MISI KEPENULISAN DARI NOVELTOON! BUKAN PLAGIAT! KETERANGAN LEBIH LENGKAP DI BAB 1. MAKASIH.
****
Dibuang, diabaikan dan diasingkan jauh ke desa karena dianggap pembawa sial, tepat setelah kematian ibunya dan bersamaan kakeknya yang koma.
Gadis berusia 9 tahun harus didewasakan oleh keadaan. Berjuang sendiri menjalani kerasnya hidup seorang diri.
10 tahun kemudian, dipaksa kembali ke kota oleh ibu tiri untuk menikah dengan pria yang digadang-gadang sekarat dan hampir mati.
Ibu tirinya tidak rela putri kandungnya menikah dengan lelaki seperti itu. Akibat sebuah perjanjian keluarga, terpaksa perjodohan tidak bisa dibatalkan.
Namun ada yang janggal ketika gadis itu bertemu pria yang menjadi suaminya. Terlihat jelas pria itu sangat tampan, kuat dan tidak ada seperti orang penyakitan. Tidak ada yang mengetahui kenyataan itu.
Pria itu ternyata adalah salah satu pengusaha yang sukses dan menjadi konglomerat di kotanya. Sangat misterius dan begitu berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Kepergok
Khansa mengamati alamat yang diberikan oleh Emily. Kemudian melacaknya terlebih dahulu sebelum ia berangkat ke sana. Mengamati lokasi tersebut melalui bantuan ponsel pintarnya.
Ia bergegas memesan taksi online setelah merasa yakin. Khansa kembali mengenakan cadar yang sempat dilepaskan saat memasuki kamar. Matanya melirik pada denting jam yang menggantung di tembok, sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Khansa yakin seluruh penghuni Villa Anggrek sudah beristirahat.
Kakinya melangkah perlahan keluar kamar. Menutup pintu dengan sangat pelan karena takut menimbulkan suara. Namun, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sapaan seseorang.
"Nyonya muda, Anda mau ke mana?" tanya Paman Indra menyelidik. Pasalnya, ini sudah hampir tengah malam, namun istri tuan mudanya itu justru terlihat sangat rapi. Ditambah dengan sikapnya yang mengendap-endap semakin membuatnya curiga.
"Paman, ada hal yang sangat penting dan mendesak. Aku harus segera keluar malam ini juga," jelas Khansa dengan suara pelan. Takut sang nenek akan terbangun karena kebisingan mereka. Dan itu akan semakin memperlambat langkahnya. Artinya, kesempatan bertemu dengan Bibi Fida akan lebih lama lagi.
"Tapi, Nyonya ini bahkan sudah hampir tengah malam. Saya khawatir ...."
"Tenang saja, Paman! Aku pasti bisa menjaga diri dan selalu baik-baik saja," tegas Khansa melambaikan tangan dan bergegas pergi.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang kepala pelayan itu selain menghela napas panjang atas sikap keras kepala nyonya mudanya itu. Pria paruh baya itu, turut menyusul langkah Khansa yang sudah menggapai pintu utama dan berlari menuju mobil yang hendak ia tumpangi.
"Semoga tidak akan ada hal buruk yang terjadi," mohon Paman Indra dalam gumaman menatap mobil yang sudah melesat jauh dari pelataran Villa Anggrek.
Dalam keheningan malam, dibalut angin yang berdesir cukup kuat, Khansa duduk di kursi penumpang yang tengah melaju ke luar kota Palembang. Jendela mobil itu sengaja ia buka sedikit, untuk menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya. Duduk termenung dengan perasaan yang berkecamuk, darahnya berdesir kuat ketika mengkhawatirkan Bibi Fida.
Khansa kembali beralih pada ponselnya saat sebuah pesan kembali masuk pada benda pipih itu. Ia baru teringat tadi sempat mengabaikan chat dari Leon.
“Sasa, kamu lagi ngapain? Kenapa nggak mau angkat teleponku?” –tanya Leon dalam pesan singkat pertamanya.
“Sasa, apa kamu sudah tidur?” Pesan dari Leon kembali yang nampak di ujung layar, tanpa ia harus membukanya.
Ia bergeming menatap layar ponselnya lama sekali, tapi tak kunjung membalas pesan itu, Khansa ingin membentengi hatinya agar tidak tergoda oleh Leon dan juga tidak memberi kesempatan bagi Leon untuk menyakiti dirinya.
Khansa memejamkan matanya sembari menghela napas panjang. Menghalau rasa sesak yang sesekali menelusup ke dadanya.
“Selalu inget dengan perjanjian awal, Sa. Kamu hanya pengantin pengganti, jangan pernah libatkan perasaan,” gumamnya menyadarkan diri sendiri.
***
Sementara itu di sisi lain, Leon telah mendarat di bandara Palembang bersama Gerry, asistennya. Pria itu segera menghampiri dua sepupunya, Simon dan Hansen yang bertugas menjemputnya.
Gerry membukakan pintu penumpang sembari membungkukkan separuh tubuhnya sampai tubuh tinggi Leon masuk dan duduk di kursi penumpang, diikuti olehnya.
Sebuah mobil mewah bermodel panjang yang mereka tumpangi, kini melesat dari bandara dengan kecepatan rata-rata.
