Lima tahun lalu, Liliane Lakovelli kehilangan segalanya ketika Kian Marchetti—pria yang dicintainya—menembak mati ayahnya. Dikhianati, ia melarikan diri ke Jepang, mengganti identitas, dan diam-diam membesarkan putra mereka, Kin.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali. Kian tak menyadari bahwa wanita di balik restoran Italia yang menarik perhatiannya adalah Liliane. Namun, pertemuan mereka bukan hanya tentang cinta yang tersisa, tetapi juga dendam dan rahasia kelam yang belum terungkap.
Saat kebenaran terkuak, masa lalu menuntut balas. Di antara cinta dan bahaya, Kian dan Liliane harus memilih: saling menghancurkan atau bertahan bersama dalam permainan yang bisa membinasakan mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caesarikai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merawat Kin Bersama
"Apa yang membuatmu menyukai margherita pizza?" tanya Kian saat menyuapkan sepotong pizza pada Kin. Margherita pizza itu buatan restoran Italia milik Liliane, Notte d'Oro.
Kian semalam menginap di rumah sakit, karena Kin tidak ingin ditinggal olehnya. Liliane juga tidak mempermasalahkan hal itu, sehingga Kian dapat menetap di sana.
Kin terlihat mengunyah pizza-nya dengan nikmat. Wajahnya nampak puas. "Aku suka rasa asam-manis dari saus tomatnya, kemudian kejunya yang lumer di mulut dan daun basilnya yang beraroma khas. Belum lagi jika dipanggang di oven batu, pasti ada rasa gosong sedikit yang menjadikannya lebih lezat." Jelas Kin dengan wajah bersungguh-sungguh.
Kian yang mendengar itu langsung tertawa. Anak sekecil Kin, bagaimana bisa dia mendeskripsikan rasa margherita pizza dengan bahasa layaknya seorang chef?
"Memang pizza buatan ibumu yang paling enak," ucap Kian tanpa sadar membuat Kin tertarik.
"Mommy pernah memasak untuk Paman?" tanya Kin dengan wajah penasaran. Pasalnya sejak memiliki restoran, Liliane jarang sekali ikut memasak di dapur—hanya sesekali saat dapur terlalu sibuk dan banyak orderan.
Kian berdeham sejenak. Ia bingung harus menjawab apa. "Emm ... Kau yang pernah mengatakannya padaku, ibumu yang memasak margherita pizza. Lalu, aku memesannya di Notte d'Oro."
Kin menggeleng. "Itu bukan buatan Mommy."
Kemudian Kin menunjuk pizza di tangan Kian. "Ini juga bukan. Ini buatan Paman Koki atau biasanya Ayah Ryuu. Ya ... Meskipun resepnya didapat dari Mommy."
"Kalau begitu, lain kali Paman harus mencoba buatan Mommy-mu." Ucap Kian pada akhirnya.
"Tentu saja." Balas Kin seraya mengangguk senang.
Kian kembali menyuapi Kin yang makan dengan lahap. Sesekali terdengar gurauan di tengah obrolan santai mereka.
"Paman Kian ..." panggil Kin kemudian.
"Ya? Kau butuh sesuatu?" tanya Kian sembari meletakkan piring di atas nakas dan mengambil air putih untuk Kin minum.
Kin menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin bertanya. Apa alasan Paman Kian tidak boleh bertemu denganku?"
Pertanyaan Kin membuat Kian mengerutkan dahinya bingung. "Siapa yang mengatakannya? Kau boleh bertemu denganku kapanpun kau mau."
"Mommy, Obaasan, Jiisan ... Mereka tidak ingin kita bertemu."
Belum sempat Kian menjawab, Kin kembali berbicara. "Lalu, kudengar kau yang mendonorkan darah padaku. Aku tahu golongan darahku termasuk langka, Bibi Nanami pernah memberitahuku. Oleh karena itu, aku harus menjaga diri agar tidak kehilangan darah."
"Mommy tidak memiliki golongan darah yang sama denganku. Apalagi Jiisan, Obaasan dan Ayah Ryuu. Bibi Nanami juga mengatakan bahwa golongan darahku mungkin sama dengan ayah kandungku. Paman Kian ... Bisakah kau menjelaskan semua ini padaku?" tanya Kin dengan wajah penuh harap.
Kian menelan ludahnya dengan susah payah. Jujur saja, pembicaraannya dengan Liliane belum sampai di sini. Untuk memberitahu Kin bahwa ia adalah ayahnya merupakan keputusan yang cukup sulit, belum tentu Liliane akan menyetujuinya. Kian sendiri sangat menghargai pendapat Liliane, meski dirinya sangat ingin dipanggil 'Daddy' oleh Kin.
