NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perlahan Diterima

Wijaya terdiam. “Kalau aku ingat… apakah aku akan tetap di sini?”

Pertanyaan itu kembali menggantung di udara.

Lia menatap hujan. “Aku tidak tahu masa depan. Tapi hari ini… kamu di sini.”

Wijaya tersenyum samar. “Itu cukup.”

Malam semakin larut. Di rumah-rumah warga, nama Lia dan Wijaya masih diperbincangkan. Ada yang mencibir, ada yang penasaran, ada pula yang mulai diam-diam mengamati dengan rasa hormat.

.

Di kediaman keluarga Kusuma.

Ana memasuki kamar Krisna, matanya memerah karena kesedihan. Dia memandang sekeliling kamar, mencari tanda-tanda kehadiran Krisna, tapi semuanya terasa kosong.

"Ana, apa yang kamu cari?" tanya Ardian, yang berdiri di pintu.

Ana memandang suaminya, air mata mengalir di wajahnya. "Aku hanya ingin tahu, apakah Krisna benar-benar pergi? Apakah dia tidak akan kembali lagi?"

Ardian mendekati istrinya, memeluknya erat. "Aku juga tidak tahu, Ana. Tapi kita harus kuat, untuk keluarga dan perusahaan."

Ana mengangguk, mencoba menahan kesedihannya. "Aku tahu, tapi aku tidak bisa tidak merasa bahwa Krisna masih hidup. Aku memiliki perasaan itu, Ardian."

Ardian memandang istrinya, mencoba meyakinkannya. "Aku juga ingin percaya itu, Ana. Tapi kita harus menerima kenyataan."

.

Di kamar Asti.

"Ma, Ayah masih juga ragu untuk memutuskan penerus perusahaan setelah Krisna tidak ada. Dia sudah mati tapi juga masih menyulitkanku. Aku ingin segera menduduki kursi CEO."

Asti tersenyum, memandang Kevin dengan mata yang tajam. "Kamu tidak perlu khawatir, Kevin. Ayah akan memilih yang terbaik untuk perusahaan, dan itu pasti kamu."

Kevin mengangguk, tapi Asti bisa melihat keraguan di wajahnya. "Tapi, apa yang akan Mama lakukan jika Ayah memilih orang lain?"

Asti tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Jangan khawatir, Kevin. Aku sudah memiliki rencana. Ayah akan memilih kamu, aku pastikan itu."

Kevin memandang Asti, merasa sedikit takut.

Asti mendekati Kevin, membisikkan sesuatu di telinganya. "Kamu harus siap, Kevin. Kita akan mengambil alih perusahaan ini, dan tidak ada yang bisa menghentikan kita."

.

Pagi itu, Desa Tanjung Sari terasa sedikit berbeda.

Kabut masih menggantung rendah ketika Lia membuka pintu rumah. Udara dingin menyentuh kulit, membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam. Dari kejauhan, suara orang-orang mulai terdengar—petani bersiap ke sawah, ibu-ibu menimba air, kehidupan berjalan seperti biasa.

Namun bagi Lia, segalanya terasa lebih berat sejak kehadiran Wijaya.

Ia melirik ke arah dapur. Wijaya sedang membantu Ibu Surti menyiapkan sarapan. Tangannya yang besar tampak canggung memegang pisau, tapi ia melakukannya dengan hati-hati.

“Begini, Jay,” ucap Ibu Surti lembut. “Pelan saja, nanti terbiasa.”

Wijaya tersenyum. “Iya, Bu.”

Sapaan itu—Bu—membuat Lia terdiam sejenak. Ada kehangatan sederhana yang tumbuh tanpa mereka sadari.

Setelah sarapan, Pak Wiryo muncul dari kamar, menyampirkan caping di kepala. “Hari ini ikut ke sawah lagi?”

Wijaya mengangguk mantap. “Iya, Pak.”

Mereka berjalan bersama menyusuri jalan tanah desa. Beberapa warga yang berpapasan mulai menyapa, meski masih ragu.

“Pagi,” ucap Pak Danu, tetangga depan.

“Pagi, Pak,” jawab Wijaya sopan, sedikit membungkuk.

Pak Danu mengangguk, menatap Wijaya dari ujung kaki sampai kepala. Mengingat pria ini yang membantunya kemarin di sawah. “Kamu yang kemarin bantu angkat karung padi itu, ya?”

“Iya, Pak.” Jay mengangguk.

“Lumayan kuat juga,” gumam Pak Danu sebelum melangkah pergi.

Di sawah, Wijaya bekerja lebih luwes dibanding hari sebelumnya. Tangannya masih lecet, tapi gerakannya mulai menyatu dengan tanah dan lumpur. Ia belajar dari Pak Wiryo, meniru, jatuh, lalu bangkit lagi.

