Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Bukan Ningsih
Udara malam itu lebih dingin dari biasanya. Lampu depan rumah menyala redup, menyorot jalan setapak yang sunyi. Dari balik jendela ruang tamu, aku melihat sosok berdiri diam di depan gerbang—rambut panjang tergerai, gaun merah lusuh berkibar pelan ditiup angin. Punggungnya menghadap rumah.
Aku menghela napas pelan. “Ningsih…” gumamku. Ia memang sering muncul begitu saja. Aku melangkah tanpa pikir panjang, membuka pintu depan, lalu berjalan ke arah gerbang.
Tapi semakin dekat, sesuatu terasa aneh. Udara tiba-tiba membawa bau amis menyengat, pekat, tajam, bercampur aroma besi dan tanah basah. Bau yang tidak pernah ada setiap kali Ningsih muncul.
Langkahku terhenti. Jantungku berdetak kencang, perasaan dingin menjalar di tulang belakang.
“…Bukan Ningsih.”
Sosok itu mulai berputar perlahan. Gerakannya lambat, berderit, seperti sendi retak setiap kali bergerak. Dan ketika wajahnya menghadapku, darahku terasa membeku.
Kulitnya pucat kehijauan, robek-robek hingga tulang rahang terlihat. Mulutnya robek lebar sampai hampir ke telinga, bibirnya berlumuran darah yang menetes ke gaunnya. Matanya putih seluruhnya, tanpa bola hitam, berputar tak fokus seperti sedang mencari sesuatu. Rambut panjangnya kusut, basah, menempel di kulit kepala yang sobek di beberapa bagian hingga tampak tulang tengkoraknya. Kukunya panjang, hitam, runcing, meneteskan darah pekat setiap kali jari-jarinya bergerak.
Suara napasnya berat, berdesis, lalu berubah menjadi tawa serak bercampur lengkingan tinggi, suara yang terdengar seperti anak kecil dan wanita dewasa bersamaan.
Lututku langsung lemas. Aku jatuh ke tanah, tubuhku bergetar hebat. Nafasku tersengal, air mata mulai mengalir tanpa bisa kucegah. Aku menyeret tubuhku mundur, tanganku kotor oleh tanah dan kerikil, hanya ingin kembali masuk ke dalam rumah.
“Ja… jangan… dekat…” suaraku hampir tak terdengar.
Dari arah pintu, langkah kaki menuruni tangga. Kak Joan baru selesai mandi, rambutnya masih basah dan kaus tipisnya sedikit menempel di tubuh. Dia baru turun dari lantai dua setelah membereskan diri sepulang dari rumah sakit.
“Nad?!” suaranya terdengar kaget. Matanya menangkapku yang terduduk di tanah, menangis dan bergetar di depan rumah. Ia buru-buru berlari, tas dan handuk yang dibawanya terjatuh begitu saja di anak tangga. “Nadia! Kamu kenapa?!”
Tanganku langsung meraih lengannya, memeluknya erat sambil terisak. “Kak… jangan… jangan liat ke belakang…” suaraku bergetar, nyaris pecah.
Joan menoleh sekilas ke gerbang. Namun, ia tak melihat apapun. Hanya jalan setapak kosong, gerbang tertutup, dan angin malam yang berhembus dingin. Tapi tubuhnya ikut merinding, hawa udara terasa berat, menekan.
Ia menunduk, menatapku dengan wajah panik. “Nad, ayo… ayo masuk. Kamu aman sekarang. Aku di sini.”
Aku hanya bisa mengangguk lemah, tubuhku masih gemetar hebat. Mataku sempat melirik ke gerbang. Sosok itu masih berdiri di sana, sekarang lebih dekat, menatapku dengan senyum lebarnya yang tak wajar. Darah menetes dari ujung bibirnya ke tanah, membuat suara tetesan samar.
Aku menutup mata rapat-rapat, membiarkan Kak Joan mengangkat tubuhku kembali ke dalam rumah, berharap… sosok itu hilang begitu pintu tertutup.
Joan buru-buru mendorong pintu rumah hingga tertutup rapat, lalu mengunci gemboknya dengan tangan bergetar. Nafasnya berat, bukan karena lelah, tapi karena hawa dingin yang menyelimuti dari luar terasa… tidak wajar.
Di dalam, Wita dan Gilang yang sedang duduk di ruang tamu langsung berdiri begitu melihatku dipapah masuk. Wita menghampiri cepat, matanya membesar.
“Nad?! Kamu kenapa? Kok basah semua tanah begini?!”
Aku masih terisak, suaraku tercekat. “Jangan… jangan biarin pintu kebuka… dia… dia di luar…”
Gilang menoleh ke arah Joan, bingung. “Dia? Siapa? Tadi ada orang?”
Joan menggeleng pelan, masih memelukku erat. “Gue nggak liat siapa-siapa. Tapi… hawa di luar bener-bener nggak enak. Nad sampe jatuh gitu di depan rumah.”
Aku mencengkeram lengan Joan erat-erat, berusaha menenangkan nafasku. “Kak… bukan orang. Bukan… itu… bukan Ningsih…”
Ruangan langsung hening. Wita meraih bahuku, duduk di sampingku di sofa. “Nad, coba pelan-pelan ceritain. Apa yang lo liat?”
Aku menutup wajah dengan kedua tangan, berusaha menahan tubuhku yang gemetar. Gambaran wajah sosok itu masih jelas di kepalaku. Bau amisnya… matanya… senyumnya.
