Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mediasi yang Gagal Dan Drama Terjadi
Tanpa buang waktu, Kenzi langsung membawa Novia ke rumah sakit terdekat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam saat ia memapah Novia menuju unit gawat darurat. Dokter segera memeriksa luka-luka Novia. Untungnya, hanya luka lecet dan memar di beberapa bagian tubuh, tidak ada patah tulang serius. Novia mendapatkan pertolongan pertama dan perban di siku serta lututnya.
"Anda yakin tidak ada yang sakit lagi, Novia?" tanya Kenzi penuh perhatian saat mereka duduk di ruang tunggu setelah pemeriksaan.
Novia mengangguk pelan. "Tidak, Pak Kenzi. Hanya nyeri sedikit. Terima kasih banyak, Anda sudah repot-repot membawa saya ke sini."
Kenzi menggeleng. "Itu sudah seharusnya. Saya tidak bisa membiarkan Anda sendirian setelah kejadian itu." Ia kemudian mengeluarkan ponselnya. "Motor Anda biarkan saja dulu di lokasi. Saya akan meminta asisten saya untuk mengamankannya."
Tak lama kemudian, asisten pribadi Kenzi datang. Kenzi memberikan instruksi jelas untuk mengurus motor Novia yang ditinggalkan di pinggir jalan. Setelah memastikan semuanya beres, Kenzi menawarkan diri untuk mengantar Novia pulang.
"Mari, saya antar Anda pulang," ajak Kenzi.
Novia merasa sangat tak enak pada Kenzi. Ia sudah terlalu banyak merepotkan pria itu. "Tidak perlu, Pak Kenzi. Saya bisa naik taksi saja. Anda sudah terlalu banyak membantu saya hari ini."
"Jangan membantah," kata Kenzi lembut namun tegas. "Anda tidak dalam kondisi baik untuk naik taksi sendiri. Saya akan mengantar Anda sampai rumah."
Novia akhirnya menyerah. Ia tahu, berdebat dengan Kenzi akan sia-sia. Ia naik ke mobil Kenzi, merasakan perih di tubuhnya, namun juga kehangatan dari perhatian Kenzi. Sepanjang perjalanan pulang, Novia merasa campur aduk. Ia bersyukur memiliki Kenzi yang selalu ada untuknya, namun di sisi lain, rasa bersalah dan tidak enak hati terus menghantuinya. Ia merasa hidupnya kini terlalu bergantung pada pria itu.
Sesampainya di depan rumah kontrakan Novia, Kenzi melihat Suryani dan Tarman yang tampak panik. Mereka pasti sudah khawatir karena Novia tak kunjung pulang.
"Novia! Nak! Kamu kenapa?!" seru Suryani panik melihat Novia berjalan terpincang-pincang dengan perban di siku dan lutut.
"Bu, Pak, saya baik-baik saja," kata Novia mencoba menenangkan orang tuanya. "Tadi ada sedikit insiden di jalan. Kenzi yang menolong saya."
Suryani dan Tarman menatap Kenzi dengan tatapan penuh terima kasih. "Bapak Kenzi! Terima kasih banyak sudah menolong putri kami lagi!" ucap Tarman.
"Sama-sama, Pak, Bu," jawab Kenzi ramah. "Novia hanya luka ringan, tidak ada yang serius."
Kenzi menjelaskan singkat kejadian tabrak lari yang dilakukan oleh Diana. Ia juga memberitahu bahwa motor Novia diamankan oleh asisten pribadi Kenzi dan akan segera diperbaiki.
"Saya akan pastikan Bu Diana mendapatkan pelajaran dari perbuatannya," kata Kenzi, matanya menunjukkan ketegasan. "Ini sudah keterlaluan."
Novia menatap Kenzi, merasa semakin tidak enak. Ia tahu Kenzi akan bertindak demi dirinya, dan itu berarti Kenzi harus mengeluarkan waktu, tenaga, dan mungkin juga biaya.
****
Suasana di kantor polisi pagi itu cukup ramai, namun ketegangan terasa begitu pekat di salah satu ruang mediasi. Bu Desi dan Pak Marzuki datang memenuhi panggilan. Bu Desi mengenakan pakaian rapi, namun wajahnya menunjukkan kesan pongah dan angkuh. Ia tampak sama sekali tidak takut akan ditahan atas apa yang sudah ia lakukan. Di benaknya, ia merasa tidak bersalah, semua yang ia lakukan adalah demi membela kebenaran.
Pak Marzuki duduk di samping istrinya, wajahnya terlihat lelah dan cemas. Ia sudah mencoba menasihati Bu Desi agar bersikap kooperatif, namun istrinya itu tetap pada pendiriannya yang keras kepala.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan Kenzi masuk didampingi oleh pengacaranya. Kenzi mengenakan kemeja rapi, sorot matanya tajam namun tenang. Ia menatap Bu Desi dan Pak Marzuki sekilas, lalu duduk di kursi yang telah disediakan.
Seorang petugas polisi memulai proses mediasi. "Baik, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Kita berkumpul di sini untuk mencari jalan tengah terkait laporan yang diajukan oleh Bapak Kenzi terhadap Ibu Desi. Acara mediasi setelah somasi ini bertujuan agar masalah bisa diselesaikan secara kekeluargaan."
Petugas polisi menjelaskan tuduhan yang dikenakan pada Bu Desi: pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan di muka umum terhadap Novia dan yayasan sekolah.
