NovelToon NovelToon
TERPERANGKAP

TERPERANGKAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / One Night Stand / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Barat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.

Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.

Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?

PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31 : Maaf aku Datang Terlambat

Udara di dalam pabrik tua itu terasa berat dan penuh debu, seolah waktu berhenti bergerak sejak bertahun-tahun lalu. Dinding-dindingnya dipenuhi karat dan coretan tak bermakna, atapnya bocor di beberapa bagian, dan cahaya lampu gantung yang redup menciptakan bayangan panjang dan mengerikan di lantai semen yang dingin.

Di salah satu ruangan paling dalam, bekas ruang produksi yang kini sunyi dan membusuk, Samantha duduk terikat pada kursi besi. Tangan dan kakinya masih terikat kencang, mulutnya masih tertutup lakban hitam. Kepalanya sedikit tertunduk, namun matanya menatap tajam ke arah satu-satunya pintu yang berada di hadapannya. Sorot itu bukan sorot ketakutan, tapi kewaspadaan yang nyaris seperti binatang liar yang terluka.

Axton berdiri tak jauh dari sana, merokok dengan santai, seolah situasi ini bukan kejahatan, melainkan rutinitas biasa. Asap rokoknya membentuk lingkaran-lingkaran di udara, menari di atas kepala Samantha yang masih berkeringat. Clara, berdiri di sampingnya, mengenakan jaket kulit gelap dan sepatu hak tinggi yang berdetak dingin setiap kali ia melangkah di lantai semen.

"Dia terlihat sangat tenang, ya?" Clara menyeringai sambil mencondongkan tubuh ke arah Samantha. "Sungguh wanita yang menyebalkan. Bahkan sekarang pun kau tak menangis."

Axton terkekeh. "Yang seperti ini biasanya sulit dihancurkan secara emosional. Tapi kita punya waktu, bukan?"

Samantha hanya menatap mereka, matanya tak berkedip.

Clara perlahan membuka lakban dari mulut Samantha, menariknya dengan kejam hingga suara sobekan terdengar tajam. Samantha menarik napas keras, suara tenggorokannya serak.

"Berapa jauh kau akan melangkah hanya karena iri, Clara?" suara Samantha lemah namun penuh hinaan yang terselubung.

Clara hanya tersenyum. "Jangan khawatir. Aku akan memberimu panggung yang layak. Semua orang akan melihatmu... tapi bukan dalam versi yang kau suka."

"Termasuk Nathaniel?" Samantha menantang.

Clara terdiam sejenak. Ada getar di matanya, lalu bibirnya menegang.

"Seseorang sepertimu tidak layak berdiri di samping orang seperti dia."

Axton mematikan rokoknya dan berkata dengan nada rendah, "Waktunya kita mulai mempersiapkan 'pertunjukan'. Kamera sudah siap. Dan aku sudah siapkan saluran distribusi."

Clara menoleh, kali ini tidak ada senyum di wajahnya, hanya kilatan puas yang dingin. "Bagus. Pastikan semuanya terlihat jelas. Kita akan mempermalukannya... sampai dia tidak punya tempat untuk pulang."

Clara melangkah mendekat, suara hak sepatunya berdentang keras di lantai semen. Wajahnya kini begitu dekat dengan Samantha, napasnya hangat dan beracun.

"Lucuti semua pakaiannya," ucapnya dingin, tak lebih dari bisikan, namun menggema seperti sabda hukuman di ruangan sunyi itu. "Pastikan dia dipermalukan... seumur hidupnya."

Samantha menahan napas. Jemarinya mencengkeram ujung kursi. Ia tak berkedip, tak bicara, hanya menatap lurus ke arah Clara, seolah berusaha mengukir wajah wanita itu dalam ingatannya untuk selamanya.

Clara meluruskan punggungnya, menoleh pada Axton yang berdiri santai di pojok ruangan, seolah sedang menikmati drama yang ia sutradarai. "Kau dengar, kan?" tanyanya datar.

Axton hanya mengangguk pelan, matanya menilai Samantha dengan pandangan haus yang tak berperasaan. Tapi sebelum ia bisa melangkah, Clara membungkuk sekali lagi ke arah Samantha.

"Oh, dan satu hal lagi..." Suaranya berubah manis, namun matanya bersinar kejam. "Tentu saja kamu boleh mencicipinya... jika mau."

Ia tersenyum, senyum yang dingin dan penuh kemenangan, lalu berbalik dan berjalan pelan keluar ruangan. Pintu berderit tertutup di belakangnya, meninggalkan Samantha dan Axton dalam keheningan yang mengerikan.

Samantha menunduk sejenak, tubuhnya menegang dalam ikatan. Ketakutan mulai menjalar dari ujung jari ke tulang punggungnya. Tapi kemudian, perlahan-lahan, matanya terbuka lagi, dan di dalamnya, masih ada api kecil yang belum padam.

