Aroma kopi itu menyapa indera penciumanku seperti pelukan hangat, mengusir sisa dingin di tubuhku.
“Pagi, Nora!”, sapanya lembut, tapi ada kilau kekhawatiran di matanya yang tak bisa ia sembunyikan.
Aku tersenyum tipis, mencoba terlihat baik-baik saja. “Pagi… aku hanya butuh kopi ini dulu, Nina.”, suaraku masih serak, menandai malam yang berat tadi.
Kami duduk di bangku di taman kecil depan asrama. Cahaya matahari pagi menembus dedaunan, menebar kilau keemasan di rumput yang basah oleh embun. Sesekali, angin membawa aroma bunga liar dan tanah basah, membuat suasana terasa lebih lembut dari biasanya.
Nina menatapku sebentar, lalu tersenyum. “Kamu terlihat… lelah, tapi setidaknya hatimu masih ada di sini.”
Aku menelan ludah, memandang secangkir kopi di tangan sendiri. “Ya, masih. Hanya saja… masih banyak serpihan rasa sakit yang harus kuterima, tapi… aku ingin mencoba.”
Percakapan kami ringan, bercampur tawa kecil dan desahan lega. Sesekali, Nina menggodaku, mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa cemas tentang Nick. Aku merasa hangat, sedikit terlindungi, meski masih ada bayangan luka yang menempel di dadaku.
Untuk pertama kalinya sejak semalam, aku bisa menarik nafas panjang tanpa menahan air mata. Dunia seakan mengingatkanku bahwa meski hatiku rapuh, aku masih punya teman yang bisa menemani, bisa menguatkan, dan membuatku merasa… tidak benar-benar sendirian.
Setelah menghabiskan kopi kami yang mulai dingin, aku dan Nina bersiap untuk kelas pertama kami, langkah kaki kami beradu ringan di lantai kayu koridor yang hangat. Suasana kampus pagi itu dipenuhi aroma kopi, buku, dan percakapan mahasiswa yang berdesakan, tapi ada semacam ketenangan yang menempel di udara, membuatku merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri.
Kami berjalan menyusuri lorong menuju gedung fakultas bisnis. Suara sepatu kami menapak di lantai marmer bercampur dengan tawa teman-teman sekelas yang saling menyapa. Setiap wajah yang kulihat memancarkan rasa ingin tahu, ketegangan, dan antusiasme—perasaan yang anehnya membuatku tersenyum tipis.
Di dalam kelas, kursi-kursi tersusun rapi, papan tulis putih memantulkan cahaya dari lampu-lampu neon di atas. Dosen memulai dengan salam hangat, memperkenalkan mata kuliah, silabus, dan aturan dasar. Aku duduk di samping Nina, merasakan tangan kami hampir bersentuhan di antara meja yang sempit. Ada kenyamanan kecil yang muncul dari kehadiran Nina—seperti jangkar di tengah gelombang emosi yang masih kualami setelah malam sebelumnya.
Namun di balik tawa ringan dan catatan yang kutulis, pikiranku terus melayang pada Nick. Apakah ia sudah baik-baik saja hari ini? Apakah hatiku akan merasa tenang, atau malah teringat kembali rasa sakit yang semalam baru saja kurasakan? Setiap detik di kelas seolah menjadi pengingat bahwa hidup terus berjalan, bahkan ketika hatiku masih belum pulih sepenuhnya.
Pelajaran berakhir dengan cepat. Kami keluar dari kelas, berjalan kembali ke halaman kampus, di mana angin membawa aroma bunga dan rumput segar. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi sisa hari yang sudah menunggu.
Langkah kami terhenti di bawah rindang pohon besar di tepi halaman kampus. Sinar matahari jatuh menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan bergerak di atas wajah-wajah mahasiswa yang lalu-lalang.
Nina sibuk menatap layar ponselnya, menjawab pesan dari grup kelas. Sementara aku membiarkan diriku berdiri diam, memandang langit biru yang terbentang tenang—kontras dengan isi hatiku yang masih berombak.
Ada rasa syukur yang menyelinap pelan. Syukur karena aku masih bisa berjalan di antara banyak orang, menyerap energi kehidupan kampus yang baru dimulai. Syukur karena aku tidak benar-benar sendirian—ada Nina di sisiku. Tapi di saat yang sama, ada seutas benang halus yang terus mengikat hatiku pada Nick.
Bayangan wajahnya, nada suaranya semalam, dan janji-janji samar yang tertinggal di udara… semuanya hadir kembali, seperti gema yang menolak padam. Aku bertanya-tanya, apakah benar aku bisa mempercayainya lagi? Atau justru hatiku sedang menyiapkan benteng, agar tidak lagi mudah runtuh oleh luka yang sama?
Angin bertiup lembut, membawa aroma rumput segar dan suara riuh dari kejauhan. Aku menarik napas panjang, menutup mata sesaat, membiarkan diriku larut dalam momen kecil ini.
Nina menoleh padaku, senyumnya hangat meski matanya tetap penuh tanya. “Kamu kelihatan jauh sekali, Nora. Apa yang kamu pikirkan?”
