Berniat berlari dari penagih utang, Kinan tak sengaja bertabrakan dengan Reyhan, laki-laki yang berlari dari kejaran warga karena berbuat mesum dengan seorang wanita di wilayah mereka.
Keduanya bersembunyi di rumah kosong, sialnya persembunyian mereka diketahui oleh warga. Tanpa berpikir lama, warga menikahkan paksa mereka.
Keinginan menikah dengan pangeran yang mampu mengentaskan dari jerat utangnya pupus sudah bagi Kinan. Karena Reyhan mengaku tak punya kerjaan dan memilih hanya menumpang hidup di rumahnya.
READER JULID DILARANG MASUK!
Ini hanya cerita ringan, tak mengandung ilmu pelajaran, semoga bisa menjadi hiburan!
Tik tok : oktadiana13
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Okta Diana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyasar ke makam
Aku menggedik melihat tingkahnya. Laki-laki ini harus tidur sore, agar tak memaksaku untuk melakukan malam pertama. Aku menggelengkan kepala. "Tidak, ini tidak boleh terjadi."
"Apanya yang tidak boleh terjadi? Jika semua sudah takdir, apa boleh buat?" Dia melirikku dan memasukkan satu sendok penuh nasi dan oseng kangkung itu dalam mulutnya. Main sambar omongan saja. "Pinter juga kamu masak, gak salah para warga menikahkanku denganmu."
"Ih," Aku membuang muka. "Aku yang rugi dinikahkan dengan laki-laki sepertimu."
"Sepertinya kamu gak ada habisnya ya meledekku. Tunggulah, akan ada waktu dimana kamu akan tergila-gila padaku!" Tingkat kepercayaan diri yang rasanya membuatku gemas dan ingin memukul kepalanya, agar tersadar.
"Gila," ucapku lirih.
Dia meletakkan sendoknya dipiring dan menatapku. "Jika aku gila, mungkin sudah dari siang tadi aku memintamu untuk melaksanakan kewajibanmu."
"Kamu tuh ngomong kewajibanku, terus kewajibanmu menafkahiku mana?"
"Hei jangan salah, hal ini juga nafkah. Nafkah batin." Lagi-lagi dia tertawa kegirangan. Aku hanya memicingkan mata melihatnya. Benar-benar sial nasibku. "Kamu aku kasih nafkah batin gak mau?"
"Aku maunya nafkah lahir," sahutku.
"Tadi udah 'kan?"
"Apaan mahar tadi cuma lima ratus ribu, cuma cukup buat makanmu tiga hari."
"Uangku di dompet hanya tinggal itu."
"Ya udah gak usah minta aku melaksanakan kewajiban kalau kamu gak punya uang." Aku berdiri meninggalkan meja makan dengan membawa piring menuju dapur.
"Kamu mau uang berapa?"
"Sepuluh juta."
Dia berdiri. "Oke, tapi malam ini kamu harus melaksankan kewajibanmu."
Deg
Jantung ini terasa berhenti berdetak. Tidak, dia pasti tidak punya uang sebanyak itu. Aku masih terdiam di dapur. Rey berjalan menghampiriku.
"Aku keluar sebentar dan akan bawa sepuluh juta. Awas aja kalau kamu malam ini gak mau melayaniku!" Dia mengancam dengan senyum menyeringainya. Bulu kuduk ini rasanya berdiri semua.
Jantungku bertambah berdegup tak karuan. Bagaimana ini? Sepuluh juta lumayan banyak, dimana dia mendapatkan uang itu. Apa dia akan pinjam temannya?
"Aku kasih waktu sepuluh menit! Kalau kamu keluar lebih dari sepuluh menit, maka semua permintaanmu gagal!"
Dia berjalan semakin mendekatiku. "Oke sepuluh menit. Tapi nanti sampai pagi ya!"
Astaga
Mataku membulat mendengarnya. Bagaimana aku harus menggagalkannya?
"Lah malah ngelamun."
"Iya," teriakku pasrah.
"Sekarang kasih tau aku, mesin ATM daerah sini sebelah mana?"
Aku menggigiti bibir bawah seraya berpikir untuk mengelabuhinya. Sepertinya aku harus membuatnya berputar-putar agar melebihi waktu yang sudah ku tentukan.
"Ke arah sana, ada perempatan jalan kamu lurus aja terus kalau udah mentok belok kiri!" Aku menunjuk arahnya dengan tangan. Rey mengerutkan kening. Apa dia curiga padaku?
"Kesana?" Tangannya juga menunjuk ke arah yang kutunjukan.
Aku mengangguk. "Waktu aku mulai dari sekarang!"
Dia seperti tak terima, mengepalkan tangannya padaku dengan wajah geram. Aku memundurkan kepala untuk menghindarinya. Walaupun aku tau dia tak mungkin akan memukul.
"Bersiaplah merasakan perih malam ini!" ancamnya seraya berlari menyambar kunci mobil di meja.
