London, sebuah tempat yang menyisakan kenangan termanis dalam hidup Orion Brox. Dalam satu hari di musim panas, ia menghabiskan waktu bersama gadis cantik yang tak ia ketahui namanya. Namun, rupa dan tutur sapanya melekat kuat dalam ingatan Orion, menjelma rindu yang tak luntur dalam beberapa tahun berlalu.
Akan tetapi, dunia seakan mengajak bercanda. Jalan dan langkah yang digariskan takdir mempertemukan mereka dalam titik yang berseberangan. Taraliza Morvion, gadis musim panas yang menjadi tambatan hati Orion, hadir kembali sebagai sosok yang nyaris tak bisa dimiliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Day In London 31
Dalam beberapa saat, Tara terdiam. Sempat terselip dugaan dalam pikirannya, mungkinkah Olliver sudah mengetahui semuanya? Namun, dengan cepat pula Tara menepis dugaannya sendiri.
'Nggak mungkin dia tahu sesuatu. Orion nggak akan sebodoh itu untuk mengungkapkan semuanya. Lagi pula ... tadi sikap Mama Vale dan Papa Riu biasa saja. Kalau Orion sudah mengatakan sesuatu, mustahil sikap mereka seperti nggak terjadi apa-apa.'
"Sayang, kok malah bengong sih?" Olliver mencubit pelan hidung Tara.
Sembari mengerjap cepat, Tara berusaha mengulum senyum tipis. Lantas, membalas tatapan Olliver yang masih tertuju ke arahnya.
"Ya ... aku bingung aja, mau ngomong apa gitu. Soalnya ... nggak ada yang mau aku omongin," ucap Tara.
Sebelum menyahut, Olliver terlebih dahulu mengembuskan napas panjang. Kemudian, tatapannya beralih ke depan, lurus ke arah kafe yang masih dipadati muda-mudi.
"Tara, dalam hitungan hari kita akan menikah. Berbeda dengan pacaran atau tunangan, pernikahan adalah ikatan yang suci dan sakral. Kita perlu persiapan yang matang, dari segi apa pun. Secara finansial, kita memang nggak ada masalah. Tapi ... dari segi lain, perlu kita siapkan juga, kan?" ujar Olliver, agak sulit dimengerti.
Tara sampai diam beberapa detik guna mencerna inti dari pernyataan Olliver.
"Sayang, aku udah jujur atas semuanya. Tentang diriku, nggak ada yang kututupi darimu. Bahkan, soal Jenny pun aku cerita ke kamu. Kenapa? Karena aku nggak mau kamu salah paham nantinya." Olliver kembali menatap Tara. "Sebenarnya ... aku juga pengin kamu jujur dan mengatakan semua tentangmu, apa pun itu. Sebelum kita resmi melangkah lebih jauh, aku ingin kita saling memahami satu sama lain," sambungnya.
Tara menunduk sebentar, kemudian kembali membalas tatapan Olliver sambil tersenyum. "Aku juga udah jujur dan menceritakan semua tentangku. Nggak ada yang kututupi lagi darimu, Olliver."
"Yakin?"
Tara mengangguk.
Lantas Olliver menyudahi tatapannya. Suasana kafe yang lagi-lagi dipilih sebagai objek pelampiasan.
Gerak-gerik Olliver itu tak luput dari pandangan Tara. Meski tak bisa sepenuhnya menebak apa yang dirasakan Olliver, tetapi Tara berinisiatif untuk menenangkannya.
"Aku nggak tahu sebenarnya apa yang mengganggumu malam ini, Olliver. Mungkinkah ada ucapan-ucapan tak mengenakkan tentangku, atau ... tentang hubungan kita? Apa pun itu, tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku nggak menyembunyikan apa-apa darimu. Kalaupun masih ada sesuatu yang belum sempat kuceritakan ke kamu, percayalah, itu bukan sesuatu yang penting. Dan bisa kupastikan itu nggak akan menganggu hubungan kita, termasuk pernikahan yang telah kita rencanakan," ucap Tara dengan sungguh-sungguh.
Tara tak bisa memastikan apa yang ada dalam pikiran Olliver, mungkin lelaki itu sudah tahu perihal Orion, atau mungkin ada hal lain lagi. Itu sebabnya Tara berucap demikian. Dia ingin meyakinkan Olliver bahwa semua yang tidak diceritakan, bukanlah sesuatu yang penting. Andaipun Olliver sudah mengetahui sedikit kisah bersama Orion, setidaknya Olliver paham kalau hal itu bukan sesuatu yang berharga.
"Begitu ya?" Setelah diam beberapa saat, Olliver menyahut singkat.
"Iya." Tara tersenyum manis, sembari mengusap punggung tangan Olliver yang masih menggenggamnya. "Olliver, aku udah yakin memilihmu sebagai pasangan hidupku. Nggak ada keraguan untuk menikah denganmu. Sekarang dan nanti, keyakinan ini nggak akan berubah."
Ucapan Tara cukup menggelitik Olliver, hingga sepasang mata itu kembali tertuju pada Tara.
"Kamu mencintaiku?"
Tara tertawa kecil. "Apa sih maksudmu? Ya jelas aku mencintaimu, masa masih dipertanyakan lagi sih."
Olliver ikut tertawa meski agak sumbang. Lalu tak lama setelah itu, dia kembali melontarkan pernyataan yang terdengar aneh.
