Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Gurami Goreng Asam Manis
Kunjungan ketiga Dion ke rumah Wina pagi itu berbeda. Tidak ada kawalan petugas. Mbak Ria yang menjawab panggilan bel segera mengenali Dion dan membukakan pintu pagar.
“Mbak Wina sedang memasak di dapur,” katanya sambil mempersilakan Dion duduk di teras.
Tak lama kemudian, Wina yang mengenakan apron atau celemek menghampirinya. “Dion ngopinya di dapur saja sambil masangin rak, ya,” usul Wina yang lalu meminta Dion mengikutinya ke ruangan lain di rumah itu yang disebut sebagai dapur.
Ruangan itu luas dan memiliki interior mewah. Kabinet coklat bermotif kayu serta lantai granit coklat muda menambah kesan elegan. Dapur memiliki akses ke taman belakang yang dipisahkan oleh dinding dan pintu kaca geser membuatnya tak membutuhkan penerangan tambahan pada siang hari.
Seorang wanita berusia 30-an tampak sedang membersihkan sayuran. Ia adalah salah satu pekerja di rumah Wina, biasa dipanggil Mbak Sari. Ia tersenyum membalas sapaan Dion yang berjalan bersama Wina.
“Kotaknya masih ada di ruang laundry,” ujar Wina yang kemudian melangkah ke ruang yang bersebelahan dengan dapur diikuti oleh Dion.
“Di sini ada kotak perkakas kalau-kalau Dion membutuhkannya,” jelas Wina sambil membuka pintu geser salah satu kabinet. Wina kemudian membiarkan Dion mengangkat kotak itu dan meletakkannya di teras dapur.
"Aku bikin kopi, ya!" seru Wina sebelum kembali ke area memasak. Dion hanya mengangguk, lalu mulai membuka kemasan rak yang masih terbungkus rapi. Jelas, Wina bahkan belum mencoba merakitnya sendiri.
Dion merasa senang melihat Wina dari balik kaca memegangi sebuah cangkir dan menyeduh sendiri kopi untuknya.
Tak lama, Wina kembali dengan secangkir kopi di atas tatakan. Dion menerimanya dengan anggukan, lalu mengambil satu tegukan sebelum bertanya, "Oppung di mana?"
"Di kamarnya. Biasanya rebahan sebelum makan siang. Rindu Oppung, ya?" goda Wina dengan nada meledek.
“Yup,” jawab Dion yang mulai merakit bagian-bagian dari rak pakaian itu.
“Aku kembali memasak, ya! Panggil saja kalau perlu sesuatu,” kata Wina yang sebenarnya ingin mengusili Dion tapi harus menunda niatnya karena teringat akan sesuatu di dapur.
“Oke!” sahut Dion singkat.
Sambil mereguk kopi, Dion melihat Wina yang sedang memasak dibantu oleh Mbak Sari. Gadis itu tampak bergerak lugas, pertanda sudah terbiasa bekerja di dapur. Sesekali ia tampak memberikan instruksi pada Mbak Sari.
Tak ingin larut pada khayalan tentang Wina, Dion lalu menyeruput kopi dan kembali fokus pada kegiatannya.
...***...
Dion sudah hampir menyelesaikan rangkaian rak ketika Oppung menghampirinya. Setelah menyapa Dion, Oppung duduk di salah satu kursi dan keduanya pun terlibat dalam obrolan.
Rak itu sudah ada pada bentuk sempurna dan Dion sedang berberes ketika Wina bergabung dengan mereka.
“Wah, sudah selesai!” seru Wina gembira melihat rak itu sudah dirangkai dan siap digunakan.
“Kau ini, waktu itu Dion sudah bilang mau merangkaikan, kau bilang mau kerjakan sendiri. Habis itu kau panggil lagi dia. Merepotkan saja,” Oppung sewot.
“Tidak repot Oppung. Hari ini aku libur, jadi banyak waktu luang,” Dion membela Wina.
“Sengaja aku Oppung, supaya Dion datang lagi. Udah rindu dia sama Oppung,” Wina menirukan gaya bicara neneknya.
“Bah, banyak kali cakapmu. Kau tengoklah masakanmu itu, gosong nanti!” kata Oppung pada cucunya yang manja itu.
“Sudah Oppung. Ada Mbak Sari yang nanti angkatin. Dion makan siang di sini, ya!” Wina mengajak Dion makan siang di rumahnya.
