NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: Arsip Bisu Berbisik

Malam itu, janji tidur nyenyak hanyalah ilusi belaka bagi Risa. Kata-kata Kevin dan ide gila yang melintas di benaknya terus berputar, bercampur dengan bisikan-bisikan tak berwujud yang terasa semakin nyata. Ia menggenggam erat liontin kunci di lehernya, seolah benda itu adalah jembatan penghubung terakhir dengan kewarasannya. Dinding kamar, yang siang tadi terasa mengawasi, kini memancarkan aura dingin yang menusuk tulang. Bayangan ranting pohon di luar jendela, menari-nari seperti jemari kurus, seolah mencoba menggapai, menariknya lebih dalam ke dalam misteri.

Setiap desir angin, setiap suara gesekan daun di luar, terdengar seperti bisikan, panggilan dari dunia lain. Risa tahu, ini bukan lagi tentang rasa takut biasa. Ini tentang sebuah kebenaran yang tersembunyi, sebuah rahasia yang terkubur dalam-dalam di fondasi rumah tua ini. Dan entah kenapa, ia merasa ibunya, melalui arwahnya yang gelisah, sedang mencoba menunjukkan jalan. Air matanya menetes pelan, bukan karena takut, tapi karena rindu yang menyesakkan dan frustrasi karena tak bisa mendengar dengan jelas. “Ibu… apa yang mau Ibu kasih tahu?” bisiknya, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tertidur saat fajar mulai mengintip, kelelahan mental mengalahkan ketakutan fisik.

Keesokan harinya di sekolah, Risa menyeret kakinya. Kantung mata hitamnya tak bisa disembunyikan. Kevin sudah menunggunya di depan kelas, senyum tipis terukir di bibirnya. “Tidur nyenyak?” tanyanya, nada suaranya lembut, penuh perhatian. Ada tahi lalat kecil di bawah mata kirinya yang bergerak lucu saat dia tersenyum.

Risa menggeleng pelan. “Gue rasa nggak tidur sama sekali. Otak gue muter terus.”

“Nggak apa-apa. Nanti pas istirahat lo bisa tidur di perpus. Gue jagain,” Kevin menawarkan, menggeser ransel Risa dari bahunya dan membawanya. Sikapnya yang selalu tenang dan logis entah kenapa memberi Risa sedikit ketenangan.

Di kantin, saat istirahat kedua, Kevin sibuk dengan ponselnya, mencari jam operasional perpustakaan kota dan rute tercepat. Risa hanya mengaduk-aduk makanannya, pikirannya sudah melayang ke arsip-arsip tua yang mungkin mereka temukan.

“Oke, sampai jam lima sore. Kita bisa langsung cabut setelah bel pulang,” Kevin mengumumkan, menyimpan ponselnya. Ia menatap Risa, ekspresinya sedikit serius. “Lo yakin mau ngelakuin ini? Maksud gue, ini bisa jadi lebih dari sekadar cerita hantu. Ini bisa jadi… berbahaya.”

Risa menelan ludah. Kata ‘berbahaya’ itu terasa nyata, seperti sentuhan es di kulitnya. Tapi bayangan wajah ibunya, desakan dari liontin kunci, dan ingatan akan tatapan dingin Bibi Lastri… semua itu mendorongnya maju. “Gue harus tahu, Kev. Gue nggak bisa hidup dengan pertanyaan ini terus-terusan. Ibu gue… dia pantas dapetin keadilan.” Tekadnya kini tak tergoyahkan.

Kevin mengangguk pelan. “Oke. Kalau itu maunya lo, gue temenin. Tapi inget, apa pun yang kita temuin, kita harus hati-hati. Jangan gegabah.”

Bel pulang berbunyi, memecah kesunyian sore. Tanpa membuang waktu, Risa dan Kevin langsung melesat menuju perpustakaan kota. Perjalanan dengan bus terasa panjang, diwarnai obrolan ringan tentang pelajaran dan rencana mereka. Perpustakaan kota itu adalah bangunan tua yang megah, dengan tangga lebar dan pilar-pilar kokoh yang memberikan kesan berwibawa. Bau buku tua dan kertas menguar kuat begitu mereka melangkah masuk, memunculkan perasaan nostalgia sekaligus antisipasi.

