Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Between Us
Setelah makan malam selesai, mereka pindah ke lounge hotel tempat Xavier menginap sementara. Suasananya jauh lebih tenang. Lampu temaram menyinari ruangan, memberikan nuansa intim yang pas untuk percakapan yang lebih dalam.
Xavier duduk di sofa, menyandarkan tubuh dengan santai, sementara Zora duduk di sebelahnya, memainkan cincin kecil di jemarinya. Mama Anet duduk di seberang mereka, menyilangkan kaki dengan anggun, sorot matanya menatap Xavier dalam diam.
“Xav,” panggil Mama Anet lembut, namun tegas. “Mama ingin bicara sedikit, sebagai seorang ibu.”
Xavier menoleh, mengangguk, menunggu.
“Mama tidak tahu seberapa dekat hubunganmu dengan Luna,” katanya pelan, “tapi... Mama bisa melihat sesuatu dari caramu memperhatikan gadis itu di pameran tadi.”
Xavier menghela napas. Ia tidak menyangkal, tetapi juga tidak langsung membela diri.
“Zora ada di sampingmu malam ini,” lanjut Mama Anet. “Dan aku tahu dia berusaha keras terlihat baik, sabar, bahkan tidak menunjukkan ketidaknyamanan sedikit pun. Tapi tetap saja, ada perasaan yang harus kau jaga.”
Zora menoleh dengan senyum hangat, ikut menyambung, “Aku tahu Xavier dan Luna adalah sahabat dekat, Ma. Dan aku juga cukup sering bertemu Luna. Dia baik dan menyenangkan. Aku tidak akan membatasi siapa pun yang ada di kehidupan pasangan aku.”
Senyum itu nyaris sempurna—nyaris. Tapi Mama Anet bukanlah perempuan mudah dibodohi. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke Xavier, ekspresinya tidak lagi selembut tadi.
“Zora mungkin berkata seperti itu karena dia menghormatimu,” ucap Mama Anet mantap. “Tapi itu bukan alasan bagimu untuk mengaburkan batas. Perempuan mana pun, jika terus melihat pasangannya terlalu dekat dengan orang lain—akan goyah.”
Xavier menunduk sesaat, menyatukan jemarinya. “Aku dan Luna tidak... seperti yang Mama pikirkan.”
“Mama tidak berpikir apa-apa,” potong Mama Anet. “Mama hanya memperingatkanmu. Karena sering kali, kedekatan yang tidak didefinisikan dengan jelas akan menyakiti lebih dari yang kau kira.”
Ruangan itu mendadak sunyi. Zora merapatkan duduknya ke sisi Xavier, menyandarkan kepala di pundaknya sejenak.
“Aku percaya padamu,” bisik Zora pelan.
Xavier tidak menjawab. Di balik pikirannya yang mulai kusut, suara Luna—gelak tawanya, senyumnya, tatapan kosongnya tadi sore—masih bergema samar. Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya: batas seperti apa yang harus ia pilih?
*
Luna kembali ke apartemen dalam diam. Tak ada suara selain derit halus pintu yang ditutup perlahan. Ia berdiri sejenak di ambang ruang tamu, memeluk dirinya sendiri, seolah berusaha menahan sesuatu yang sesak di dadanya.
Ia tak tahu pasti apa. Tak ada alasan jelas. Tapi rasanya... berat.
Ia menarik napas panjang berulang kali, berharap degup jantungnya yang berkejaran bisa melambat. Ia meletakkan tasnya sembarangan di atas meja, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa.
Matanya menatap langit-langit apartemen yang kosong. Diam. Dingin. Hampa.
Tiba-tiba, dadanya mencubit pelan.
Rasa itu datang tanpa izin, mengusik pelan, lalu menggedor keras. Sebuah kerinduan yang tak ingin diakui.
"Xavier..." bisiknya lirih.
Luna menutup matanya, lalu tertawa kecil. Tawa pahit yang menggantung di tenggorokan.
"Luna, ada apa denganmu? Perasaan macam apa ini?" gumamnya, mencoba menyadarkan diri. Ia tertawa, seolah menertawakan dirinya sendiri yang mulai kehilangan arah.
Ia bangkit, melangkah ke dapur. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Memasak—kegiatan yang selama ini selalu menenangkannya.
Ia membuka lemari es, mengambil beberapa bahan seadanya: telur, jamur, dan keju. Ia mulai menyiapkan semuanya, memotong dengan hati-hati, berusaha fokus.
Namun pikirannya tetap melayang.
Tentang suara berat Xavier saat memanggil namanya. Tentang tangan hangat yang tak pernah ragu menariknya ke dalam pelukan jika dirinya tampak lelah. Tentang segala kehadiran Xavier... yang kini hanya jadi bayang.
"Fokus, Luna," bisiknya, menggelengkan kepala.
Pisau di tangannya terus bergerak—cepat, terlalu cepat untuk seseorang yang pikirannya melayang jauh. Hingga tiba-tiba...
"Agh!"
Pisau itu menari ke arah yang salah, mengiris kulit jarinya. Darah mengalir, hangat dan merah.