“Belum lapar aku, Kak!” tolak Dion yang tidak ingin mengganggu ketentraman keluarga itu.
“Sebentar lagi kan jadi lapar juga. Gak apa-apa. Makan di sini saja dari pada beli lagi, supaya hemat,” timpal Oppung.
“Iya Oppung!” jawab Dion yang merasa senang akan bisa merasakan masakan Wina. Gadis itu kemudian melepas celemeknya dan duduk di samping neneknya, nimbrung dalam obrolan.
Tak lama kemudian, Dion sudah menggabungkan diri di meja makan bersama Wina dan neneknya beserta Mbak Ria dan Mbak Sari. Keempatnya memang selalu makan bersama.
“Ayo Mas, makan yang banyak! Ini masakan Mbak Wina, lho,” Mbak Sari menyemangati Dion.
Dion yang malu-malu dan canggung harus mengakui gurami goreng asam manis buatan Wina sangat enak. Sejatinya, masakan yang aslinya berasal dari Tiongkok itu memang lezat, tapi faktor Wina, membuatnya terasa spesial bagi Dion.
“Oppung habis makan, kami mau ke rumah Dion, ya! Mau panen mangga,” Wina meminta izin pada neneknya.
“Teruslah kau repotin si Dion ini,” sahut Oppung.
Sebenarnya Oppung sudah tahu Wina mulai menaruh hati pada Dion. Bagaimanapun ia juga pernah muda dan merasakan jatuh hati. Ia tahu cucunya itu sedang jatuh hati dari caranya menatap Dion dengan mata berbinar. Cucunya yang tiba-tiba suka melamun sepeninggal Dion beberapa waktu lalu.
Oppung sudah tahu, Wina menggunakan rak pakaian sebagai alasan untuk mendatangkan Dion. Pagi-pagi sekali Wina mengatakan ingin memasak dan meminta Mbak Sari belanja bahan tertentu ke pasar.
Oppung menyukai pemuda itu. Ia tidak seperti pemuda-pemuda yang pernah mendekati Wina yang suka bicara sembrono dan tinggi hati. Dion yang sopan, ramah dan rendah hati adalah teman ngobrol yang baik.
Tapi bagaimanapun Oppung merasa masih perlu mengenal Dion lebih jauh. Ia baru mengenal pemuda itu beberapa hari lalu. Tak mungkin ia membiarkan Wina pergi ke rumah pemuda itu sendirian.
“Kalian ajak lah si Ria supaya ada yang bantu mengangkat mangganya,” Oppung akhirnya menemukan solusi atas permintaan cucunya.
Wina ingin protes tapi Dion mendahuluinya.
“Ayo Mbak! Itung-itung mlaku-mlaku kanggo ndeleng wilayah liyane ing Medan,” ajak Dion menggunakan bahasa Jawa agar Mbak Ria tidak merasa sungkan padanya.
“Nggih, Mas,” sahut Mbak Ria yang merasa senang mendapat ajakan dan Bahasa Jawa yang digunakan Dion.
Dion sangat paham dengan maksud nenek Wina. Memang tak baik seorang gadis seorang diri mendatangi rumah pemuda yang baru dikenal.
“Bisanya kau bahasa Jawa? Almarhum suamiku, Oppung Doli juga. Lucunya kalau habis marah atau lagi kesal, pasti dia nyeletuk pakai bahasa Jawa,” kata Oppung bercerita sambil tertawa mengenang almarhum suaminya.
Makan siang itu pun berlanjut dengan obrolan tentang budaya Jawa, membuat Mbak Ria dan Mbak Sari antusias.
...***...
Beberapa saat setelah makan siang, Dion, Wina, dan Mbak Ria sudah berada di dalam angkutan kota yang melaju santai menuju rumah Dion. Wina duduk di samping jendela, sesekali menoleh ke luar, menikmati pemandangan kota yang masih asing baginya.
“Wah, banyak yang jual bakso di sini!” seru Wina ketika mereka melewati deretan pedagang bakso yang berjajar rapi di pelataran parkir sebuah kawasan perkantoran.
“Iya, di sini memang begitu. Kalau satu pedagang laris, pasti diikuti yang lain. Aneh ya, bukannya saling saingan malah justru bikin makin ramai,” jelas Dion sambil tersenyum.
