Hulla ... selamat datang di novel ketigaku❤❤❤
Masih berkaitan dengan dua novelku terdahulu ya, semoga ngga bosen😆 baca dulu biar ngga bingung✌
~Menikahi Bos Mantan Suamiku~
~Kekasihku, Asisten Adikku~
"Kamu adalah hal yang paling mustahil untukku. Bahkan aku tidak percaya semua kata-katamu, sejak aku mulai mengenalmu!" Jenny Putri.
"Cinta itu seperti gigitan nyamuk. Ngga akan terasa sebelum nyamuk itu kenyang mengisap darahmu, lalu terbang pergi. Setelah itu kamu baru merasa gatal, bahkan kesal karena tidak berhasil menangkapnya. Kuharap kamu bisa menyadari sebelum nyamuk itu pergi dan hanya meninggalkan bekas merah yang gatal di dirimu." Zabdan Darrenio.
Demi menyelamatkan Jen, Darren rela mengaku sebagai calon suami Jen. Meskipun Jen selama ini tidak pernah menganggap Darren sebagai teman melainkan musuh. Karena sejak kecil, Darren selalu menjahili Jen, sehingga Jen tidak menyukai pria tersebut. Bagaimana kisah pasangan absurd ini? Yuk simak sampai akhir ...
Picture by Canva
Edited by me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Yang Sama
Sudah hafal benar dengan keadaan rumah sakit yang selama beberapa tahun ke belakang menjadi langganan keluarga mereka. Sejak neneknya mengalami kelumpuhan akibat stroke, rumah sakit menjadi rumah kedua mereka. Ketika sampai di rumah sakit, Darren melarikan langkahnya ke arah dimana ruang urgensi itu berada.
Satu belokan lagi dan dia sampai di ruang tersebut, tetapi karena ia terlalu tergesa-gesa, ia sampai menabrak seseorang yang berlawanan arah darinya. Orang itu ambruk meski hanya sedikit saja mereka bertabrakan.
"Maaf, Bu ... saya ngga sengaja!" Bergegas Darren menghampiri wanita yang ditabraknya. Tangannya terulur untuk membantu si ibu itu bangkit.
Tiba-tiba wanita itu menangis, hingga Darren semakin takut dan panik dibuatnya.
"Apa ada yang terluka, Bu?" tanyanya sambil berjongkok.
Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menggeleng, tetapi masih tetap menunduk. "Suami saya meninggal, Mas ...," ujarnya terbata. Lalu ia kembali menangis.
Innalillah
"Turut berduka ya, Bu ...," Darren memberanikan diri menyentuh tangan wanita tua itu. Anggukan kepala dan derasnya tangis sebenarnya malah membuat Darren merasa bersalah. Darren mencoba menerka, mulai dari kematian mendadak, anaknya tidak pulang, atau ia tak memiliki sanak saudara, hingga ibu ini kesulitan mengurus jenazah suaminya.
Sebentar ....
Manik mata Darren meneliti wajah dan penampilan ibu itu. Sederhana dan terkesan kacau. Apa ia butuh biaya?
"Bu ... apa ada yang bisa saya bantu?" Si ibu menggeleng.
Darren merasa terjebak sendiri pada akhirnya. Ia terlanjur bertanya dan tak tega membiarkan si ibu itu begitu saja. Tetapi mamanya, juga sangat membutuhkan bantuannya.
"Bu, mohon maaf sebelumnya, tapi saya harus pergi karena nenek saya juga kritis. Semoga suami ibu tenang di alam sana," putus Darren akhirnya. Ia tak bisa banyak membantu, lagipula. "Biar saya bantu ibu berdiri."
Berkat bantuan Darren, si ibu berhasil berdiri dan duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari tempat itu.
Darren beranjak, tetapi matanya belum putus mengamati ibu itu. Ia tersenyum sendiri, lalu berlalu pergi.
"Terima kasih, Mas. Saya hanya bingung cari anak saya dimana, tidak ada kabar sudah seminggu lamanya."
Darren baru dua langkah terpisah dari si ibu itu, ia kemudian berbalik dan mendapati wajah ibu itu terangkat ke arahnya.
"Sudah lapor polisi?" Darren memiringkan kepalanya tatkala si ibu kembali menunduk. Gelengan kepala jawabannya.
"Seharusnya ibu lapor polisi, jika sudah seminggu lamanya." Darren kembali mendekat kala pikirannya mencapai satu kesimpulan. Mungkin si ibu terlalu khawatir pada suaminya dan tidak tahu caranya melapor polisi.
"Siapa nama anak ibu, biar saya bantu melaporkan nanti?" tawar Darren. Ia tak bisa banyak membantu, tapi setidaknya ia tahu kemana ia harus meminta pertolongan. Ia memiliki rekan di kepolisian sebelum ia melapor secara resmi.
Sejenak menimbang si ibu ragu, tetapi apa dia punya pilihan? Lagipula, Darren tampak meyakinkan. "Apa ada biaya yang harus saya keluarkan, Mas? Jujur saja, hanya sisa pakaian ini saja yang menjadi harta saya."