Aku tersenyum tipis, berusaha menenangkan suaraku. “Hanya mencoba… membiarkan diri merasa. Membiarkan semua ini menemukan tempatnya di hatiku.”
Nina menepuk pelan lenganku, tidak mendesak, hanya memberi isyarat bahwa ia ada di sini. Dan di tengah hiruk pikuk dunia kampus yang baru dimulai, aku tahu—prosesku belum selesai. Aku masih harus mencari jalan pulang pada ketenangan hatiku sendiri.
Kelas kedua sekaligus terakhir hari ini berakhir lebih cepat dari perkiraanku. Ruangan perlahan kosong, meninggalkan aroma samar kapur tulis dan bisikan mahasiswa yang tergesa-gesa beranjak. Nina pamit dengan semangatnya yang tak pernah padam, katanya ada pertemuan singkat dengan klub fotografi. Senyumnya masih menempel, seakan ia membawa matahari kemanapun ia pergi. Dan aku—seperti biasa—memilih arah yang berbeda.
Kakiku menuntunku menuju perpustakaan. Tempat itu selalu punya cara untuk meredakan riuh dalam kepalaku—seperti dulu, saat masa SMA—meski tak pernah benar-benar bisa menghapusnya. Udara di dalam perpustakaan dingin, menenangkan, dengan aroma buku tua bercampur wangi kertas baru. Rak-rak tinggi berdiri anggun, seperti deretan saksi bisu yang menyimpan rahasia manusia sepanjang zaman.
Aku berjalan perlahan melewati lorong-lorongnya, jari-jariku hampir menyentuh punggung buku, seolah ingin menyerap sedikit kebijaksanaan yang tersimpan di dalamnya. Hingga akhirnya, aku memilih duduk di sudut dekat jendela besar. Dari sana, cahaya sore menelusup masuk, memantulkan bayangan pohon-pohon di luar yang bergoyang diterpa angin.
Aku membuka buku acak, tapi huruf-huruf di depanku menari tanpa bisa benar-benar masuk ke kepalaku. Ada suara lain yang lebih keras—suara hatiku sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang tak mau berhenti. Tentang Nick. Tentang Alice. Tentang bagaimana perasaan ini selalu menempatkanku di antara keindahan dan ketakutan yang sama besarnya.
Aku ingin percaya padanya. Aku sungguh ingin. Tapi bayangan wajah Alice yang berdiri terlalu dekat dengannya hari itu masih menusukku tanpa ampun. Dan luka masa lalu—yang kutahu belum pernah benar-benar sembuh—seakan menemukan cara baru untuk berdarah kembali.
Aku menghela nafas panjang, menutup buku yang bahkan tak sempat kubaca satu halaman pun. Tanganku meraba permukaan meja kayu, mencari pegangan, seolah-olah dari situ aku bisa menemukan keseimbangan yang hilang. Perpustakaan begitu sunyi, tapi di dalam kepalaku, riuhnya tak tertahankan.
Lalu, seolah semesta ingin menguji kelemahanku, aku melihatnya. Nick.
Ia berdiri di ujung lorong rak, dengan bayangan lampu putih menyapu wajahnya. Tatapan matanya menemukan milikku. Sekejap saja, namun cukup untuk membuat semua luka di dadaku terasa kembali menganga. Ada sesuatu di sorot matanya yang bukan sekadar rindu—ada penyesalan, ada rasa bersalah, ada keinginan untuk menjangkauku tapi tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Aku tak bisa bergerak. Seakan tubuhku membeku dalam waktu yang melambat. Aku menatapnya dengan luka yang tak sanggup kusembunyikan, sementara ia menatapku dengan mata yang seakan berkata maaf.
Namun Nick tidak mendekat. Ia hanya berdiri di sana, menarik nafas dalam, lalu perlahan berbalik, menghilang di balik rak buku. Seolah jarak di antara kami bukan sekadar langkah, melainkan jurang yang terlalu sulit dijembatani.
Beberapa menit setelahnya, ponselku bergetar pelan di atas meja. Pesan masuk. Dari Nick. Namanya tertera di layar.
Aku menatap layar ponselku cukup lama setelah membaca pesan singkat itu—hanya satu kata, maaf.
Begitu sederhana, begitu ringkas, tapi terasa seberat beban yang menekan dadaku sejak hari itu.
Aku tahu Nick sengaja tidak mendekat. Ia memilih menjauh, seolah percaya bahwa ruang adalah obat paling manjur untuk lukaku. Tapi ruang juga berarti jarak, dan jarak selalu menyakitkan bagi hati yang masih menyimpan rindu.
Perpustakaan tiba-tiba terasa terlalu sunyi. Bunyi gesekan kertas, langkah kaki yang samar, semuanya tenggelam oleh gema satu kata itu.
Maaf.
Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri.
Entah sampai kapan aku bisa benar-benar percaya, entah sampai kapan luka ini bisa terobati. Tapi malam ini aku tahu satu hal—aku belum siap memaafkan, namun aku juga tak sanggup membencinya.
Dan di antara jarak yang ia ciptakan, aku hanya bisa duduk di sini, bersama hatiku yang retak, sambil bertanya-tanya… apakah aku masih berhak menunggu?