“Kak Wina suka bakso juga, ya?” tanyanya kemudian.
“Jelas! Mana ada orang Indonesia yang nggak suka bakso. Apalagi perempuan,” jawab Wina, matanya berbinar.
“Oh iya, teman-temanku di kampus sering bahas Bakso Ujang. Itu di mana?” Wina penasaran dengan salah satu tempat bakso yang terkenal di Medan.
“Kakak nggak tahu? Padahal itu dekat rumah Kak Wina, lho,” Dion tertawa kecil, sementara Wina mengerutkan kening, merasa kecolongan.
“Kalau Kakak suka, nanti aku ajak ke sana,” tambah Dion pelan.
“Kapan? Malam ini, ya?” Wina cepat-cepat menimpali, tak ingin kesempatan itu lepas.
Dion meliriknya sekilas. Mbak Ria yang duduk di samping mereka hanya tersenyum kecil lalu pura-pura sibuk melihat pemandangan di luar jendela, memberi mereka ruang.
“Boleh sih, tapi ini malam Minggu. Biasanya ramai banget, antre panjang,” jawab Dion, membuat Wina sedikit kecewa.
“Tapi kalau mau, nanti kita makan bakso di tempat lain yang lebih santai tapi tetap enak,” lanjut Dion menyebutkan salah satu food court yang cukup terkenal di Medan.
“Oh, aku sering dengar tempat itu! Teman-temanku suka nongkrong di sana. Jadi ajakin malam ini, ya?” Mata Wina berbinar penuh harap.
“Iyalah,” jawab Dion akhirnya, tersenyum.
Dalam hati, Dion sebenarnya lebih bahagia. Akhirnya, ia bisa menghabiskan waktu berdua dengan Wina, meskipun mereka masih harus mendapatkan izin dari Oppung.
Mendekati kawasan Brigjen Katamso, Dion tiba-tiba bertanya, “Mbak berdua mau makan rujak?”
Wina dan Mbak Ria tertawa bersamaan. “Kami serumah paling suka rujak!” sahut Wina antusias.
“Pas banget, di depan kita ada tempat rujak legendaris,” ujar Dion.
Ketika angkot mereka melintas di depan Istana Maimun, Dion memberi isyarat kepada sopir untuk berhenti. Begitu turun, Wina menatap bangunan besar bergaya arsitektur Melayu dan Eropa itu dengan penuh kagum.
“Ini tempat apa, Dion? Seperti istana,” tanyanya heran.
“Memang pun istana. Namanya Istana Maimun,” jelas Dion.
“Oh, jadi ini toh? Aku sering dengar namanya,” gumam Wina, tetap menatap takjub.
Melihat ekspresi gadis itu, Dion tersenyum lalu mengajaknya menyeberangi jalan untuk melihat istana lebih dekat.
“Ayo, kita masuk!” ajaknya.
Di dalam kawasan istana, Dion berperan sebagai pemandu, menjelaskan bagian-bagian penting bangunan, sejarahnya, hingga legenda Meriam Puntung yang menarik perhatian Wina dan Mbak Ria.
“Kisah ini tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan dan berujung perang,” ujar Dion. Wina terlihat semakin tertarik, matanya berbinar mendengar kisah romansa di balik peninggalan sejarah itu.
Setelah puas berkeliling Istana Maimun, Dion juga mengajak mereka melihat Masjid Raya Al-Mashun yang megah dan menjadi ikon kota Medan.
“Nah, Rujak Kolam ada di seberang sana,” tunjuk Dion sambil mengajak mereka berjalan menuju deretan pedagang rujak yang berjualan di sekitar kolam raya peninggalan Kesultanan Deli.
“Dulu, semuanya ini berada dalam satu kompleks,” terang Dion saat mereka duduk menikmati rujak sambil memandangi kolam besar di depan mereka.
“Rasanya enak banget! Bumbu kacangnya unik,” komentar Wina sambil terus menyendok rujak ke mulutnya.
“Betul, pedasnya pas,” tambah Mbak Ria yang sudah hampir menghabiskan porsinya lebih dulu. Dion tertawa melihat keduanya menikmati rujak dengan begitu lahap.
Setelah puas menikmati rujak, Dion membayar pesanan mereka lalu mengajak keduanya melanjutkan perjalanan ke rumah kontrakannya.