HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Perjuangan Awal
Bab 12: Perjuangan Awal
Hari pertama Dewanga berjualan.
Pukul lima pagi, ia sudah bangun. Menggoreng tahu, tempe, pisang, ubi—semuanya sudah disiapkan sejak tengah malam. Aroma gorengan hangat memenuhi kamar kecilnya.
Rini datang membantu. "Dewa, yang pisangnya jangan terlalu tebal tepungnya. Nanti orang gak suka."
"Iya, Bu."
Pukul enam pagi, Dewanga mendorong gerobaknya menuju perempatan jalan dekat pasar—tempat yang ramai dilalui orang-orang berangkat kerja.
Ia memasang terpal plastik, menyusun gorengan di atas nampan, menyalakan kompor gas kecil untuk menghangatkan minyak.
Lalu ia berdiri di samping gerobak, menunggu pembeli pertama.
***
Satu jam berlalu. Tidak ada yang datang.
Orang-orang lewat, tapi tidak ada yang berhenti. Mereka melirik sebentar, lalu terus berjalan.
Dewanga mulai gelisah. "Kok sepi ya..."
Ia mencoba tersenyum pada orang yang lewat. "Gorengan, Bu! Masih anget!"
Tapi ibu-ibu itu hanya menggeleng, terus berjalan.
Dua jam berlalu. Masih sepi.
Dewanga menatap gorengannya yang mulai dingin. Hatinya mulai cemas.
"Jangan panik. Ini hari pertama. Wajar kalau sepi," bisiknya menenangkan diri sendiri.
***
Pukul sembilan pagi, akhirnya ada pembeli pertama.
Seorang bapak-bapak paruh baya berhenti, melirik gorengan. "Tahu berapa?"
"Lima ratus satu, Pak."
"Tempe?"
"Lima ratus juga."
Bapak itu mengangguk. "Ambil tiga tahu, dua tempe."
Dewanga langsung tersenyum lebar. "Siap, Pak!"
Ia membungkus gorengan dengan hati-hati, menyerahkannya dengan tangan sedikit gemetar. "Ini, Pak. Terima kasih ya!"
Bapak itu menyerahkan uang lima ribu, lalu pergi.
Dewanga menatap uang lima ribu itu dengan mata berbinar.
"Pembeli pertama..." bisiknya, hampir menangis. "Alhamdulillah..."
***
Tapi setelah itu, sepi lagi.
Sampai siang, Dewanga hanya laku sepuluh ribu. Sementara modal bahan baku yang ia habiskan hari itu hampir tiga puluh ribu.
*Rugi dua puluh ribu di hari pertama.*
Dewanga pulang dengan langkah gontai. Gerobaknya masih penuh gorengan sisa yang tidak laku.
Rini melihat wajah anaknya yang lesu. "Gimana, Dewa?"
"Sepi, Bu. Cuma laku sepuluh ribu."
Rini memeluk anaknya. "Gak papa, Nak. Ini baru hari pertama. Nanti juga ada yang beli."
"Tapi Bu... kalau terus kayak gini, modal dari Agung bakal habis..."
"Sabar, Dewa. Usaha itu gak langsung berhasil. Butuh waktu."
Dewanga mengangguk lemah. Tapi di dalam hatinya, ketakutan mulai tumbuh.
*Bagaimana kalau aku gagal lagi?*
***
Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda.
Hari kedua—laku lima belas ribu.
Hari ketiga—laku dua puluh ribu.
Hari keempat—laku sepuluh ribu lagi.
Dewanga mulai putus asa. Setiap malam ia menghitung uang—semakin lama semakin menipis.
Minggu pertama: rugi seratus ribu.
Minggu kedua: rugi delapan puluh ribu.
"Apa aku salah pilih tempat? Apa gorengan aku gak enak? Apa harga aku kemahalan?" Dewanga terus bertanya pada diri sendiri.
Suatu malam, Imam datang mengunjungi. "Dewa, gimana usahanya?"
Dewanga tersenyum pahit. "Sepi, Man. Rugi terus."
"Udah coba promosi?"
"Promosi gimana? Gue gak punya uang buat bikin spanduk atau apa."
Imam berpikir sebentar. "Coba deh lo kasih sample gratis. Biar orang tau rasanya. Kalau enak, pasti balik lagi."
Dewanga menatap Imam. "Sample gratis? Tapi modal gue udah menipis..."
"Coba aja dulu. Investasi jangka panjang."
***
Keesokan harinya, Dewanga mencoba saran Imam.
Ia membawa nampan kecil berisi potongan gorengan gratis, menawarkannya pada orang yang lewat.
"Bapak, Ibu, mau coba gorengan gratis? Cobain aja dulu!"
Awalnya orang-orang ragu. Tapi perlahan, ada yang mencoba.
"Eh, lumayan enak juga."
"Bumbu tahunya kerasa."
"Pisangnya renyah."
Dan mulai ada yang beli.
Hari itu, Dewanga laku tiga puluh ribu. Masih rugi, tapi... ada peningkatan.
***
Minggu ketiga, Dewanga mulai menambah variasi—pisang cokelat, tahu isi, tempe mendoan.
Perlahan, pelanggan mulai bertambah.
Ada ibu-ibu yang rutin beli setiap pagi.
Ada bapak-bapak yang beli untuk sarapan sebelum kerja.
Ada anak sekolahan yang beli untuk jajan.
Minggu keempat: laku lima puluh ribu sehari.
Minggu kelima: laku tujuh puluh ribu.
Dewanga mulai bisa tersenyum lagi.
***
Dua bulan kemudian, usaha Dewanga mulai stabil.
Ia bisa laku rata-rata seratus ribu per hari. Setelah dipotong modal bahan baku dan biaya operasional, ia untung sekitar lima ratus ribu per bulan.
Tidak banyak. Tapi cukup untuk bertahan.
Ia mulai bisa menyisihkan uang untuk membayar utang pada Agung—sedikit demi sedikit.
Suatu sore, Ibu Ratna—seorang pelanggan setia yang baik hati—datang membeli seperti biasa.
"Mas Dewa, gorengannya enak lho. Aku udah cerita ke temen-temenku. Nanti mereka mau coba."
Dewanga tersenyum lega. "Terima kasih banyak, Bu. Bu Ratna pelanggan setia saya."
Ibu Ratna tersenyum hangat. "Mas, semangat ya. Rezeki gak akan kemana. Yang penting usaha dan doa."
Kata-kata itu menghangatkan hati Dewanga.
***
Malam itu, Dewanga duduk di samping gerobaknya yang sudah ditutup. Menghitung uang hasil jualan hari itu—seratus lima puluh ribu.
Ia tersenyum kecil.
"Alhamdulillah... pelan-pelan... tapi ada kemajuan."
Ia menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar terang.
"Ayah, Dewa mulai bisa bangkit. Pelan-pelan. Semoga Ayah bangga."
Angin malam berhembus sejuk.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Dewanga merasa... ada harapan.
**[Bab 12 Selesai - Bersambung]**