“Dia… kuntilanak merah… tapi bukan Ningsih. Gaunnya… berdarah… matanya putih semua… mulutnya robek… dia cuma berdiri di depan gerbang, nunggu aku.”
Gilang menelan ludah, mencoba tetap tenang. “Lo yakin itu bukan Ningsih yang lagi nge-prank? Lo kan cuma bisa liat mereka…”
Aku menatapnya, wajahku pucat. “Gue hafal bau Ningsih. Dia bau wangi pandan… ini… amis. Bau darah. Dan… dia nggak ngomong apa-apa. Cuma liatin gue kayak… kayak gue mangsa.”
Joan memegang kedua pundakku, menatapku dalam-dalam. “Nad, denger. Kamu di sini sekarang. Sama aku, Wita, sama Gilang. Nggak ada yang bisa nyentuh kamu di dalam rumah ini. Pagar gaib kamu masih ada, kan?”
Aku mengangguk pelan, walau masih gemetar. “Iya… tapi dia tadi berdiri di depan gerbang… kayak nunggu aku keluar lagi.”
Wita menatap Joan, suaranya pelan tapi tegas. “Kita nggak bisa biarin Nadia sendirian, bahkan sebentar pun. Kalau sosok itu bisa bikin dia keluar tanpa sadar…”
Joan meraih selimut di sofa, menyelimutiku. Tangannya mengusap punggungku pelan. “Udah, malam ini kita semua tidur di ruang tengah aja. Nggak ada yang pisah. Aku jagain.”
Gilang berdiri, memastikan semua kunci pintu terkunci. “Gue nggak tau apa itu tadi… tapi kalau dia nggak bisa masuk, minimal kita bisa aman di dalam. Gue bakal jaga pintu.”
Lampu ruang tengah menyala terang, tapi hawa dingin dari luar masih terasa merayap di kulit. Aku duduk di sofa, masih berselimut tebal. Kak Joan duduk di sampingku, memegang tanganku yang dingin. Wita dan Gilang duduk berseberangan, keduanya waspada tiap ada suara dari luar.
Udara tiba-tiba berubah—angin berputar pelan, dan Ningsih muncul begitu saja, duduk santai di sandaran sofa, seolah-olah rumah ini miliknya. Rambutnya panjang tergerai, gaunnya merah kusam, wajahnya menatapku sambil nyengir tengil.
“Lha, cilik… kok pucet? Diganggu, to?” suaranya santai, bahkan terdengar geli.
Aku menoleh dengan tatapan kesal. “Ningsih… tadi ada sosok mirip lo nongkrong di depan gerbang. Gue kira itu lo, gue keluar… hampir jantungan mati, tau nggak?”
Ningsih menaikkan alis, ekspresinya sok polos. “Halah, paling si Merah Jelangkung. Bau amis kan? Itu bukan aku, Ndok. Aku mana pernah bau amis.”
Aku menatapnya tajam. “Ya jelas amis! Dan lo enak aja nongol sekarang. Kenapa nggak lo usir aja dari tadi? Gue sampe hampir ngesot balik ke rumah.”
Dia nyengir lebar, kakinya goyang-goyang di udara. “Heleh, aku kan bukan satpam. Tapi ya… bisa sih kalau kamu mau. Mau tak samperin sekarang? Kubikin dia kapok?”
Aku melipat tangan di dada, nada kesal masih terasa. “Gue nggak peduli. Kalau perlu, lo duel aja sama dia besok. Gue udah muak diganggu tiap malam. Serius, Ning. Berantem aja sekalian.”
Ningsih terbahak, tawanya renyah dan… tengil. “Hahaha! Duel hantu di halaman? Wah, seru! Tak kasih tahu ya… aku bisa bikin dia jungkir balik sambil nyanyi kalau kamu mau. Tapi… rumahmu siap nggak roboh kalau kita duel?”
Aku mendengus. “Bodo amat. Yang penting gue bisa tidur nyenyak. Kalau perlu gue sediain kopi sama camilan, kalian berantem aja biar gue nonton sambil ngemil.”
Ningsih berdiri, gaya tangannya seperti pesilat. “Siap, Ndok! Aku lawan dia besok malam. Tapi kamu harus kasih semangat. Aku kan nggak mau keliatan cupu di depan ‘pacarmu’ itu.”
Aku melirik Kak Joan sekilas, lalu balik ke Ningsih. “Ya udah, gue sorak-sorak deh. Asal dia nggak nongol lagi malam ini.”
Kak Joan, Wita, dan Gilang cuma bengong, saling pandang. Mereka hanya melihatku ngobrol ke udara, tanpa tahu dengan siapa.
Joan akhirnya berkomentar pelan, “Nad… kamu ngomong sama siapa?”
Aku menoleh santai. “Ningsih. Gue suruh dia berantem sama sosok yang ganggu gue. Biar selesai sekalian.”
Wita memijit pelipisnya, menoleh ke Gilang. “Lo ngerti nggak sih ini semua?”
Gilang geleng-geleng. “Gue cuma berharap rumahnya nggak jadi arena tinju besok…”
Ningsih terkikik, lalu berbisik ke telingaku, “Besok siap-siap nonton, Ndok. Duel hantu itu nggak kalah seru sama UFC.” Setelah itu, dia lenyap pelan seperti asap, meninggalkan hawa dingin yang perlahan reda.
Aku menyandarkan tubuh ke bahu Joan, menarik napas panjang. “Yang penting malam ini aman… besok biar hantu sama hantu aja yang ribut.”