NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:858
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 Part 1

Telepon ditutup.

Hening.

Keheningan yang mencekam itu jauh lebih menakutkan daripada suara apa pun. Bunga menatap Arga. Arga menatap Bunga. Wajah "Pak Dosen" yang bijak dan "Wali Galak" yang mengintimidasi lenyap seketika.

Yang tersisa di meja makan itu hanyalah dua orang konspirator yang baru saja mendengar bahwa markas mereka akan digerebek.

"Dua minggu..." bisik Bunga, suaranya nyaris tak terdengar. "Menginap."

Arga tidak menjawab. Ia melepas kacamatanya, meletakkannya di atas meja, dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia terlihat sangat lelah. Ini adalah pertama kalinya Bunga melihat Arga—sosok yang selalu punya solusi untuk segalanya—terlihat benar-benar... kalah.

"Mas," kata Bunga lagi, paniknya mulai naik. "Ibu... Tante... Ibu Mas Arga mau nginap. Di sini. Di apartemen kita. Yang punya dua kamar. Dan kita... kita..."

"Mas tahu, Bunga," potong Arga, suaranya teredam oleh telapak tangannya.

"Terus gimana?" desak Bunga. "Kita nggak bisa bilang 'Maaf, Bu, kamar tamunya lagi dipakai'. Kamar Bunga... itu kamar Bunga! Penuh barang Bunga! Terus kamar Mas... cuma ada barang Mas! Mereka nggak bodoh! Mereka baru nikahin kita dua bulan lalu!"

Bunga mulai mondar-mandir di ruang makan. Napasnya memburu. "Mereka bakal tahu! Mereka bakal tahu kita bohong! Nanti Bunga disuruh pulang. Bunga nggak boleh kuliah lagi. Mas Arga juga pasti dimarahi Om dan Tante! Gimana ini, Mas?!"

"Bunga, tenang." Arga akhirnya menurunkan tangannya. Matanya merah karena lelah. "Duduk. Panik nggak akan menyelesaikan apa-apa."

"Gimana mau tenang?!"

"Duduk," kata Arga lagi, kali ini dengan nada tegas yang familiar.

Bunga berhenti mondar-mandir dan duduk kembali di kursinya. Tangan di bawah meja saling meremas.

Arga diam selama satu menit penuh. Otak arsiteknya yang terbiasa memecahkan masalah struktural kini beralih memecahkan masalah domestik yang jauh lebih rumit. Ia memetakan apartemen itu dalam pikirannya.

Dua kamar. Satu master bedroom (kamarnya), dengan kamar mandi dalam. Satu kamar sekunder (kamar Bunga), dengan kamar mandi di luar.

"Oke," kata Arga akhirnya. "Kita punya satu masalah besar dan satu solusi yang sangat tidak nyaman."

Bunga menelan ludah.

"Masalahnya, kita nggak bisa menyembunyikan fakta bahwa ada dua kamar," jelas Arga, seolah sedang mempresentasikan desain. "Dan kita tidak bisa berpura-pura tidur di dua kamar terpisah. Itu konyol. Kita pengantin baru."

"Jadi...?"

"Jadi," Arga menatap Bunga lekat-lekat, "kita harus tidur di kamar yang sama."

Jantung Bunga serasa berhenti berdetak, meski ia sudah tahu itu adalah satu-satunya kesimpulan.

"Dan," lanjut Arga, "kita tidak bisa tidur di kamarmu. Kamar itu terlalu kecil untuk ranjang queen size dan barang-barang kita berdua. Yang paling logis, kita tidur di master bedroom. Kamar Mas."

Bunga memejamkan matanya. Kamar Mas Arga.

"Kamar kamu," Arga menunjuk ke pintu kamar Bunga, "harus kita sulap. Total. Kita harus membuatnya terlihat seperti... kamar tamu yang sesekali dipakai. Atau ruang kerja. Atau semacamnya. Kosong, tapi rapi."

"Tapi isinya barang Bunga semua!"

"Itulah 'solusi tidak nyaman' yang Mas maksud," kata Arga. "Besok. Hari Jumat. Kamu nggak ada kelas, kan?"

"Cuma satu kelas pagi, Mas."

"Bagus. Besok sore, kita mulai 'Operasi Pindah Kamar'."

