Setelah terpeleset di kamar mandi, Han Sia, gadis modern abad 25, terbangun di tubuh Permaisuri Han Sunyi tokoh tragis dari novel yang dulu ia ejek sebagai “permaisuri paling bodoh”.
Kini terjebak di dunia kerajaan kuno, Han Sia harus berpura-pura sebagai permaisuri yang baru sadar dari koma, sambil mencari cara untuk bertahan hidup di istana penuh intrik dan penghianatan. Namun alih-alih pasrah pada nasib, ia justru bertekad mengubah sejarah. Dengan kecerdasan modern dan lidah tajamnya, Han Sia siap membalikkan kisah lama dari permaisuri lemah menjadi wanita paling berkuasa dan akan membuat mereka semua menyesal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Tiga bayangan mungil berlari-lari di lorong belakang dengan napas memburu.
“Yuyu, Yuyi cepat! Kalau ketahuan pengawal dapur kita bisa dihukum cambuk!” bisik Nuan panik.
“Aku juga tahu! Jawab yuyu
" Tapi kenapa sih permaisuri tiba-tiba mau masak? Itu kan… hal yang nggak masuk akal!” desis Yuyi sambil sesekali menengok ke belakang.
Sementara di depan mereka, seorang wanita bergaun putih berjalan santai tanpa rasa takut sedikit pun. Rambutnya yang panjang terurai, matanya berkilau tajam namun lembut. Di bawah cahaya lentera, wajah itu tak lagi tampak lemah seperti dulu. Kini yang terlihat adalah seorang wanita dengan aura baru tenang, percaya diri, tapi juga sedikit berbahaya.
Han Sunyi.
“Cepat! Aku sudah tidak sabar mencium aroma wajan panas dan minyak goreng!” seru Han Sunyi bersemangat, membuat ketiga dayang hampir pingsan karena ngeri mendengarnya.
Begitu mereka tiba di dapur istana, ruangan itu sunyi. Para koki kerajaan sudah lama tidak bekerja di kediaman Phoenix karena di tarik oleh ibu suri semenjak Han Sunyi tidak sadarkan diri.
Han Sunyi masuk tanpa ragu, menarik lengan bajunya ke atas, dan mulai menyalakan kembali tungku dengan gesit.
“Yang mulia… Anda benar-benar mau masak sendiri?” tanya Yuyi lirih, masih tak percaya dengan pemandangan yang dilihatnya.
“Kalau bukan aku yang masak, siapa lagi? Kalian kira aku mau makan racun amis yang kalian sebut makanan itu?” balas Han Sunyi dengan nada santai. Ia mengambil wajan, menepuk-nepuknya, lalu mengangguk puas. “Ah, besi padat, bagus. Kalau wajan ini dilempar ke kepala orang yang menyebalkan, pasti langsung pingsan.”
Ketiga dayang saling pandang ngeri."Sepertinya permaisuri mereka bukan hanya berubah, tapi juga sedikit… gila?" batin mereka
Namun sebelum mereka sempat protes, Han Sunyi mulai bergerak lincah. Ia menyalakan api, menyiapkan bahan-bahan dengan kecepatan yang membuat mulut para dayang terbuka.
Ia memotong bawang, mengiris daging, menumbuk bumbu, dan menumis semuanya dengan irama cepat. Setiap gerakan tangannya terlihat terlatih, seperti seseorang yang sudah terbiasa hidup mandiri.
Suara “cesss!” dari minyak panas memenuhi udara. Aroma harum yang belum pernah tercium di dapur istana tiba-tiba menyebar memenuhi ruangan. Campuran aroma bawang putih, kecap, jahe, dan sedikit gula membuat perut siapa pun bergemuruh.
Nuan menelan ludah keras-keras.
Yuyi menutup hidung tapi matanya berbinar.
Yuyu bahkan hampir menangis. “Wanginya… astaga… seperti makanan dewa!”
Han Sunyi tertawa kecil. “Nah, baru sekarang kalian tahu apa itu masakan manusia. Masakan yang dibuat dengan hati, bukan cuma dengan tangan.”
Ia menyiapkan tiga piring, menuangkan daging tumisnya yang berkilau kecokelatan, lalu menatap ketiga dayang yang masih berdiri kaku seperti patung.
“Kenapa bengong? Duduk. Makan.”
“Y-yang mulia! Mana boleh kami makan satu meja dengan permaisuri?” seru Nuan panik.
“Siapa bilang aku permaisuri sekarang?” jawab Han Sunyi santai sambil mengambil sumpit. “Mulai detik ini, di hadapanku kita semua sama. Kalau aku bilang duduk, ya duduk!”
Nada suaranya lembut tapi tegas, dan entah kenapa ketiganya langsung menurut. Mereka duduk dengan gemetar, lalu mulai menyentuh makanan di depan mereka.
Suapan pertama.
Hening.
Suapan kedua.
Air mata mulai menetes.
