Hidup tak berkecukupan, memaksakan Alana mengubur impiannya untuk berkuliah. Dia akhirnya ikut bekerja dengan sang ibu, menjadi asisten rumah tangga di sebuah rumah cukup mewah dekat dari rumahnya. Namun masalah bertubi-tubi datang dan mengancam kehidupan dirinya dan sang ibu. Dengan terpaksa dirinya menerima tawaran yang mengubah kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Widia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan Pahit
"Jadi, kau putri dari pembantu itu. Dengan keangkuhanmu itu, kupikir kau bukan orang miskin!"
Alana merasa tersudut, apalagi mendengar sindiran yang di lontarkan Bara padanya. Pria itu terus mendekati gadis yang telah membuatnya tergila-gila sejak awal pertemuannya di pabrik miliknya. Sebagai karyawan baru saat itu, gadis yang baru saja lulus SMA nampak sangat indah dan menggoda di mata pria mata keranjang itu.
"Setidaknya aku terhormat karena tak terkena rayuan pria mata keranjang seperti anda!"
Caci maki Alana sama sekali tak berpengaruh bagi Bara. Pria paruh baya yang masih memiliki tubuh kekar itu, terus saja mendesak gadis cantik di hadapannya. Sengaja darinya gadis itu tersudut, agar Alana tak bisa lari darinya.
"Aku akan teriak, dan nyonya pasti akan segera masuk memergoki kelakuan buruk anda," ancam gadis yang kini berada di kungkungan Bara.
"Gadis miskin sepertimu yang sok jual mahal, tapi tidak tahu diri bahkan tak melihat bagaimana kelakuan ibu kandungmu sendiri," balas Bara dengan cacian, menyeret Ira untuk menggertak gadis itu.
Alana seketika terdiam, entah apa yang dibicarakan Bara mengenai ibunya. Kelakuan apa yang selama ini Alana tahu tentang sang ibu.
"Pa, aku harus ke kantor sebentar. Boleh pinjam mobil papa?"
Suara Aravind membuat Bara melepaskan Alana. Gadis itu merasa bersyukur, bisa terlepas dari kungkungan pria yang bahkan lebih pantas menjadi ayahnya. Seketika tubuhnya lemas, dirinya terduduk di sudut ruang dapur sembari menutup wajahnya. Menutupi tangisan, rasa takut, dan juga penghinaan yang dia rasakan saat diintimidasi oleh majikannya.
"Aku tak mungkin menunjukan wajah seperti ini pada ibu. Tapi kelakuan ibu seperti apa yang di bicarakan pria tua itu?"
Alana bangkit, merapikan rambut dan pakaiannya. Gadis itu pun segera mengambil air di wastafel, membersihkan wajahnya agar tak terlihat kusut di hadapan sang ibu.
"Kenapa aku harus tergiur uang yang tak seberapa itu dan menukarnya dengan kehidupan yang bisa saja Damai. Semuanya tak harus soal uang kan."
Alana terus menyesali keputusannya, namun dia belum bisa mencari pekerjaan lain tanpa uang pegangan. Walau ibunya menyebalkan, rasa sayangnya lebih besar di banding rasa kesal.
Sementara itu, Bara memberikan dua kunci mobil pada putra kesayangannya. Aravind hanya tersenyum, karena meminjam mobil hanya alasan baginya agar sang ayah melepaskan pembantu baru itu.
"Sepertinya aku tidak jadi pinjam mobil papa. Klien tiba-tiba membatalkan pertemuan, dia bilang ada urusan mendadak," ucap Aravind tanpa merasa bersalah telah menipu sang ayah.
Bara yang tak menyadarinya, hanya mengangguk saja. Pikirannya masih saja tertuju pada gadis itu, Alana yang sangat dia inginkan.
"Pa, apa gadis itu akan menggantikan Bi Marni sementara? Memangnya Bi Marni tak akan kembali bekerja di sini?" Tanya Aravind memancing sang ayah membicarakan Alana.
"Marni bilang dia akan menikah, sementara papa tidak tahu soal gadis itu. Persoalan ART itu urusan mama," jawab Bara cari aman, tak ingin jika putranya mencurigai kelakuan dirinya.
"Aku sangat menyayangkan gadis secantik dia, harus menjadi pembantu di rumah ini. Apalagi supir pribadi kita, Pak Joko itu dia pria mata keranjang. Jangan sampai gadis itu menjadi korban atas ulahnya, setelah kejadian beberapa tahun lalu."
Bara kembali mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Supirnya berbuat ulah terhadap pembantu baru yang masih berusia 15 tahun. Namun, pria tua itu tak bisa berbuat apapun. Karena Joko telah menyimpan kartunya selama bertahun-tahun.
