Mutia Muthii seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Zulfikar Nizar selama 12 tahun dan mereka sudah dikaruniai 2 orang anak yang cantik. Zulfikar adalah doa Mutia untuk kelak menjadi pasangan hidupnya namun badai menerpa rumah tangga mereka di mana Zulfikar ketahuan selingkuh dengan seorang janda bernama Lestari Myra. Mutia menggugat cerai Zulfikar dan ia menyesal karena sudah menyebut nama Zulfikar dalam doanya. Saat itulah ia bertemu dengan seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Dito Mahesa Suradji yang mengatakan ingin melamarnya. Bagaimanakah akhir kisah Mutia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memanjat Tembok
Hari bahagia Mutia dan Dito ternoda oleh ulah Sutirah. Wanita mantan mertua Mutia itu tertawa sinis, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Ia merasa puas telah merusak pernikahan Mutia, dan ia bertekad untuk terus membuat Mutia menderita.
"Kalian pikir bisa bahagia?" ejek Sutirah, matanya berkilat liar. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan menghancurkan hidupmu, Mutia!"
Mutia menatap Sutirah dengan tatapan marah dan sedih. Ia tidak mengerti mengapa mantan mertuanya begitu membencinya. Ia tidak pernah melakukan apa pun untuk menyakiti Zulfikar atau Lestari.
"Ibu sudah keterlaluan," ucap Mutia, suaranya bergetar. "Ini hari pernikahanku. Kenapa Ibu merusaknya?"
"Kamu pantas mendapatkan ini!" bentak Sutirah, air matanya tumpah. "Kamu menghancurkan hidup anakku! Kamu merebutnya dari Lestari!"
"Itu tidak benar, Bu!" teriak Mutia, air matanya mengalir deras. "Zulfikar yang meninggalkan saya! Dia yang memilih Lestari!"
"Kamu yang mempengaruhinya!" tuduh Sutirah, tidak mau kalah. "Kamu wanita jahat! Kamu harus membayar atas semua ini!"
"Saya tidak melakukan apa pun, Bu!" teriak Mutia, suaranya meninggi. "Saya juga korban di sini! Lestari yang menyerang saya dan keluarga saya!"
Sutirah tidak peduli dengan penderitaan Mutia. Ia hanya ingin membalas dendam atas penderitaan putranya. Ia menatap Mutia dengan tatapan penuh dendam, melontarkan sumpah serapah yang menyayat hati.
"Aku bersumpah, aku tidak akan berhenti sampai kamu menderita seperti anakku menderita!" teriak Sutirah, suaranya menggelegar. "Aku akan merebut segalanya darimu! Aku akan menghancurkan hidupmu!"
Tiba-tiba, Leha perlahan siuman. Ia melihat Sutirah berdiri di hadapannya, melontarkan kata-kata keji kepada Mutia. Amarahnya memuncak, ia tidak terima putrinya diperlakukan seperti ini.
"Cukup, Sutirah!" bentak Leha, suaranya serak. "Kamu sudah keterlaluan! Pergi dari sini sebelum aku memanggil polisi!"
Sutirah menatap Leha dengan tatapan sinis. "Kamu tidak bisa menghentikanku," ucapnya, suaranya dingin. "Aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan."
Sutirah berbalik dan pergi, meninggalkan Mutia dan Leha yang menangis tersedu-sedu. Dito memeluk Mutia erat, mencoba menenangkannya. Ia berjanji akan melindungi Mutia, dan ia akan memastikan Sutirah tidak akan menyakiti Mutia lagi.
****
Malam pertama pernikahan Mutia dan Dito terasa canggung. Mutia merasa malu dan bersalah karena ulah Sutirah telah menodai hari bahagia mereka. Ia merasa tidak pantas mendapatkan kebahagiaan setelah semua yang terjadi.
"Maafkan aku, Dito," ucap Mutia, suaranya lirih. "Hari pernikahan kita jadi berantakan."
Dito tersenyum lembut, ia menggenggam tangan Mutia erat. "Jangan menyalahkan dirimu, Mutia," ucapnya, suaranya menenangkan. "Ini bukan salahmu."
"Tapi... tapi Ibu Sutirah..." isak Mutia, air matanya mulai mengalir. "Dia sangat membenciku."
"Aku tahu," ucap Dito, memeluk Mutia erat. "Tapi kita tidak bisa mengendalikan orang lain. Kita hanya bisa fokus pada kebahagiaan kita sendiri."
Mutia menangis dalam pelukan Dito, merasa lega karena Dito ada di sisinya. Ia merasa beruntung memiliki pria seperti Dito, yang selalu sabar dan pengertian.
"Aku takut, Dito," bisik Mutia, suaranya bergetar. "Aku takut Ibu Sutirah akan terus mengganggu kita."
"Aku akan melindungimu, Mutia," ucap Dito, suaranya tegas. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu."