Darren tersenyum, "Apa wajah saya tampak seperti calo ataupun penipu, Bu?" seloroh Darren. Ia kembali berjongkok di depan wanita berumur itu. Si ibu menggeleng dengan senyum sedikit muncul di bibirnya.
"Nama anak saya Nella, Mas ... Dwinella Kirani," ucapnya menegaskan. "Rambutnya sebahu dan ikal."
Darren terperanjat. Rambut sebahu dan ikal? Nella? Apa itu Nella yang sama? Tentu saja Darren kini ketakutan. Apa suami ibu ini meninggal gara-gara memikirkan Nella? Nella gak bakal ketemu karena ia di penjara. Bibir sensual Darren tergigit miris.
"Eh, apa ibu punya fotonya?" Ulu hati Darren terpelintir. Bagaimana jika iya? Nella itu orang yang dipenjarakan mertuanya. Oh My ... demi apapun Darren kini ketakutan.
Mata Darren tak lekang meninggalkan gerakan wanita itu. Usai mengangguk dan menyeka wajahnya, ia menggerakkan tangannya ke arah belakang tubuhnya. Itu sebuah tas punggung, lalu ia menarik sebuah ponsel keluaran lama berwarna putih.
"Ini, Mas ...," ujarnya usai menyalakan ponsel itu dan mengarahkan ke depan Darren.
Darr!
Bukan petir, tapi ponsel itu jatuh karena Darren gemetaran menerima ponsel itu hingga meluncur begitu saja dari tangannya.
"Maaf, Bu ...." Ia sudah tahu sejak sekilas menatap wallpaper hape tersebut. Itu Nella yang sama. Ia menyalakan lagi dan mengambil ponselnya sendiri, lalu ia mengambil foto tersebut untuk menyakinkan si ibu.
"Ibu yang tenang, ya ... saya akan bantu ibu temukan anak ibu." Darren keliyengan ketika beranjak bangkit karena berjongkok terlalu lama. Ditambah sedikit rasa bersalah, kepalanya menjadi pening. Satu hal saja yang terlintas, ia harus menemui Nella. Mencari tahu sendiri dan memberitahukan perihal kematian ayahnya.
***
Desy begitu kalut karena Darren tak kunjung datang. Sementara suaminya, tak bisa dihubungi. Dua hari lalu, Randi mendapat promosi kenaikan jabatan di kantornya. Agak aneh sih, tapi Desy menganggapnya sebuah keberuntungan. Mungkin tahun-tahun penuh kesabaran akhirnya kini mulai menampakkan hasil. Usahanya juga mulai sedikit berkembang.
Tetapi ia harus bersedih karena mertuanya kini sedang tak sadarkan diri. Saat semua membaik, saat apa yang hilang telah kembali. Dulu, kakek Darren adalah pengusaha sukses, tetapi karena tertipu, ia bangkrut saat Rendi masih duduk dibangku SMA. Hingga kini, mereka hidup pas-pasan. Meski Desy adalah sahabat Kira dan bukan sekali dua kali mereka menawarkan bantuan, tapi Rendi menolak. Pekerjaannya saat ini adalah keringatnya dan jerih payahnya, sekalipun itu hanya karyawan biasa.
"Mama ...," seru Darren.
Desy menoleh, ia begitu lega melihat Darren melangkah ke arahnya. "Darren ...," gumam Desy. Air matanya membanjir bahkan sebelum ia berkata lebih banyak.
Darren merengkuh mamanya yang langsung menangis.
"Ini salah Mama karena gak jagain nenekmu dengan baik, Ren ... Mama sibuk sekali pagi ini," isaknya di dada putranya.
"Mama jangan gitu, nenek pasti akan baik-baik saja." Darren tak kuasa menahan air matanya juga.
"Papamu pasti kecewa sama Mama, Nak ...," sambung Desy lagi.
"Papa pasti bakal ngerti, Ma ... sudahlah. Jangan salahkan diri mama sendiri. Lebih baik doakan nenek agar diberikan yang terbaik," hibur Darren yang menancapkan pipinya di atas kepala Desy. Darren menepuk pelan punggung wanita yang telah melahirkannya ini.
Pintu ruangan yang sebagian terbuat dari kaca itu membuka, menampilkan sesosok pria memakai pakaian berwarna biru dan penutup kepala berwarna senada. Sarung tangan lateks putih masih melekat di kedua telapak tangannya.
"Gimana nenek saya, Dok?" Darren hanya mengalihkan pandangannya saja tanpa beringsut mendekat. Bukan karena tak sopan tapi mamanya yang membelakangi pintu ICU, tak tahu kehadiran dokter sehingga Darren tak bisa bergerak banyak.
Dokter itu adalah Handoko, masih dihitung memiliki hubungan kekeluargaan dengan Rendi. Pria itu beringsut lemah dan mendekati Darren. Ia menggeleng.
"Maafkan Om yang tidak bisa menyelamatkan nenekmu, Ren!"
.
.
.
.