Leon menatapi ponsel di tangannya, keningnya mengernyit heran saat pesannya sama sekali tak mendapat balasan. Batinnya mengira-ngira apakah Khansa sudah tidur?
Di kursi depan, di mana Simon dan Hansen duduk sedari tadi memperhatikan Leon dari pantulan bayangannya di kaca spion.
“Kak Leon, kenapa Kakak pulang lebih awal?” tanya Hansen yang menengok ke belakang.
“Iya, terus dari tadi selalu melototin HP mulu. Awas meledak,” sindir Simon sembari fokus menyetir, yang sesekali mendongak pada spion yang menggantung di atasnya.
“Kayaknya ada yang udah mulai kangen nih sama istrinya, makanya cepet-cepet pengen pulang, hahaha!” sindir Simon tergelak tawa diikuti Hansen. Mereka berdua suka sekali menggoda kakaknya itu.
Leon hanya mengulum bibirnya sendiri dalam diam, melirik ke depan sejenak, mengabaikan celoteh dua saudara sepupunya itu. Leon masih fokus pada ponselnya, lalu mengembuskan napas berat.
Rasa penasarannya membuncah. Leon meminta Gerry untuk menelepon Paman Indra di Villa Anggrek. Pria di sampingnya itu menjalankan perintahnya dengan patuh, lalu menyerahkan ponsel pada Leon setelah tersambung.
“Selamat malam tuan muda,” sapa Paman Indra yang tak butuh waktu lama mengangkatnya.
“Malam, Paman. Apakah Khansa sudah tidur?” tanya Leon to the point.
“Nyonya muda baru saja keluar, Tuan,” jawab sang kepala pelayan.
“Apa?! Malam-malam begini, pergi ke mana?” pekik Leon terkejut.
“Beliau hanya mengatakan ada hal penting dan mendesak, Tuan. Jadi, harus keluar sekarang juga,” sahut Paman Indra.
Leon segera menutup panggilannya. Ia beralih pada Gerry yang sedari tadi di sampingnya. “Ger, lacak keberadaan Khansa sekarang juga!” perintahnya pada sang asisten.
“Baik, Tuan,” sahut Gerry segera Ipadnya, bukan hal sulit bagi Gerry untuk melakukannya. Jemarinya dengan lincah mengetikkan banyak coding, kedua netranya fokus pada layar benda pipih di depannya.
****
Sementara itu, Khansa sudah tiba di sebuah perumahan yang jauh dari tempat tinggalnya itu. Rumah tersebut terletak cukup jauh dari perumahan lainnya, cahaya yang berpendar tidak cukup terang. Khansa menghela napas panjang, pandangannya mengedar ke sekililingnya yang sangat sepi.
Ia segera turun dari mobil setelah selesai melakukan pembayaran. Kedua kakinya melangkah pelan sampai di depan pintu, tangannya membuka dengan perlahan yang ternyata tidak terkunci.
Kepalanya melongok masuk, seketika langsung membuka pintu lebar-lebar dan melangkah panjang saat melihat Bibi Fida terbaring di atas ranjang.
“Bibi,” panggil Khansa pelan menyentuh tangan dan kening sang bibi.
“Bibi Fida, buka matamu, ini Sasa,” ucapnya lagi tepat di telinga Bibi Fida.
Wanita yang sudah dipenuhi kerutan di seluruh tubuhnya itu, mulai mengerjapkan mata dengan sangat pelan. Rambutnya sudah memutih, tubuhnya tampak sangat kurus dan lemah.
Pandangannya langsung berbinar saat netranya melihat Khansa. Bibi Fida sulit percaya Khansa muncul di hadapannya.
“Non … Sa … sa!” ucap Bibi Fida terbata-bata dan sangat lirih.
Kedua tangan rentanya berusaha menggapai pipi Khansa. Khansa mengangguk, menarik tangan Bibi Fida membantu meletakkannya di kedua pipinya. Matanya berkaca-kaca.
“Oh … Ya Tuhan! Non …” Bibi Fida tak percaya akhirnya bisa bertemu dengan nona kecilnya itu, air matanya menyeruak seketika, begitu pun Khansa. Tangisnya pecah hendak meraih tubuh Khansa ke dalam pelukannya.
Namun tiba-tiba, Bibi Fida terbatuk dengan keras, hingga tidak ada jeda. Sampai pada akhirnya wanita tua itu muntah darah sangat banyak.
“Bibi! Bibi Fida kenapa?” jerit Khansa semakin menangis.
Khansa segera mengecek nadi bibi Fida, degub jantungnya sudah tak terkendali melihat sang bibi sudah sangat lemah. Ia yakin, Bibi Fida bisa bertahan sejauh ini karena kerinduannya untuk bertemu dengannya.
“Bibi bertahan ya, Sasa akan bawa Bibi ke rumah sakit!” Khansa membersihkan bekas darah yang ada di sekitar mulut Bibi Fida, kemudian Khansa mendudukkannya dan membantu Bibi Fida berdiri, juga memakaikan sandalnya.
“Pelan-pelan, Bi,” ucap Khansa memapah Bibi Fida keluar dari rumah kecil itu.
Tiba-tiba, Hendra melenggang masuk ke rumah tersebut dan berdiri di hadapan Khansa.
Bersambung~
tp lupa judulnya
ceritanya dikota palembang