Mutia mengangguk, merasa lega mendengar ucapan Dito. Ia percaya bahwa Dito akan selalu melindunginya, dan ia merasa aman berada di dekat Dito.
"Terima kasih, Dito," bisik Mutia, mencium pipi Dito. "Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Mutia," balas Dito, mencium kening Mutia. "Sekarang, lupakan semua masalah. Kita nikmati malam pertama kita."
Dito memeluk Mutia erat, menciumnya dengan lembut. Ia ingin Mutia melupakan semua kesedihan dan ketakutan, dan menikmati malam pertama mereka sebagai suami istri.
Mutia membalas pelukan Dito, merasa hangat dan nyaman berada di dekatnya. Ia merasa bahwa Dito adalah pria yang tepat untuknya, pria yang akan selalu ada untuknya dalam suka dan duka.
Mereka berdua menghabiskan malam pertama mereka dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Mereka berjanji untuk saling mencintai dan menghormati, dan mereka akan membangun keluarga yang bahagia bersama.
****
Sutirah, dengan dendam yang tak kunjung padam, kembali membuat ulah. Kali ini, ia mendatangi rumah Ahmad dan Leha, melemparinya dengan sampah dan kotoran. Ia tertawa terbahak-bahak, merasa puas telah mengotori rumah mantan besannya.
"Ini untukmu, Mutia!" teriak Sutirah, suaranya melengking. "Kamu akan menderita seperti anakku menderita!"
Ahmad dan Leha, yang melihat kejadian itu dari dalam rumah, menghela napas panjang. Mereka merasa muak dengan kelakuan Sutirah yang semakin tidak terkendali.
"Wanita itu sudah gila," gumam Leha, menggelengkan kepalanya. "Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya."
"Kita harus melaporkan ini ke polisi, Bu," ucap Ahmad, suaranya tegas. "Kita tidak bisa membiarkan dia terus mengganggu kita."
"Benar, Yah," sahut Leha, mengangguk setuju. "Kita harus menghentikannya sebelum dia melakukan hal yang lebih buruk."
Mereka berdua keluar rumah, mencoba membersihkan sampah dan kotoran yang dilemparkan Sutirah. Mereka merasa jijik dan marah, tetapi mereka juga merasa kasihan pada Sutirah. Mereka tidak mengerti mengapa wanita itu begitu terobsesi dengan dendam.
"Dia benar-benar sudah tidak waras," ulang Leha, menatap rumahnya yang kotor. "Dia sudah kehilangan segalanya, tetapi dia masih ingin menghancurkan hidup orang lain."
"Dia hanya ingin membalas dendam, Bu," ucap Ahmad, suaranya pelan. "Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa putranya dipenjara."
Tapi ini sudah keterlaluan, Yah," sahut Leha, air matanya mulai mengalir. "Dia sudah menyakiti Mutia, dia sudah menyakiti kita. Apa lagi yang dia inginkan?"
"Kita tidak tahu, Bu," ucap Ahmad, merangkul istrinya. "Tapi kita harus tetap kuat. Kita tidak boleh membiarkan dia menang."
Mereka berdua berjanji untuk melaporkan kejadian ini ke polisi, dan mereka akan meminta perlindungan dari Sutirah. Mereka tidak akan membiarkan wanita itu mengganggu hidup mereka lagi.
Sementara itu, Sutirah melarikan diri dari rumah Ahmad dan Leha, merasa puas dengan aksinya. Ia tidak peduli dengan konsekuensi yang akan ia hadapi, ia hanya ingin membalas dendam pada Mutia.
"Aku akan membuatmu menderita, Mutia," gumam Sutirah, matanya berkilat liar. "Kamu akan membayar atas apa yang kamu lakukan pada anakku."
Sutirah terus merencanakan kejahatan, ia tidak akan berhenti sampai ia berhasil menghancurkan hidup Mutia. Ia merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali kebahagiaannya.
****
Lestari, dengan kelincahan yang luar biasa, memanjat tembok penjara. Ia melompat turun, mendarat dengan mulus di tanah. Tanpa menoleh ke belakang, ia berlari secepat mungkin, menghilang di perkampungan warga yang padat.
Para penjaga penjara, yang menyadari pelarian Lestari, segera mengejarnya. Namun, Lestari terlalu cepat. Ia berhasil melarikan diri, meninggalkan para penjaga yang kebingungan.
Lestari menyeringai, merasa puas dengan keberhasilannya. Ia tidak peduli dengan konsekuensi yang akan ia hadapi, ia hanya ingin membalas dendam pada Mutia.
"Mutia, kamu akan menyesal," gumam Lestari, matanya berkilat liar. "Aku akan merebut segalanya darimu."
Lestari bertekad untuk menghancurkan hidup Mutia. Ia akan melakukan apa pun untuk membalas dendamnya, tidak peduli berapa banyak orang yang harus ia sakiti.