Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
epsd23
Aku tetap menjalani hari sekalipun waktu berjalan sangat lambat. Alhamdulillah, kejadian sebulan yang lalu itu benar-benar membuatku lebih dekat lagi dengan Allah. Meskipun aku nggak tahu lagi bagaimana keadannya sekarang. Apakah dia sudah mualaf atau belum.
Sebulan lamanya aku dihukum abi. Hari ini aku sudah bebas dari hukuman itu.
"Kamu memang sudah tidak abi hukum lagi, tetapi kalau sampai kepercayaan abi ini kamu sia-siakan lagi. Kamu tidak akan abi maafkan lagi," tatar abi setelah mengatakan bahwa aku sudah boleh beraktifitas seperti biasa lagi mulai hari ini.
"Iya, Bi." Aku menatap mata abi meyakinkan bahwa aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Abi lalukan semua karna sayang denganmu," lirihnya.
"Iya, Bi. Nay, percaya," ucapku kurang yakin.
"Ini ponselmu." Abi lalu menyodorkan benda kesayangan yang sudah lama kurindukan itu.
"Terima kasih, Bi!" Aku langsung memeluk abi seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya.
"Maafkan jika abi terlalu keras, ya,"
pintanya sambil membelai rambutku.
"Nggak, bi. Abi sudah mendidik Nay,"
sahutku. Tiba-tiba hadir rasa sayang yang begitu besar dihatiku setelah berminggu-minggu menahan kecewa pada super hero-ku itu.
Aku lalu pamit untuk ke kamar. Aku akan menyiapkan surat-surat lamaran kerja. Sekaligus aku akan berangkat ke percetakan abi hari ini sambil mengirimkan surat lamaran ini. Biasanya jika aku libur, aku akan datang ke percetakan untuk sekedar membantu hal-hal yang bisa kulakukan.
Setelah bersiap, aku pamit dengan umi dan abi.
"Ingat pesan abi," ucap abi lagi.
"Iya, Bi. Nay Cuma ke percetakan saja kok," sahutku. Aku lalu mencium tangan umi dan abi sebelum melangkah meninggalkannya.
Aku berangkat sendiri karena hari ini abi nggak ke sana. Biasanya juga begitu, jika aku ke sana abi bisa libur, sebab di sana sudah ada aku yang bisa melakukan pekerjaan yang hanya abi dan aku saja yang boleh mengerjakannya.
Mobil sudah melaju. Perjalanan dari rumahku ke percetakan abi melewati cafe Jasson. Perasaanku nggak karuan ketika melewati jalan yang terlalu menyimpan banyak kenangan ini. Ada rasa sesak yang tiba-tiba ingin kulepaskan.
Aku memperlambat laju mobil saat melewati tempat bersejarah dalam hidupku itu. Berharap dari sini aku bisa melihat pujaan hatiku karna aku ingin memastikan jika dia baik-baik saja setelah terpaksa kutinggalkan.
Sayangnya, hingga mobilku sudah melewati cafe itu tidak terlihat orang yang kucari. Tetapi aku juga nggak punya keberanian untuk mampir. Abi pasti akan murka jika aku berani ke sana lagi. Aku melanjutkan perjalanan ke percetakan dengan rasa yang bercampur antara sedih dan
Kecewa. Andai saja dia bisa bahagia dengan orang lain maka aku akan merelakannya dari pada dia terus kesakitan menahan luka. Sekalipun aku nggak tau bagaimana cara mengobati lukaku sendiri. Tanpa sadar mobil sudah membawaku sampai di percetakan. Masih diantara lamunan dan dunia nyata, kakiku berjalan ke dalam toko. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan ramah. Kini aku benar-benar mencoba untuk masuk ke dalam duniaku yang sebenarnya.
Aku duduk di balik meja kerjaku. Kuambil ponsel yang sudah lama tak kusentuh itu. Sudah nggak ada chat Jasson lagi di dalamnya. Ternyata abi sudah menghapusnya, dan mungkin juga sudah membacanya. Harusnya, jika abi sudah membaca semuanya abi merestui hubunganku karna abi bisa melihat sendiri betapa seriusnya dia denganku.
Kecewa dengan pesannya yang sudah hilang dan nomor Jasson pun sudah tidak ada lagi, aku kini mencari media sosialnya. Kagetnya, sudah tidak ada satu pun media sosialnya yang kutemukan di pencarian. Di daftar blokir juga tidak ada. Apakah dia yang memblokirku?
"Fani." Aku memanggil salah satu karyawanku yang kebetulan lewat di depanku.
"Ya. Kak." sahutnva sambil menghentikan langkah.
"Aku boleh minta tolong sebentar?"
tanyaku berharap.
"Bayar, Kak," candanya. Andai dia tahu patahnya hatiku, nggak akan berani dia bercanda seperti itu.
"Ya, itung aja masuk bon," candaku juga.
Dia tertawa lepas, dan kupaksakan untuk bisa tertawa juga.
"Apa, Kak?" Kali ini dia bertanya serius.
Aku lalu mengambil pena dan menuliskan nama akun @jassonsweet dan memberikan padanya. "Tolong kamu lihat akun ini dong. Tiba-tiba aku nggak bisa membuka akun itu lagi." Aku lalu menyodorkan kertas itu padanya.
"Ciye, pacar kakak ya? nanti kubilang abi loh." Entah kenapa, semua orang yang dekat denganku, setiap aku dicurigai punya pacar pasti bilangnya begitu. Saking sudah terkenalnya aku dikekang sama orang tua.
"Abi sudah tahu," sahutku.
"Wah! Serius, kak? Langsung lamaran nih kayaknya," paparnya sambil mengetik tulisan yang kuberikan itu di ponselnya. "Nggak ada, Kak. Padahal aku kepo banget," sambungnya.
Aku begitu kecewa. Sekaligus bersedih.
"Ya sudah," lirihku. Hanya itu saja yang berhasil keluar dari mulutku. Selanjutnya aku berharap Fani pergi meninggalkanku.
"Apa abi nggak setuju, Kak?" Ternyata dia bisa menebak akar masalahnya.
Aku mengangguk pelan.
"Sabar ya, Kak. Semoga ada jalan," harapnya.
"Terima kasih, ya," sahutku.
Dia lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Aku kini kembali nggak fokus melakukan apapun. Surat lamaran yang rencananya mau kukirim hari ini tak kuhiraukan lagi. Mungkin beberapa waktu kedepan aku nggak akan mengirimkannya sampai hatiku sedikit pulih. Jika aku bekerja di tempat orang dengan keadaan hati seperti ini, aku yakin nggak akan maksimal. Aku takut nggak amanah dan akan mengecewakan.