Mataku terbelalak mendengarnya. Ku pukul-pukul kepalaku. Oh tidak, apa yang akan terjadi nanti. Aku mondar-mandir gugup seraya menggigiti ujung kuku. Sesekali melihat mobilnya sudah berjalan pergi dari rumah. Do'aku semoga dia menyasar dan kalau perlu tidak pulang.
Aku melihat jam yang bergantung di dinding. Rasanya belum tenang jika belum sampai sepuluh menit. Ini baru delapan menit. Baiklah aku harus tenang dan yakin akan menang.
Tik tok tik tok
Tiga menit kemudian akhirnya aku bisa bernapas lega. Dia belum kunjung datang juga membawa uangnya. Ku lemparkan tubuh ke sofa seraya menutup mata. Kemudian aku membolak-balikan majalah yang ada didepan mata seraya menyilangkan kaki.
Aku melihat jam di dinding kembali. Ah ini sudah dua puluh menit Rey belum kembali juga. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana wajahnya saat ini pasti sangatlah lucu kebingungan mencari mesin ATM.
Eh tunggu, bukannya dia pengangguran? Kenapa dia mempunyai uang sebanyak itu? Apa mungkin itu tabungannya? Aku mencebikkan bibir. Ya bisa jadi. Lalu aku membaca kembali majalah yang berada di tanganku ini.
Tin tin tin
Braaakk
Aku langsung berdiri, dan berjalan menghampirinya di ambang pintu. Raut wajahnya terlihat geram. Ini sangat lucu sekali. Sumpah aku tak bisa menahan tawa.
"Kamu telat sepuluh menit."
"Oh ya? Kamu sengaja 'kan, dengan menunjukan arah makam?"
"Ha, ha, ha,"
Perutku sakit, mengeras, tak mampu aku menahan tawa mendengar keluhannya. Apa dia benar-benar tidak tau daerah sini?
Dia mengambil sesuatu di saku celananya yang menggembung. "Nih sepuluh juta!" Mataku membulat seketika.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah. "Gak bisa, kamu udah telat."
Dia menarik bahuku. "Kamu bermain licik."
"Itu namanya cerdik."
Mulutnya ternganga. "Kamu mau aku kutuk menjadi arca sama seperti Roro Jonggrang? Lalu ku taruh sebagai pajangan di halaman rumah."
"Emangnya kamu Bandung Bondowoso? Hari gini masih main kutuk-kutukan. Emang mempan?" Aku berjinjit mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dia memundurkan kepalanya.
"Eh kamu tau gak istri yang nolak diajak berhubungan dengan suami itu sampai pagi tidurnya bakal dilaknat malaikat!"
Deg
Aku langsung terdiam mendengarnya. Rey berjalan keluar rumah, aku mengikutinya. Dia ternyata duduk di teras seraya menyulut sepuntung rokok. Hidung ini terus aku tutup dengan tangan. Mencium aroma asapnya membuat mual.
Rey melirikku dengan bibir mengerucut dan raut wajah cemberut. Dia menghisap dalam rokoknya lalu mengeluarkan asap itu ke udara dengan mulutnya.
"Ih," Aku menggedikkan bahu dan masuk dalam kamar dan mengecek ponsel. Oh tidak, ancaman penagih hutang terus saja menghubungiku. Bagaimana besok? Dimana aku harus mencari uang sebanyak ini?
Aku berpikir sejenak. Rey, apa aku pinjam uang sepuluh jutanya? Tapi, bagaimana kalau dia menuntutku untuk melayaninya?
"Aaahhk," Ku hentak-hentakan kaki di lantai rasanya pusing menghadapi ini semua. Coba aku bernegosiasi dengannya.
Aku berjalan pelan mendekati dan duduk disampingnya. Rey hanya melirikku lalu sibuk kembali menghisap rokoknya.
"Rey ...."
Dia melirikku kembali. "Apa?" gertaknya. Aku mengelus dada.
"A-aku boleh pinjam uangmu gak? Secepatnya akan aku kembalikan. Besok aku butuh."
Dia tersenyum menyeringai. Astaga, ini pasti tak mungkin mudah seperti yang ku kira.
"Gak usah pinjem, aku kasih. Asal ...."
"Gini, aku akan cepat ngembaliin ke kamu asal kamu malam ini tak menyentuhku. Aku hanya pinjam, sekali lagi aku tekankan pinjam bukan minta!"
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak semudah itu."
"Ayolah!" Aku memegang tangannya.
Dia melihat tanganku. "Eh udah berani pegang-pegang," sindirnya. Astaga cowok ini, jika tidak butuh benar-benar ingin aku pukul kepalanya.
Aku melepaskan tanganku dan menggosok-gosokan ke baju. "Kita itu baru kenal tadi pagi Rey, kamu jangan maksa aku kayak gini dong! Cinta aja gak ada diantara kita, bisa-bisanya ngajak malam pertama. Gimana coba ngelakuinnya?"