NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 4: Kegigihan Tanpa Meridian

Tiga minggu berlalu sejak malam di mana Liang Chen gagal menembus dinding meridiannya. Waktu seolah berjalan lebih lambat di Desa Hijau, tapi di dalam dirinya, sesuatu terus mendidih tanpa henti.

Sejak saat itu, ia berhenti duduk bersila menatap langit. Ia berhenti berharap pada Energi Samawi yang tidak mau menyentuhnya. Kini setiap pagi, sebelum ayam pertama berkokok, tubuhnya sudah basah oleh keringat di bawah kabut lembah.

Ia memanggul batu besar di pundaknya, menapaki lereng bukit dengan kaki telanjang. Udara pagi menusuk kulit, namun langkahnya tidak berhenti. Ia berlari naik dan turun, napasnya berat, tetapi matanya tidak kehilangan cahaya tekad.

Ketika kabut menipis dan sinar matahari pertama menyentuh tanah, Liang Chen sudah berdiri di tengah lapangan dengan Pedang Tumpul di tangan. Ia mengayunkan pedang itu berulang kali, gerakannya kaku namun kuat, membelah udara pagi yang lembap.

Setiap ayunan terdengar seperti desahan napas bumi. Tangannya lecet, kulitnya robek di beberapa tempat, tapi ia tidak berhenti. Setiap rasa sakit ia sambut dengan tenang.

Dalam pikirannya, rasa nyeri bukan musuh, melainkan pengingat bahwa tubuhnya masih hidup, masih bisa diperkuat. Jika ia tidak bisa menyerap kekuatan langit, maka ia akan menaklukkan kekuatan bumi.

Peluh mengalir di punggungnya seperti aliran air di batu. Nafasnya memburu, dadanya naik turun, tetapi di setiap hentakan, ada irama yang lahir dari amarah yang terarah. Ia tidak lagi membenci dunia, hanya menolak tunduk padanya.

Saat malam tiba, ia masih di bengkel, mengasah bilah pedang yang tak pernah tajam itu. Api tungku menyala redup, cahayanya menari di wajah muda yang penuh goresan luka. Ayahnya datang, membawa semangkuk nasi dan air.

“Kau latihan lagi, Chen’er?”

“Jika aku berhenti, aku akan menjadi lemah.”

Ayahnya meletakkan mangkuk di meja. “Tubuh manusia punya batas.”

“Kalau begitu, aku akan mencari tahu di mana batas itu.”

Ayahnya diam, menatap anaknya lama. Dalam mata anak itu, ia melihat sesuatu yang dulu hanya dimiliki para pejuang di medan perang, kehendak untuk terus berdiri meski dunia menginjaknya.

Ia tahu kata-kata tidak akan menghentikan Liang Chen, maka ia hanya berkata pelan, “Jika kau ingin menjadi kuat, jangan hanya memukul dan berlari. Belajarlah untuk bertahan.”

Sejak malam itu, latihan Liang Chen berubah. Ayahnya mengajarkan gerakan bertarung jarak dekat: kuncian, lemparan, dan cara menangkis dengan tubuh sendiri.

Mereka berlatih di halaman rumah, kadang hingga bintang-bintang menghilang di langit timur. Setiap kali Liang Chen terjatuh, ayahnya berkata dengan suara datar, “Bangkitlah, pedang tidak takut jatuh. Ia hanya takut berkarat.”

Kata-kata itu menancap dalam hatinya. Dalam waktu tiga minggu, tubuh Liang Chen berubah. Otot-otot yang dulunya tipis kini mengeras, langkahnya mantap seperti tanah lembah.

Meskipun ia tetap tidak bisa merasakan Energi Samawi, tubuhnya mulai memancarkan daya tahan yang berbeda, kekuatan fana yang lahir dari kerja keras. Ia belajar menahan rasa sakit, menatap langit tanpa meminta belas kasihan.

Namun, di luar batas desa, bahaya juga sedang mendekat. Di balik hutan utara, seorang pria berwajah tirus melangkah perlahan di antara pepohonan. Ia mengenakan jubah hitam dengan lambang naga berdarah di dadanya.

Matanya tajam dan gerakannya hampir tanpa suara. Ia adalah pengintai Sekte Raja Naga Berdarah, seorang kultivator yang telah mencapai tahap akhir Pembukaan Meridian. Ia menutup matanya sejenak, membiarkan napasnya menyatu dengan angin.