Lagipula, ia juga bingung. Kenapa anak seusia Kin sudah bisa berpikir tentang golongan darah dan mengambil kesimpulan serumit itu?
"Aku—"
"Kin ... Ingin bermain lego? Ayah Ryuu membawakannya kemarin," tiba-tiba Liliane datang membawa paperbag berisi lego. Wajahnya terlihat antusias sekali.
Namun, Kin menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat bahu Liliane melemah dan tatapannya tak lagi antusias. "Kenapa? Adakah yang mengganggumu?"
"Kin ingin bertanya. Apa hubungan Kin dengan Paman Kian? Paman Kian tidak bisa menjelaskan, bagaimana dengan Mommy?" tanya Kin dengan cepat.
Liliane juga bingung. Dia mencuri pandang pada Kian yang ternyata juga sedang menatapnya untuk menunggu jawaban.
"Paman Ki—"
"Dia Daddy-mu." Kian baru akan menjawab saat Liliane menyambarnya dengan cepat. Kedua mata wanita muda itu tertutup rapat, seolah takut dengan reaksi sang anak apabila ia mengatakan kebenarannya.
Namun, tak disangka. Yang terjadi selanjutnya, Kin justru tertawa kecil dan bertepuk tangan. Dia bahkan tak sadar jika salah satu tangannya masih diinfus, sehingga Kian harus memastikan selang infus tersebut tidak tertarik saat Kin sedang tepuk tangan.
"Kenapa kau tertawa, Kin?" tanya Liliane yang merasa heran dengan respon anaknya.
Tawa Kin terhenti. "Karena aku senang tebakanku benar. Paman Kian adalah Daddy Kin. Daddy Kin!!" pekik Kin dengan bergembira.
Kian menegang di tempat 'Daddy Kin', senyumannya tersungging. Mungkin selanjutnya panggilan itu akan menjadi panggilan favoritnya. Ya, jangan panggil dirinya Kian atau Marchetti Muda. Panggil dia Daddy Kin.
Tubuh Kian ditarik oleh Kin untuk dipeluk. Kian membalas pelukan itu dengan hangat dan tatapannya beralih pada Liliane yang tanpa sadar memperhatikan sepasang ayah dan anak di depannya.
"Terimakasih, Liliane," ucap Kian dengan tulus.
Dan Liliane hanya menjawabnya dengan anggukan, sebelum dirinya berbalik pergi untuk memberikan tempat bagi mereka. Namun, Kin memanggilnya.
"Mommy! Kin juga ingin dipeluk Mommy!" pinta Kin memohon.
Liliane berbalik, masih mendapati Kin yang memeluk Kian. Tetapi anak itu juga membuka satu tangannya agar Liliane bisa ikut bergabung.
"Mommy ..." rengek Kin yang akhirnya membuat Liliane melangkahkan kaki kembali pada mereka.
Walaupun dengan sedikit terpaksa, Liliane ikut masuk dalam pelukan kedua lelaki itu. Aroma citrus bercampur woody yang khas langsung menyapa indera penciumannya. Aroma tubuh Kian tidak berubah dan Liliane merindukannya.
Begitu juga dengan Kian yang dapat merasakan aroma bunga lily putih yang segar bercampur dengan jasmine dan tuberose. Aroma yang dulu pernah membuat Kian mabuk kepayang. Yang dulu membuat Kian tak ingin jauh dari Liliane.
"Kin sayang dengan Mommy dan Daddy. Tolong jangan berpisah lagi," ucap Kin yang membuat Liliane berlinang air mata. Ia pikir dengan adanya dirinya dan kakek nenek serta Ryuu, Kin sudah merasa cukup kasih sayang. Tetapi ternyata tidak, anak itu tetap mendambakan sosok ayah dalam hidupnya.
"Mommy berjanji."
"Daddy berjanji."
Keluarga kecil itu tak menyadari bahwa Takeshi dan Hana sudah datang dengan membawakan beberapa makanan khas Jepang dan mainan untuk Kin.
Pasangan suami istri senja itu memandangi cucu mereka dengan tatapan hangat. Dalam enam tahun terakhir ini, mereka tak pernah melihat momen yang begitu hangat untuk Liliane. Dalam dekapan Kian, kedua manusia itu seakan sangat pas dan terlindungi.
Tetapi, ada hal yang mengganjal di hati Takeshi. Pria tua itu masih tak merelakan sepenuhnya apabila cucunya kembali pada Kian. Banyak ketakutan yang menyelimutinya. Apalagi saat ini posisi Kian persis seperti dirinya saat muda dulu. Kehilangan putrinya dan hampir kehilangan istrinya juga adalah tragedi paling memilukan di hidupnya.
"Yuri ..."[]
...****************...
klo Golda ayah O dan ibu O, maka anaknya pasti O
seruny......
nyesel klo g baca karya ini