"Jadi, bagaimana, Ibu Desi? Apakah Anda mengakui perbuatan Anda dan bersedia meminta maaf?" tanya petugas.
Bu Desi mendongak, mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Bu Desi ngotot dan menolak mengakui kesalahannya. "Tidak! Saya tidak merasa bersalah! Saya hanya mengatakan yang sebenarnya! Wanita itu, Novia, memang mandul dan pelakor! Dia itu biang kerok semua masalah!"
Pak Marzuki menunduk malu mendengar ucapan istrinya. Pengacara Kenzi berbisik pada Kenzi, namun Kenzi hanya menggelengkan kepala, wajahnya datar.
"Ibu Desi, mohon jaga ucapan Anda," peringatkan petugas. "Jika Anda tidak mau mengakui perbuatan Anda, maka proses hukum akan dilanjutkan."
"Lanjutkan saja! Saya tidak takut!" tantang Bu Desi, menatap Kenzi dengan tatapan meremehkan. "Memangnya dia siapa, berani-beraninya mengancam saya?!"
****
Kenzi akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Bu Desi, saya sudah mencoba berbagai cara untuk menyelesaikan ini secara baik-baik. Saya sudah mengirimkan somasi. Tapi Anda tidak mengindahkannya. Bahkan Anda terus-menerus membuat keributan dan menghina Novia di depan umum."
Ia menatap petugas polisi. "Saya melaporkan Bu Desi karena dia sudah berbuat onar di sekolah saya, mengganggu ketertiban, dan mencemarkan nama baik guru saya. Saya punya banyak saksi dan bukti video." Kenzi kemudian menatap Bu Desi dengan tatapan dingin. "Saya tidak punya pilihan lain selain membawa ini ke jalur hukum. Ini demi melindungi guru-guru dan nama baik yayasan saya."
Mediasi itu jelas tak berlangsung baik. Pak Marzuki mencoba membujuk Bu Desi, namun Bu Desi tetap pada pendiriannya yang keras. Petugas polisi akhirnya menghela napas.
"Baiklah. Karena mediasi tidak mencapai titik temu, maka kasus ini akan dilanjutkan ke tahap penyelidikan lebih lanjut. Ibu Desi, Anda akan dipanggil lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut."
Bu Desi terkejut mendengar itu, namun tetap mencoba memasang wajah pongah. Pak Marzuki hanya bisa menunduk pasrah. Ia tahu, istrinya telah menggali kuburannya sendiri.
****
Beberapa hari setelah insiden penabrakan motor Novia, sebuah surat panggilan resmi dari kepolisian tiba di rumah Diana. Isi surat itu menyebutkan Diana sebagai terlapor atas dugaan tabrak lari yang menyebabkan luka pada korban, Novia Anwar. Diana terkejut bukan main. Ia tidak menyangka Kenzi akan benar-benar melaporkannya ke polisi. Rasa kaget dan sedikit takut merayapi dirinya, namun ia segera menepisnya dengan angkuh.
"Apa-apaan ini?! Hanya kecelakaan kecil saja sampai dilaporkan?!" gumam Diana kesal, meremas surat panggilan itu. Ia menganggap laporan itu hanya gertakan belaka dari Kenzi dan Novia. Diana tak mengindahkan panggilan itu hingga dua kali. Ia merasa terlalu berkuasa untuk dipaksa datang ke kantor polisi hanya karena masalah sepele seperti itu. Ia mengabaikan semua surat panggilan, menganggapnya sampah.
Namun, pada pagi yang cerah itu, ketenangan di rumah Diana mendadak sirna. Sebuah mobil patroli polisi berhenti di depan gerbang rumahnya. Dua orang polisi berseragam lengkap turun dan melangkah tegas menuju pintu.
Diana, yang sedang menikmati sarapan di ruang makan, terkejut melihat kedatangan polisi. Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba bersikap tenang, namun wajahnya tak bisa menyembunyikan kepanikan.
"Selamat pagi, Ibu Diana," sapa salah satu polisi dengan nada resmi. "Kami dari kepolisian. Kami datang untuk menjemput Ibu terkait kasus tabrak lari yang dilaporkan atas nama Saudari Novia Anwar."
Mata Diana membelalak. "Menjemput?! Apa-apaan ini?! Kalian tidak punya hak!" teriak Diana, suaranya meninggi. Ia menatap tajam ke arah polisi. "Saya sudah bilang, saya tidak bersalah! Itu hanya kecelakaan kecil!"
"Kami sudah mengirimkan surat panggilan sebanyak dua kali, Bu. Dan Ibu tidak mengindahkan. Oleh karena itu, kami memiliki surat perintah penjemputan paksa," jelas polisi itu dengan tenang, menunjukkan dokumen resmi.
Diana sontak berteriak heboh dan menolak dibawa. "Tidak! Saya tidak mau ikut! Kalian tidak bisa membawa saya! Saya ini warga terhormat! Kalian pasti salah orang! Ini semua fitnah dari wanita sialan itu, Novia!"
Ia mencoba mundur, bersembunyi di balik pilar rumahnya. Januar yang mendengar keributan, keluar dari kamarnya dan terkejut melihat polisi. Ia mencoba menenangkan ibunya, namun Diana sudah kalap.
"Pergi kalian! Jangan sentuh saya!" Diana terus berteriak, meronta-ronta saat polisi mencoba mendekatinya. Ia bahkan mencoba memukul salah satu polisi. Suasana menjadi gaduh, menarik perhatian para tetangga yang mulai mengintip dari balik pagar.