Beberapa petani lain mulai mendekat. Mengetahui pria asing itu memiliki bakat lebih.

“Kalau mau, nanti ikut panen di sawah saya,” ujar Pak Hadi menawarkan pekerjaan.

Wijaya tampak terkejut. “Saya boleh?”

“Kalau mau kerja, kenapa tidak.”

Wijaya mengangguk cepat. “Terima kasih, Pak.”

Pak Wiryo memperhatikan semua itu dalam diam. Pria asing yang semula ia ragukan, perlahan menunjukkan itikad yang tak bisa dipungkiri.

Siang hari, Lia mengantar makan ke sawah. Ia duduk di gubuk kecil, menggelar daun pisang. Wijaya datang dengan langkah lelah, namun matanya berbinar melihat Lia.

“Kamu capek?” tanya Lia.

Wijaya mengangguk jujur. “Capek sekali. Tapi… entah kenapa rasanya menyenangkan.”

Lia tersenyum tipis. “Sawah memang begitu. Melelahkan, tapi jujur.”

Wijaya menatap hamparan padi. “Aku merasa… hidupku baru dimulai di sini.”

Lia merasa jantungnya berdetak lebih cepat ketika Wijaya mengatakan itu. Dia tidak bisa menatap Wijaya, takut Wijaya melihat perasaan yang dia coba sembunyikan.

Wijaya duduk di sebelah Lia, mengambil semangkuk nasi dan lauk pauk yang Lia bawa. "Terima kasih, Lia. Kamu membuatku merasa seperti di rumah."

Lia tersenyum, masih menunduk. "Sama-sama, Wijaya. Makanlah, kamu harus kuat untuk bekerja."

Wijaya memakan nasi dan lauk pauk, menikmati rasa yang lezat. Dia memandang Lia, yang masih menunduk, dan merasa hatinya bergetar.

"Aku merasa aku bisa melakukan apa saja di sini, Lia," kata Wijaya, suaranya lembut. "Aku merasa aku bisa menjadi diri sendiri."

.

Sore hari, saat mereka pulang, seorang anak kecil berlari mendekati Wijaya.

“Om!” teriaknya. “Bantuin aku ambil layangan!”

Wijaya terkejut, lalu tertawa kecil. “Layangan?”

“Iya! Nyangkut di pohon.” anak itu menunjuk ke atas pohon rindang.

Tanpa ragu, Wijaya memanjat pohon kecil itu. Anak-anak bersorak saat layangan berhasil diambil. Tawa mereka menggema, menarik perhatian orang-orang dewasa.

“Orang kota tapi mau main sama bocah,” bisik seseorang.

“Kelihatannya baik.”

Lia berdiri agak jauh, menatap pemandangan itu. Untuk pertama kalinya sejak Wijaya datang, ia melihat desa tersenyum padanya.

Malam tiba dengan tenang. Setelah makan, Lia duduk di teras, menatap langit bertabur bintang. Wijaya ikut duduk, menjaga jarak sopan.

“Kamu terlihat lelah,” ucap Lia.

“Kamu juga,” balas Wijaya.

Mereka terdiam. Sunyi yang nyaman.

“Lia,” kata Wijaya akhirnya, suaranya rendah. “Terima kasih sudah memberiku tempat.”

“Kamu juga sudah berusaha,” jawab Lia.

Wijaya menatap tangannya sendiri. “Kadang aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut ingat siapa diriku yang dulu. Takut ternyata aku bukan orang baik.”

Lia menoleh. “Siapa pun kamu dulu, yang aku lihat sekarang… kamu orang baik.”

Wijaya tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku ingin jadi orang baik yang pantas tinggal di sini.”

Jantung Lia berdetak lebih cepat. Kata-kata itu sederhana, namun sarat makna.

Dari dalam rumah, Ibu Surti memperhatikan mereka melalui celah pintu. Ia tak berkata apa-apa, tapi hatinya tahu—ada sesuatu yang mulai tumbuh.

Pak Wiryo mendekat dan berdiri di ambang pintu. “Besok ada kerja bakti di balai desa. Kamu ikut,” katanya pada Wijaya.

Wijaya mengangguk. “Saya ikut, Pak.”

Malam itu, sebelum tidur, Lia berbaring dengan mata terbuka. Bayangan Wijaya, senyumnya, dan caranya berusaha menyesuaikan diri terus berputar di pikirannya.

Ia sadar satu hal yang membuat dadanya sesak.

Ia mulai peduli.

Dan di desa kecil yang perlahan menerima seorang pria tanpa masa lalu, cinta mulai tumbuh diam-diam—tanpa disadari, tanpa rencana, namun tak terelakkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!