“Bagian arsip di mana, ya?” Risa bertanya, celingak-celinguk mencari petunjuk. Kevin sudah mendekati meja informasi, bertanya pada seorang pustakawan paruh baya yang memakai kacamata melorot.

Tak lama kemudian, mereka diarahkan ke sebuah ruangan di lantai dua yang agak terpencil, jauh dari keramaian area baca utama. Suasana di sana lebih remang, dengan rak-rak tinggi menjulang berisi tumpukan map-map usang dan buku-buku bersampul tebal yang terlihat tak tersentuh selama bertahun-tahun. Udara terasa lebih dingin, sedikit pengap, dan beraroma debu.

“Oke, kita mulai dari mana?” Risa bergumam, matanya menyusuri deretan map yang tertata rapi sesuai kategori. Kevin mengeluarkan ponselnya, mencari tahu bagaimana arsip properti biasanya diklasifikasikan.

“Biasanya berdasarkan tahun atau wilayah. Rumah lo itu di daerah mana?” Kevin bertanya, fokus pada layar ponselnya.

“Jalan Anggrek, nomor… gue lupa nomornya. Tapi di pinggir kota. Dekat hutan kecil itu,” Risa menjelaskan, mencoba mengingat detail yang selama ini tak pernah ia perhatikan.

Mereka mulai mencari, satu per satu map ditarik keluar, dibuka, dan diteliti. Tangan Risa gemetar tipis saat menyentuh kertas-kertas yang menguning, seolah setiap lembar menyimpan jejak waktu yang panjang. Kebanyakan hanya berisi catatan penjualan tanah, izin bangunan, atau laporan pajak yang membosankan. Kevin, dengan ketelitiannya, membaca setiap lembar dengan saksama, sesekali bergumam tentang detail hukum yang rumit.

Hampir dua jam berlalu. Rasa putus asa mulai merayapi Risa. “Kayaknya nggak ada apa-apa, deh, Kev. Mungkin kita salah tempat?”

“Sebentar, Risa. Jangan nyerah dulu,” Kevin menenangkan. Matanya memicing, membaca label sebuah map yang tersembunyi di balik tumpukan lain. “Ini… wilayah pinggir kota, awal tahun 1900-an. Mungkin ada kaitannya sama pembangunan awal rumah lo.”

Ia menarik map itu dengan hati-hati. Debu beterbangan. Risa refleks batuk. Di dalamnya, terdapat beberapa lembar peta lama yang digambar tangan, foto-foto hitam putih yang sudah pudar, dan sebuah surat perjanjian jual beli yang ditulis dengan ejaan lama. Kevin meletakkan semuanya di atas meja baca yang kotor, di bawah cahaya lampu neon yang berkedip-kedip.

“Lihat ini,” Kevin menunjuk sebuah tulisan tangan yang indah di salah satu lembar. “Rumah ini dibangun oleh seorang bangsawan Belanda bernama Van der Steen. Ini… tahun 1920.”

Risa mendekat, matanya mengikuti jari Kevin. Di salah satu foto, terlihat sebuah rumah yang familiar, meski belum seluas dan serimbun sekarang. Jendela-jendela tingginya, pilar-pilar di teras depan… itu rumahnya. Tapi ada yang berbeda. Suasananya tampak lebih hidup, lebih cerah. Tidak ada aura kelam yang menyelimutinya seperti sekarang.

“Ada catatan tentang penghuni lain setelah dia?” Risa bertanya, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ini petunjuk pertama yang nyata.

Kevin membolak-balik lembaran. “Ya, ada beberapa. Satu keluarga pribumi, lalu beberapa kali ganti pemilik. Tapi… ini menarik.” Ia menunjuk sebuah nama di baris terakhir daftar pemilik sebelum nama kakek Risa. “Nyi Roro Kidul. Maksud gue, bukan Nyi Roro Kidul yang legenda, tapi ini nama orang. Seorang wanita.”