Udara di sekitarnya bergetar. Di dalam kesunyian, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa, jejak samar energi yang berbeda dari Energi Samawi. Panas, seperti bara api yang tertanam dalam tanah.

Ia berjalan mengikuti arah getaran itu, hingga tiba di sebuah titik di mana rumput terbakar ringan, bekas dari malam di mana Liang Chen hampir tersentuh Warisan Asura. Pengintai itu berjongkok, menyentuh tanah, lalu tersenyum tipis.

“Jadi, legenda itu benar,” gumamnya. Ia berdiri, menatap ke arah lembah di mana Desa Hijau berada. “Ada sesuatu yang terpendam di sana.”

Ia mengeluarkan batu giok hitam kecil dan berbicara pada pantulan di permukaannya. “Lapor pada Sekte. Ada residu energi pembantaian. Target harus diselidiki lebih lanjut.” Batu itu bergetar, mengeluarkan cahaya merah samar, lalu redup. Pria itu berbalik dan menghilang di antara pepohonan, meninggalkan udara yang dingin dan gelap.

Sementara itu, di desa, Liang Chen terus berlatih tanpa tahu langit sedang memperhatikan. Hari-harinya dipenuhi suara palu, desiran pedang, dan dengus napas berat.

Ibunya sering berdiri di depan pintu, memandang anaknya dengan campuran bangga dan takut. “Suamiku,” katanya suatu malam, “anak itu melatih dirinya seperti orang yang dikejar maut. Aku takut tubuhnya akan hancur sebelum semangatnya.”

Ayahnya tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Liang Chen dari kejauhan. “Ia memikul beban yang seharusnya tidak ditanggung anak seumurannya. Tapi aku tahu,

aku tidak bisa menghentikannya. Dunia yang akan datang tidak lagi mengenal anak-anak. Jika ia ingin bertahan, biarlah ia menempanya sendiri.”

Malam itu, di halaman rumah, ayah dan anak berlatih lagi. Liang Chen sudah tidak jatuh sebanyak dulu, dan tangkisan-tangkisannya semakin kuat. Ketika latihan berakhir, ayahnya menatapnya lama.

“Tubuhmu keras seperti baja murni. Tapi ingat, pedang baja pun bisa patah bila tidak punya hati yang lembut. Kau harus belajar kapan menahan, bukan hanya menyerang.”

Liang Chen mengangguk. “Aku akan mengingatnya.”

Namun di dalam hati, ia tahu dirinya tidak lagi sama. Setiap hari, rasa lapar akan kekuatan semakin besar, menggigit pikirannya seperti bayangan yang tumbuh di bawah matahari.

Beberapa hari kemudian, ia kembali ke bukit tempat ia pernah mencoba membuka meridian. Angin berembus lembut membawa bau daun dan embun. Ia duduk bersila, memejamkan mata, mencoba lagi seperti dulu.

Ia menarik napas, membayangkan benang-benang Energi Samawi turun dari langit. Namun hasilnya sama: tidak ada yang datang. Hanya kesunyian, hanya penolakan.

Frustrasi menyesakkan dadanya. Ia menggenggam tanah di bawahnya, kukunya menancap di lumpur. “Mengapa?” bisiknya. “Mengapa langit menolak aku?”

Dan di tengah keheningan, suara itu datang lagi. Suara halus yang tidak berasal dari luar, tapi dari dalam darahnya sendiri. Karena kekuatan sejati tidak menatap ke atas. Ia tumbuh dari bawah, dari darah dan kehancuran.

Liang Chen membuka mata, napasnya terputus-putus. “Siapa kau?” Tidak ada jawaban, hanya rasa panas samar di dadanya. Ia menutup matanya lagi, mencoba menyingkirkan suara itu.

Tapi bisikan itu menempel seperti bayangan. Mengapa kau memohon pada langit yang tuli? Dunia tidak diatur oleh belas kasih. Dunia diatur oleh mereka yang berani menciptakan kehancuran untuk kelahiran kembali.

Ia mengguncang kepalanya, berdiri dengan mata terbakar. “Tidak. Aku tidak akan menjadi iblis. Aku hanya ingin melindungi.”

Suara itu menghilang, tapi udara di sekeliling terasa lebih berat. Ia tahu apa pun itu, telah menanam benihnya.

Sore itu, kabar buruk datang lagi. Preman yang dulu menghina Liang Chen kembali, kali ini membawa dua pengikut dan sebuah pil hitam yang berkilau lembap. Mereka berjalan ke tengah desa, dikelilingi oleh tatapan ketakutan penduduk.