Jumat sore itu terasa seperti vonis. Bunga pulang dari kampus dengan perasaan aneh. Ia tidak bisa fokus di kelas. Pikirannya terus melayang pada apa yang akan terjadi sore nanti.

Ia tiba di apartemen. Arga ternyata pulang lebih cepat. Laki-laki itu sudah ada di sana, mengenakan kaus oblong biasa, dan sedang berdiri di depan kamar Bunga dengan tatapan seorang kontraktor yang siap merobohkan bangunan.

"Siap?" tanya Arga.

Bunga hanya mengangguk pasrah.

Mereka memulainya dengan kamar Bunga. "Kita harus keluarkan semua identitasmu dari kamar ini," kata Arga.

Selama dua jam berikutnya, mereka bekerja seperti tim pemindah barang. Poster-poster grup musik Korea dicopot satu per satu dari dinding, meninggalkan bekas selotip yang samar. Boneka panda Momon dan teman-temannya dievakuasi ke dalam kardus. Buku-buku kuliah Bunga dipindahkan ke rak buku besar di ruang tamu.

"Ini bagus," kata Arga sambil menata buku Bunga di sebelah buku-bukunya. "Kelihatannya jadi rak buku 'kita'. Lebih meyakinkan."

Selanjutnya, bagian tersulit. Pakaian.

Arga membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Bunga masuk dengan langkah ragu. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar masuk dan mengamati kamar Arga.

Kamar itu... sangat Arga. Dindingnya berwarna abu-abu tua yang menenangkan. Ranjangnya besar, ukuran king size, dengan headboard kayu solid. Perabotnya minimalis. Hanya ada nakas, lemari pakaian built-in yang besar, dan satu kursi malas di sudut. Wanginya seperti Arga—kopi, sabun musk, dan sesuatu yang bersih seperti ozon.

"Lemari Mas cuma terisi setengah," Arga membuka pintu lemari geser. Benar saja. Sisi kiri terisi kemeja-kemeja kantornya yang tergantung rapi, berjarak sempurna satu sama lain. Sisi kanan kosong melompong.

"Kamu pakai sisi ini," kata Arga.

Bunga membawa tumpukan bajunya. Dan dimulailah ritual paling canggung dalam hidupnya. Ia mulai menggantung daster-daster batiknya, blus-blus kuliahnya, dan rok-roknya... tepat di sebelah kemeja Arga.

Rasanya begitu intim. Begitu... salah.

"Mas..." Bunga berhenti, memegang setumpuk pakaian dalamnya. Wajahnya memerah padam. "Ini... gimana?"

Arga, yang sedang melipat selimut tamu untuk kamar Bunga, memalingkan wajahnya. Ia tampak sama canggungnya. "Di... di laci paling bawah. Sebelah kanan. Mas nggak akan buka."

Bunga bergegas memasukkan tumpukan pakaian itu ke dalam laci, seolah itu adalah barang selundupan.

Selanjutnya, kamar mandi. Kamar mandi Arga besar dan mewah, dengan bathtub dan shower terpisah. Meja wastafelnya yang lebar dan bersih hanya berisi... sikat gigi, pasta gigi, sabun cuci muka, dan aftershave.

"Skincare kamu taruh di rak kaca itu," kata Arga dari pintu, menolak masuk selagi Bunga di dalam.

Bunga mulai menata. Botol toner, pelembap, serum, dan kapasnya kini berjejer rapi di sebelah aftershave Arga. Pemandangan itu begitu... domestik. Sikat gigi pink Bunga kini berdiri di gelas yang sama dengan sikat gigi hitam Arga.

Bunga menatap pantulan wajahnya di cermin. Apa yang sedang aku lakukan?

Pukul delapan malam, 'Operasi Pindah Kamar' selesai. Kamar Bunga kini bersih, steril, dan impersonal. Hanya ada ranjang dengan sprei putih polos, meja kosong, dan lemari kosong. Sempurna sebagai kamar tamu.

Sebaliknya, kamar Arga... kini penuh dengan Bunga. Novel-novel romantisnya ada di nakas. Laptop pink-nya ada di meja kerja di sudut. Boneka Momon terpaksa diletakkan di atas kursi malas. Dan kamar mandi Arga kini beraroma stroberi dari sabun mandi Bunga.

Keduanya berdiri di ambang pintu kamar Arga, menatap "karya" mereka.

"Sudah," kata Arga pelan.

"Iya," bisik Bunga.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!