Luna membeku.
Ia menatap jarinya yang mulai berlumuran darah, lalu mendesah pelan. Tak menangis, tak panik. Tapi sepi.
Biasanya, di saat seperti ini, Xavier akan langsung muncul entah dari mana. Merengut marah sambil membuka kotak P3K, mengomel soal kecerobohan, lalu membalut lukanya dengan sentuhan penuh perhatian.
Tapi kini—tak ada siapa pun. Tak ada tangan yang meraih jemarinya dengan lembut. Tak ada suara pelan yang bertanya, "Sakitnya segimana?"
Luna terdiam di sana, di dapur kecilnya yang sunyi, hanya berteman suara detik jam dinding dan gemericik air dari keran.
Tangannya tetap berdarah. Tapi hatinya—jauh lebih terasa luka.
Luna menatap luka di jarinya. Tak terlalu dalam, tapi cukup menyakitkan. Ia berjalan perlahan ke kamar mandi, membuka lemari kecil di atas wastafel, mengambil kapas dan plester. Tangannya gemetar saat mencoba menghentikan darah, bukan karena nyeri—tapi karena kekosongan yang mengalir bersamaan dengannya.
Ia duduk di tepi bathtub, membalut jarinya dengan hati-hati. Tak ada suara, hanya napasnya yang berat dan pelan. Satu-satunya hal yang terasa hidup di apartemen itu hanyalah detak jantungnya sendiri, yang bahkan mulai terdengar seperti gema.
Setelah lukanya terbalut, Luna berjalan kembali ke dapur. Tapi semangat memasak sudah pergi. Ia hanya menatap meja dapur yang kini berserakan bahan masakan yang belum disentuh. Semua terasa basi, tak ada yang menggugah nafsu makan atau semangat.
Ia mengangkat tubuhnya ke atas kursi tinggi di bar dapur. Menatap lurus ke arah jendela. Kota masih terang, lampu-lampu masih berkerlap-kerlip. Tapi Luna merasa seperti hidup di tempat yang terpisah—sebuah ruang di mana tidak ada yang benar-benar hadir.
Tak ada tawa. Tak ada suara. Tak ada Xavier.
Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangannya. Tapi yang ada, justru wajah pria itu makin jelas. Mata teduh yang selalu memperhatikan. Nada suaranya yang berubah saat menyebut namanya. Sentuhan diam-diam yang membuat segalanya terasa aman.
Luna menarik napas panjang, membiarkannya terjebak di dada, lalu menghembuskannya perlahan.
"Ini... tidak seharusnya seperti ini," bisiknya sendiri, dengan mata masih terpejam.
Tapi malam tak menjawab apa-apa. Ia hanya melanjutkan perjalanannya, menyeret waktu tanpa belas kasihan.
Dan Luna tetap di sana—sendirian, ditemani sepi yang terlalu riuh di dalam pikirannya.
*
Pagi datang perlahan, menyusup lewat celah tirai yang tak sepenuhnya tertutup. Namun, tak seperti biasanya, Luna membiarkan sinar matahari itu menyapu wajahnya tanpa niat untuk bangkit. Selimut masih membungkus tubuhnya, rambutnya berantakan, dan matanya setengah terbuka menatap langit-langit.
Tidak ada alarm. Tidak ada jadwal. Tidak ada niat untuk menghadapi dunia.
Ia hanya diam. Menggeliat pelan, lalu menarik selimutnya lebih rapat. "Satu hari saja," gumamnya, nyaris tak terdengar. "Satu hari tanpa harus berpura-pura baik-baik saja."
Perutnya menggeram pelan, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak semalam. Tapi Luna bergeming. Ia tak ingin memasak, apalagi membuka kulkas yang mungkin hanya akan menambah rasa kosong dalam dirinya.
Ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur, hanya untuk mematikannya kembali setelah sekilas melihat beberapa notifikasi pesan yang tak ingin ia baca. Mungkin dari timnya. Mungkin dari kolektor. Tapi tidak dari Xavier. Dan itu satu-satunya hal yang menyakitkan.
Luna menoleh ke arah jendela. Hari tampak cerah. Tapi dalam dirinya, cuaca masih mendung. Ia memejamkan mata lagi, membiarkan pikirannya mengembara ke tempat-tempat yang justru ingin ia hindari.
Ia teringat tawanya di pagi hari yang biasanya disambut suara langkah kaki di dapur. Bau kopi yang baru diseduh. Ucapan sarkas Xavier yang selalu terdengar kaku tapi diam-diam manis. Semua itu, kini hanya tinggal bayangan.
"Apa aku merindukannya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Pertanyaan itu hanya mengendap, tak perlu dijawab, karena jawabannya terlalu jelas.
Luna menarik napas panjang. Hari ini, ia memutuskan untuk tidak menjadi siapa-siapa. Tidak menjadi pelukis. Tidak menjadi rekan kerja. Tidak menjadi sahabat siapa pun.
Hari ini, ia hanya ingin menjadi Luna. Yang diam. Yang lelah. Yang ingin sedikit lupa.
To Be Continued >>>