•••
Alana mulai membeli beberapa formulir kelengkapan melamar kerja. Dirinya berencana mencari pekerjaan lain, setelah menerima upahnya sebagai pembantu di rumah Yuniar.
Namun, ada satu hal juga yang harus di ketahui gadis itu. Kelakuan ibunya yang sempat di bicarakan Bara.
"Kamu mau cari kerja yang lain sekarang?" Tanya Ira yang melihat anaknya sibuk merapikan beberapa formulir.
"Enggak bu, nanti saja kalau aku sudah dapat upah. Sekarang aku gak punya uang pegangan, buat ongkos ataupun makan. Aku juga gak mau berhutang. Setidaknya, kerja di rumah Bu Yuniar bisa bawa pulang sisa makanan di sana. Kita gak perlu keluar uang buat makan dan ongkos," jawab Alana yang mendapat anggukan dari ibunya.
Mereka berdua pun keluar dari rumah kontrakan yang hanya terdapat satu kamar tidur dan ruang tamu, juga dapur kecil dan juga kamar mandi sempit. Keduanya hidup dalam kesulitan setelah kehilangan ayah dan suami yang begitu sayang dan bertanggung jawab. Kehancuran hati Alana dan juga sang ibu membuat hubungan antara ibu dan anak itu sedikit renggang, seolah ada jarak. Terkadang canggung, namun masih saling menyayangi meski ada sedikit pertengkaran kecil.
"Bu Joko, manusia itu kadang tidak tahu diri. Padahal miskin, tapi sukanya embat punya orang. Apa memang rata-rata yang seperti itu maling?"
Terdengar teriakan sindiran setiap kali Alana dan ibunya melewati warung Bu Saidah. Apalagi Bu Heni, yang selalu memeberikan tatapan sinis dan juga cibiran pada keduanya.
Sementara Bu Joko hanya diam, tak bergeming dan memilih beberapa sayuran di warung Bu Saidah.
"Kenapa mereka kaya gitu sih Bu, tiap kita lewat pasti kata-katanya tak jauh dari maling, rebut, atau hal-hal yang seolah kita ini sudah mencuri," kesal Alana yang semakin tak bisa menahan emosinya atas cibiran para tetangga.
Sementara Ira hanya diam, tak merespon apapun perkataan sang anak. Pandangannya kosong, menatap jauh seolah memikirkan hal yang begitu mendalam.
Mereka akhirnya sampai di rumah Bara Pradipta, orang terkaya di kampung tersebut. Yuniar seperti biasa tengah duduk santai menikmati sarapan roti panggang dan selai kacang buatannya, juga secangkir teh hijau tawar sambil menatap bunga-bunga di halaman depan.
"Selamat pagi nyonya," sapa Ira dan Alana pada wanita paruh baya itu.
"Ya, selamat pagi. Suami dan putraku sudah berangkat kerja, kamu Alana seperti biasa bersihkan kamar Aravind lanjut cuci piring. Dan Bi Ira, seperti biasa pel rumah dan juga memasak untuk makan malam."
Kedua wanita itu pun mulai bekerja, melakukan tugas yang sudah di arahkan oleh sang majikan. Alana bernafas lega, karena Bara sudah pergi ke perusahaannya. Kejadian kemarin membuat gadis itu yakin, jika mencari pekerjaan baru lebih baik di banding bekerja di sini.
Tak terasa, hari semakin siang. Yuniar pergi ke luar mencari makan siang di restoran langganannya. Sementara Ira dan Alana memasak mie instan yang mereka beli dari uang makan yang di beri sang majikan.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekati mereka. Alana merasa gusar, takut jika orang yang di takutkan menghampirinya yang sedang menyantap mie dengan sang ibu.
"Ra, ke gudang belakang. Cari barang kata tuan," suara seorang pria memanggil ibunya. Pak Joko, supir pribadi tuan Bara terlihat berkacak pinggang.
"Ibu ke gudang dulu ya."
Alana mengangguk pelan, bernafas lega karena itu bukanlah pria yang dia takutkan.
Namun naas, ternyata Bara sedang berjalan menghampirinya. Merebut mangkok mie yang tengah di santap dan memintanya ikut ke suatu tempat.
"Tidak, jangan karena nyonya tidak rumah anda bisa seenaknya. Saya tak akan mau menurut kecuali itu pekerjaan."
Alana terus menolak, namun genggaman tangan pria tua itu begitu kuat.
"Aku hanya memintamu untuk melihat satu hal. Belum waktunya untukku menyentuhmu, gadis liar."
Bara menarik tangan gadis itu, membawanya ke gudang belakang. Nampak pintu yang sedikit terbuka, membuat Alana melihat kenyataan pahit yang selama ini dia tak pernah sangka.