Dia tak akan hancur. Tidak sekarang.

Sementara di luar, bayangan bayangan mulai menyusup, dan derap langkah-langkah asing mendekat diam-diam. Pertarungan akan segera dimulai. Dan Samantha tidak sendirian.

Tapi tak satu pun dari mereka menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.

Di luar, di antara bayangan gelap pabrik tua yang lengang, mobil hitam Nathaniel berhenti mendadak tanpa suara. Dan lelaki itu turun... membawa neraka bersamanya.

...****************...

Axton mendekat perlahan, langkahnya tenang seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa lari ke mana-mana. Wajahnya tampak datar, tapi di balik tatapan dinginnya tersimpan niat busuk yang telah lama membusuk dalam dirinya.

Ia berhenti di depan Samantha. Tangan kasarnya terulur, menyentuh dagunya yang membiru karena bekas kekangan. Samantha meringis, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena jijik. Tubuhnya menggigil, namun bukan karena dingin. Axton tersenyum tipis, tangan satunya bergerak ke arah kancing blusnya yang telah robek sebagian.

"Aku selalu penasaran, seperti apa wanita sehebat kamu di balik semua itu," gumamnya pelan, suaranya serak dan penuh niat busuk. Ia mendekat perlahan, seperti pemangsa yang menikmati rasa takut dari mangsanya.

Samantha menatapnya tajam, meski ketakutan menyelubungi tubuhnya. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan, tapi karena jijik yang begitu pekat. Saat Axton merunduk dan menyentuh wajahnya, ia meludah tepat ke arah lelaki itu.

Axton hanya terdiam sejenak, mengusap ludah itu dari pipinya dengan gerakan lambat. Bukannya marah, dia justru tersenyum miring, seolah perlawanan Samantha adalah bumbu yang mempermanis situasi bagi pikirannya yang rusak.

"Api kecil itu masih menyala, ya?" bisiknya. "Tapi tenang... sebentar lagi kau akan kehabisan bahan bakarnya."

Samantha memalingkan wajah, rahangnya menegang, berusaha tak menunjukkan ketakutan yang mulai menyelimuti pikirannya. Tapi dalam hatinya ia berdoa, untuk siapa pun yang mungkin masih mencarinya di luar sana.

Axton meraih dagu Samantha, dan kini wajah mereka saling berhadapan.

Tepat saat Axton mencoba mencium bibir Samantha....

BRAKK!

Pintu logam tua itu terpental terbuka, menghantam dinding dengan suara memekakkan telinga. Axton refleks menoleh, tapi belum sempat bereaksi lebih jauh, sosok tinggi dalam setelan gelap muncul di ambang pintu.

Nathaneil.

Tatapan matanya membara. Napasnya teratur namun berat. Ketika ia melihat Samantha dalam keadaan terikat dan tercabik, ada kilatan amarah murni dalam sorot matanya. Bukan hanya karena kekejian yang hampir terjadi, tapi karena sesuatu jauh di dalam dirinya telah disentuh, sesuatu yang tak bisa ia abaikan lagi.

Axton hanya sempat berseru, "Siapa kau..."

Tinju Nathaneil mendarat telak di rahangnya. Axton terhempas ke lantai, berdarah, terbatuk.

Tanpa memberi kesempatan bernapas, Nathaneil menariknya lagi dari kerah baju, menghantamkan lutut ke perut Axton dengan kekuatan penuh hingga pria itu menggeliat kesakitan.

"Kau sentuh dia," desisnya dengan suara berat dan berbahaya. "Dan itu adalah kesalahan terakhirmu."

Tinju demi tinju mendarat ke wajah dan dada Axton. Darah mulai mengucur. Axton mencoba melawan, tapi Nathaneil bagaikan bayangan kemarahan yang tak bisa dihentikan. Dalam beberapa detik, Axton tak lagi bergerak, hanya tergolek di lantai, tak sadarkan diri, atau mungkin lebih buruk.

Nathaneil terdiam sejenak, tubuhnya masih menegang. Lalu ia berbalik cepat ke arah Samantha.

Tangannya gemetar saat melepas ikatan pergelangan dan pergelangan kaki Samantha.Mata mereka bertemu.

Samantha menangis, bukan hanya karena trauma, tapi karena kelegaan dan rasa yang tak bisa dijelaskan. Tubuhnya gemetar saat Nathaneil menariknya ke dalam pelukan. Tapi kali ini, ia tak menolak.

"Maaf," bisik Nathaneil di rambutnya. "Aku terlambat."

Dan untuk pertama kalinya, Samantha membiarkan dirinya menangis sepuasnya, di dada pria yang telah menghancurkan dan kini...mungkin satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!