Risa mengerutkan kening. “Nyi Roro Kidul? Nama yang aneh. Apa ada detail lain tentang dia?”

“Hanya ada catatan singkat di sini. Katanya, wanita itu meninggal di rumah itu secara misterius. Lalu rumah itu sempat kosong lama, sampai akhirnya kakek lo beli murah,” Kevin menjelaskan, nada suaranya sedikit tegang. “Dan… ada catatan kecil di sini, ditulis tangan di pojok. ‘Tragedi keluarga berulang’.”

Tulisan itu, kecil dan samar, seolah ditekan dengan emosi kuat, membuat bulu kuduk Risa meremang. Tragedi keluarga berulang? Apakah ini ada hubungannya dengan kematian ibunya? Atau bahkan kematian pemilik sebelumnya, Nyi Roro Kidul, yang disebut ‘misterius’?

Tiba-tiba, sebuah sensasi dingin menjalar di punggung Risa, persis seperti saat ia merasakan kehadiran di kamarnya. Bukan angin, bukan hawa dingin biasa. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang tak terlihat. Ia menoleh cepat ke belakang, ke arah rak-rak buku yang gelap, tapi tak ada siapa pun.

“Kenapa, Risa?” Kevin bertanya, menyadari perubahan ekspresi Risa.

“Nggak… nggak apa-apa,” Risa berbohong, berusaha terdengar tenang. Tapi ia tahu, sensasi itu bukan halusinasi. Ada sesuatu di sana, mengawasi, mendengarkan. “Kev, cari lagi. Mungkin ada artikel koran lama atau laporan polisi tentang kematian Nyi Roro Kidul itu.”

Kevin mengangguk, kembali fokus pada arsip. Risa mencoba menenangkan dirinya, memaksa matanya kembali ke lembaran-lembaran di depannya. Matanya terpaku pada foto hitam putih rumah itu lagi. Dan kali ini, ia melihat sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya. Di salah satu jendela di lantai dua, di balik gorden tipis yang berkibar, samar-samar terlihat sebuah bayangan. Mirip siluet seorang wanita, berdiri tegak, seolah sedang mengintip. Jantung Risa berdegup kencang. Ia yakin, itu bukan hanya pantulan cahaya atau efek bayangan. Itu adalah… sosok.

“Kev…” suaranya nyaris berbisik. Kevin mengangkat kepala, melihat ekspresi pucat Risa.

“Ada apa?”

Risa menunjuk foto itu dengan jari gemetar. “Itu… lihat baik-baik. Di jendela lantai dua.”

Kevin mendekatkan wajahnya ke foto, menajamkan pandangannya. Ia mencari, lalu matanya sedikit melebar. “Sial. Ini… cuma bayangan, kan?” Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, tapi nada suaranya terdengar ragu.

“Bukan. Itu bukan bayangan. Itu… dia ada di sana,” Risa bersikeras, tiba-tiba merasa mual. Rasanya seperti menatap langsung ke mata hantu dari masa lalu.

Saat itu, jam dinding tua di ruangan itu berdentang keras, menandakan pukul lima sore. Suara dentangan itu terasa menggelegar di ruangan yang sunyi, diiringi suara pintu arsip yang tiba-tiba tertutup, menimbulkan gema keras yang mengejutkan mereka berdua. Lampu neon di atas kepala mereka berkedip sekali, lalu mati, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang pekat.

Udara dingin yang tadi samar, kini terasa menusuk, membawa serta aroma melati yang pekat, memenuhi seluruh ruangan. Risa merasakan kehadiran itu semakin dekat, napasnya tercekat di tenggorokan. Di tengah kegelapan, ia yakin ia mendengar bisikan. Sebuah bisikan yang kali ini jelas, dingin, dan penuh peringatan: *“Pergi… atau kau akan jadi yang berikutnya…”*

Kevin meraih tangan Risa, mencengkeramnya erat. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Mereka berdua terdiam, terperangkap dalam kegelapan, dikelilingi oleh arsip-arsip bisu yang kini terasa hidup, menanti dengan sabar untuk mengungkapkan rahasia yang lebih gelap dari malam itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!