“Kami datang bukan untuk menagih,” kata pemimpin mereka sambil tersenyum licik, “tapi untuk menawarkan kesempatan. Sekte Raja Naga Berdarah berbaik hati pada orang yang tahu posisi mereka.”

Ia mengangkat pil itu tinggi. “Ini Pil Panjang Umur Rendah. Dengan ini, bahkan orang biasa bisa merasakan Energi Samawi mengalir. Sekte kami butuh pion yang patuh, dan desa ini cocok. Serahkan tenaga, hasil panen, dan kesetiaan, maka kalian tidak akan disentuh.”

Kepala desa menunduk dalam. “Kami tidak ingin terlibat urusan sekte besar. Kami hanya ingin hidup tenang.”

Tawa keras menggema. “Ketenangan? Di dunia ini tidak ada ketenangan tanpa darah.”

Liang Chen yang sejak tadi berdiri di pinggir langkah ke depan. “Pergilah dari sini. Kami tidak butuh racunmu.”

Pemimpin preman memiringkan kepala.

“Kau lagi. Anak petani tanpa meridian. Kau bahkan tidak bisa mencium bau Energi Samawi, tapi berani menolak berkat sekte besar?” Ia melempar pil itu ke tanah, tepat di depan kaki Liang Chen.

“Kau tidak tahu apa yang kau tolak. Sekte kami punya kultivator Inti Berputar. Satu napas mereka bisa memusnahkan desa ini.”

Liang Chen tidak mengerti sepenuhnya, tapi kata “memusnahkan” cukup untuk mengguncang udara di sekeliling. Ia menggenggam pedang tumpulnya, menatap tajam. “Biarpun begitu, aku tidak akan tunduk.”

Preman itu tertawa pelan. “Kalau begitu, bersiaplah. Sekte akan datang, dan kau akan menyesali keberanianmu.” Mereka pergi, meninggalkan debu dan ketakutan yang tebal.

Malam itu, seluruh desa berkumpul di aula kecil dekat sungai. Wajah-wajah penuh kecemasan menyala di bawah lampu minyak. Kepala desa berbicara dengan suara bergetar, “Kita mungkin tidak punya kekuatan untuk melawan, tapi kita punya martabat. Apa yang akan kita lakukan?”

Ayah Liang Chen berdiri. “Kita sudah hidup di tanah ini sejak leluhur kita. Kalau dunia ingin merampasnya, biarlah ia tahu bahwa bahkan tanah pun punya gigi.”

Beberapa penduduk menunduk, yang lain menatap dengan mata berair. Tak seorang pun mengucapkan kata “menyerah.” Ketakutan mereka kini berubah menjadi sesuatu yang lain, keteguhan sederhana yang lahir dari keputusasaan.

Setelah pertemuan bubar, keluarga Liang Chen duduk di beranda rumah. Angin malam bertiup lembut, membawa suara jangkrik dari sawah. Ibunya memegang tangan Liang Chen.

“Anakku, apa pun yang terjadi, jangan biarkan hatimu hilang.”

Liang Chen menatap rembulan di langit. “Aku tidak tahu apakah hatiku masih utuh, Ibu. Tapi aku akan memastikan tidak ada yang menyentuh kalian.”

Ayahnya bangkit, berjalan ke bengkel, menyalakan tungku, lalu mulai mengasah sabit dan pacul tua. Besi itu tidak akan berguna melawan kultivator, tapi suaranya, suara logam yang bergesekan dengan batu, membangunkan keberanian dalam hati mereka. Suara itu bergema sepanjang malam, seperti doa fana yang menantang surga.

Dari kejauhan, hutan berdesir. Di balik pepohonan, mata-mata sekte sudah mengamati desa kecil itu, menunggu perintah berikutnya.

Dan di bawah rembulan yang pucat, Desa Hijau tampak rapuh, bagai setetes embun di ujung daun. Setiap cahaya yang lahir darinya bergetar di antara dua nasib, hidup atau hancur.

Langit yang tinggi tetap diam. Takdir, bagai Kaisar yang tak berperasaan, telah mulai menggerakkan bidaknya. Dan di tengah ketenangan yang menipu, di jantung anak muda yang terus menolak menyerah, api kecil terus tumbuh, menunggu badai darah yang akan membangunkan Dewa Pedang Asura.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!