"Sayang ... menurutmu definisi cinta itu apa?"
"Kamu makin aneh deh pertanyaannya," sahut Tara sambil menoyor pelan lengan Olliver.
Kendati demikian, Tara tetap menjawab pertanyaan barusan. "Menurutku ... cinta adalah sesuatu yang terindah dalam hidup kita. Cinta adalah sandaran yang membuat kita merasa nyaman dan aman. Dengan cinta, kita akan memiliki rasa bahagia ketika berdekatan dan rindu ketika berjauhan. Cinta adalah harapan untuk langkah-langkah kita."
"Ada lagi?"
Tara menggeleng.
"Menurutku definisimu masih kurang," kata Olliver.
"Ha?"
"Ya, karena ada hal penting yang kamu lewatkan. Cemburu. Cinta adalah kecemburuan. Seseorang yang benar-benar jatuh cinta, dia akan cemburu saat melihat orang yang dia cintai bersama orang lain. Sayang, menurutmu bagaimana?"
Tara terdiam lagi. Cemburu, entah mengapa hal itu tidak terpikirkan olehnya. Barusan dia mendefinisikan cinta sesuai dengan apa yang ia rasakan terhadap Olliver, dan sejauh ini dia belum pernah merasa cemburu.
"Aku udah terlalu dewasa ketika mengenal cinta. Udah pernah kukatakan, kamu adalah lelaki pertama yang membuatku kenal cinta. Dan ... di umur segini aku lebih memilih percaya daripada menyimpan kecemburuan. Jadi, begitulah," terang Tara.
Olliver mangut-mangut, bibirnya pun tetap mengulum senyum. Sampai kemudian, dengan pelan ia berkata, "Kamu menjawab setelah jeda lima detik."
"Maksudnya?"
Olliver menggeleng-geleng. "Nggak apa-apa. Kita lanjutkan perjalanan aja yuk, keburu malam."
Tara tak menyahut lagi, sekadar berpikir keras atas ucapan Olliver barusan.
Banyak praduga yang mulai bermunculan di benak Tara. Namun, Olliver seolah tak memberinya kesempatan untuk berpikir lebih banyak lagi, karena sepanjang perjalan itu Olliver terus mengajaknya berbincang. Mulai dari obrolan seputar pekerjaan, sampai obrolan ringan dan hal-hal yang mengundang tawa.
Hingga akhirnya, mobil berhenti di Oliv Resto, restoran milik Olliver sendiri. Sedikit melenceng dari perkiraan, ternyata tempat yang katanya indah dikunjungi waktu malam adalah restoran. Entah di bagian mana menariknya.
Kendati begitu, Tara tak banyak protes. Bahkan, ketika Olliver menggenggam tangannya dan mengajaknya melangkah menuju rooftop.
Dalam sekejap, Tara langsung disuguhi keindahan desain bangunan yang dipadukan dengan keindahan kota dari ketinggian. Cantik, elegan, dan pastinya membuat orang betah berlama-lama. Namun, terus terang saja hampir tidak ada yang istimewa. Meskipun bagus, tetapi nuansa di sana hampir sama dengan rooftop-rooftop lain.
"Restoran ini adalah aset yang paling kucintai, karena ini adalah bisnis pertamaku. Kalaupun nanti aku bisa membuka cabang di tempat lain atau bahkan menguasai bisnis di bidang lain, tapi ... tetap restoran ini yang paling berkesan," ucap Olliver sembari duduk di samping Tara.
"Jadi, karena itu kamu mengajakmu ke sini?"
Olliver mengangguk. "Iya, karena kamu ... adalah orang yang paling kucintai. Aku ingin mengatakan sesuatu, di tempat yang paling kucintai. Klop, kan?"
Tara tersenyum manis.
"Tara, hidup adalah perjalanan. Kita bisa tahu apa yang kita lewati, tapi nggak akan tahu apa yang belum kita lalui. Kita bisa merencanakan esok dan lusa, tapi kita nggak tahu pasti apa yang akan terjadi. Bisa saja kenyataan melenceng dari rencana, bisa juga mirip atau sama persis. Tapi, yang jelas kita nggak bisa memastikan itu."
"Iya, aku mengerti," sahut Tara.
Usai menarik napas panjang sesaat, Olliver menatap Tara dan menggenggam kedua tangannya.
"Itu sebabnya malam ini aku mau ngomong penting. Tara, Sayang, aku nggak tahu hidup kita ke depannya kayak gimana. Yang kurencanakan, kita menikah dan menjalani rumah tangga sampai tua. Tapi, aku nggak tahu apa yang sedang direncanakan Tuhan. Mungkin kita beneran menua bersama, mungkin hanya bersama sementara, atau mungkin ... malah nggak bersama. Kita nggak tahu. Tapi ... apa pun jalan hidup kita nanti, aku ingin kamu selalu ingat, kalau saat ini ... aku sangat mencintaimu, sangat-sangat mencintaimu, Tara. Tempat ini, malam ini, yang jadi saksi betapa dalam dan tulusnya cintaku ke kamu."
"Olliver ...." Tara sekadar bergumam pelan. Lidahnya serasa kelu ketika menatap mata Olliver, sebuah tatapan yang seakan menyiratkan ketakutan akan sebuah perpisahan.
Bersambung...