“Yang… yang mulia…” Yuyu tercekat. “Ini… ini terlalu enak!”
“Benar… rasa bumbunya meresap, dagingnya lembut… padahal cuma dimasak sebentar…” Nuan menutup mulutnya tak percaya.
“Rasanya seperti… seperti pelukan Ibu yang sudah lama hilang…” Yuyi menatap Han Sunyi dengan mata berair.
Han Sunyi tersenyum lembut, kali ini bukan dengan senyum licik, tapi tulus. “Lihat? Makanan itu bukan soal bahan, tapi soal hati yang memasaknya. Kalian harus belajar itu kalau nanti hidup di luar istana.”
Tiga dayang itu menatapnya dengan campuran kagum dan haru. Mereka tidak pernah melihat permaisuri yang seperti ini hangat, jenaka, dan manusiawi.
Setelah makan, Han Sunyi menghela napas puas. “Haa… akhirnya aku bisa makan enak setelah sekian lama.”
Ia berdiri, menepuk tangan, lalu berkata dengan suara rendah namun mantap, “Mulai malam ini, kita mulai hidup baru. Aku tidak mau lagi menjadi permaisuri yang hanya duduk menunggu belas kasihan.”
“Yang mulia…” bisik Nuan. “Anda benar-benar akan melawan mereka?”
Han Sunyi menatap bara tungku yang masih menyala, matanya berkilau dingin. “Aku tidak perlu melawan dengan pedang. Aku akan melawan dengan otakku. Tapi sebelum itu… kita harus kuat.”
...****************...
Keesokan paginya ayam pun belum berkokok tapi Sudah terjadi kehebohan.
Ketika suara brakkk! terdengar dari taman belakang Paviliun. Ketiga dayang yang masih mengantuk langsung bangun dengan wajah panik.
“Yuyu, Yuyi! Ada maling?!” tanya nuan kaget
“Mana mungkin maling berani masuk ke Paviliun Permaisuri!” sahut Yuyi sambil menguap.
Begitu mereka keluar, pemandangan di depan mereka langsung membuat mereka ternganga.
Han Sunyi, dengan pakaian latihan sederhana warna biru gelap, sedang memegang sebatang tongkat kayu. Tubuhnya lentur, gerakannya cepat dan kuat. Setiap ayunan tongkatnya meninggalkan suara tajam di udara. Rambutnya yang terurai sebatas pinggang berkilau di bawah cahaya bulan terakhir.
“Yang mulia… Anda—Anda bisa bela diri?!” seru Nuan hampir berteriak.
Han Sunyi berhenti, memutar tongkat di tangan dengan gerakan indah, lalu menatap mereka sambil tersenyum menggoda. “Bisa sedikit. Di tempat asalku dulu, kalau nggak bisa bela diri, bisa mati diserang maling.”
Ketiganya masih belum paham maksudnya, tapi Han Sunyi menepuk tangan, “Baik, mulai sekarang giliran kalian.”
“Giliran… kami?”
“Untuk apa?”
“Jangan bilang…”
“Latihan!” potong Han Sunyi cepat. “Kalian bilang mau ikut aku hidup di luar, kan? Dunia luar itu tidak seindah taman istana. Kalian bisa diserang, dicuri, bahkan dikhianati. Karena itu, kita harus bisa menjaga diri!”
Yuyu langsung pucat. “Tapi hamba… hamba cuma bisa menjahit…”
“Dan aku cuma bisa menyeduh teh!” tambah Nuan.
Han Sunyi menghela napas panjang, lalu menatap mereka satu per satu. “Mulai hari ini, kalian tidak hanya jadi dayang. Kalian akan jadi pengawal perempuan Han Sunyi!”
Ketiganya bengong.
“Sekarang pegang tongkat itu. Ayo cepat!” seru Han Sunyi sambil menunjuk beberapa batang bambu di sudut taman.
Dengan gemetar, mereka mengambilnya.
Latihan pun dimulai.
Pada lima menit pertama, Nuan sudah terjatuh karena terpeleset tanah basah. Yuyi nyaris memukul kepalanya sendiri. Sedangkan Yuyu… entah bagaimana, tongkatnya malah patah dua.
Han Sunyi hanya bisa menggeleng sambil menahan tawa. “Astaga… tiga makhluk ini bahkan belum bisa berdiri tegak, bagaimana mau bertarung?”
Namun bukannya marah, ia justru mendekat dan memperbaiki posisi tangan mereka. “Pegang seperti ini. Beratnya bukan di ujung, tapi di tengah. Rasakan aliran tenaga kalian, bukan cuma angin.”
Mendengar suaranya yang lembut namun tegas, ketiganya mencoba lagi. Sedikit demi sedikit, gerakan mereka mulai terbentuk. Meski masih canggung, ada semangat baru di mata mereka.
“Bagus! Begitu terus!” seru Han Sunyi sambil tersenyum puas. Dan latihan itu pun berjalan terus hingga matahari hampir menunjukkan cahayanya.
Bersambung