Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Paku di Dermaga Lama
Jalan menuju Dermaga Lama sepi. Matahari baru saja naik, cahayanya menyelinap di balik gedung-gedung tua dan ruko yang berlapis cat kusam. Angin asin dari laut membawa aroma garam bercampur amis.
Amara melajukan motornya pelan ketika mendekati lokasi, memarkirkannya dekat dengan mobil Inafis, ambulans, serta dua mobil polisi berlogo Reserse Narkoba yang berjejer berdekatan. Garis polisi kuning tampak dari kejauhan membentang mengelilingi TKP.
Suasana di lokasi cukup ramai. Warga sekitar berkerumun di luar garis polisi, berbisik-bisik dengan wajah penasaran.
Amara turun, menunjukkan kartu identitasnya pada seorang Petugas jaga lalu, melangkah masuk. Jaket hitamnya menempel pada tubuh, menyembunyikan pistol kecil di saku dalam.
Seorang petugas berseragam hitam-hitam memasang kamera di tripod, mengambil foto dari berbagai sudut mayat. Lampu blitz kamera mereka menyala dengan cahaya putih yang menyilaukan.
“Korban laki-laki, usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuh kurus...” suara salah satu petugas forensik terdengar, cukup jelas untuk didengar Amara. Tangannya bersarung lateks putih, bergerak cekatan memeriksa tubuh yang terbujur.
Terlihat mayat dengan kaos lusuh warna abu-abu, celana jeans yang pudar, dan sepatu kanvas yang sobek di bagian ujung. Di tangannya, masih ada bekas suntikan dengan kulit yang membiru. Sisa-sisa busa putih mengering di sudut bibirnya.
“Overdosis?” tanya seorang polisi bernama Raditya berpangkat IPDA, dengan suara yang datar. Tubuhnya tegap, kulitnya gelap, rahangnya tegas, dan nada bicaranya penuh kewaspadaan. Sorot matanya tajam mengamati setiap detail.
Petugas forensik menoleh sebentar. “Kemungkinan besar. Ada jarum suntik di saku jaket korban, masih ada sisa cairan. Tapi kita tunggu hasil toksikologi, bisa saja ada campuran zat lain.”
Amara mengamati dari kejauhan. Tampak plastik kecil berisi serbuk putih yang sama dengan yang ia temukan di club malam itu. Ada juga sendok stainless kecil yang gosong di bagian bawah, serta korek api gas. Semua itu diletakkan rapi di atas plastik transparan, difoto satu per satu.
“Perhatikan luka di pergelangan tangan. Banyak bekas tusukan lama. Pemakai berat,” ujar forensik lagi, nada suaranya lebih pelan, seakan hanya ingin menegaskan pada dirinya sendiri.
Raditya mengangguk, lalu menoleh ke arah anggota yang berdiri di sampingnya. “Cari tahu siapa identitasnya. Cek saku, dompet, atau KTP.”
Seorang polisi beperawakan lebih kecil maju, merogoh saku celana korban dengan hati-hati. Ia menemukan dompet kulit cokelat lusuh, lalu menyerahkannya. Raditya membukanya perlahan. Di dalamnya ada beberapa lembar uang kertas yang kusut, kartu ATM, dan sebuah KTP.
“Nama… Dimas Ardiansyah. Usia tiga puluh lima. Alamat… dekat kawasan terminal kota.” Ia membacanya lantang, membuat beberapa anggota lain ikut mencatat.
“Panggil keluarganya nanti untuk konfirmasi,” lanjutnya.
“Sekarang kita fokus pastikan penyebab kematian. Saya tidak ingin ada yang terlewat. Kasus seperti ini sering ditutup cepat, padahal bisa jadi ada hal lain.” Kemudian ia tersadar, IPTU Amara sedari tadi memerhatikan penyelidikan mereka.
“Amara, sudah saya tunggu dari tadi, " sembari mendekati Amara, dan memberikan sepasang sarung tangan lateks berwarna putih.
"Bagaimana kejadiannya?" Amara bertanya datar, sembari memakai sarung tangan itu.
"Ah iya...Korban ditemukan sekitar pukul lima pagi oleh seorang nelayan yang lewat. Dugaan awal overdosis. Tapi ada yang ganjil..” Raditya terdiam sejenak.
“Apa?” Amara menatapnya, matanya tajam.
Raditya menunjuk barang bukti yang ia temukan. “Barang bukti ini terlalu… rapi. Jarum, plastik, korek api tidak natural bagi pemakai yang sakau.”
Amara jongkok, memperhatikan detail. Ia melihat bekas gesekan di aspal, seolah tubuh korban pernah diseret beberapa meter sebelum diletakkan di tempatnya sekarang. Ia juga mencium samar wangi parfum mahal yang justru sangat kontras dengan keadaan korban.
“Dia tidak mati di sini,” gumam Amara pelan.
Raditya mengangguk. “Kami pikir begitu juga."
Amara berdiri kembali, matanya menyapu sekeliling TKP. Beberapa papan kayu lapuk di sisi dermaga menimbulkan suara berderit setiap kali angin laut menerpa. Air asin memercik ke dinding semen yang retak-retak, meninggalkan noda putih berlapis.
Seorang polisi datang berlari, mendekati Amara dan Raditya. "Lapor pak, kami menemukan motor dekat jalan setapak di belakang Dermaga. Kemungkinan besar adalah milik korban."
Mereka segera menuju tempat yang dimaksud.
"Ada bekas ban motor yang berhenti mendadak, meninggalkan jejak goresan panjang di aspal yang bercampur dengan pasir laut. Raditya mengarahkan senter kecil ke arah jejak itu, lalu mengangguk kecil.
“Sepertinya dia mencoba mengendalikan motor, tapi bannya pecah, lalu berhenti paksa,” ucap Raditya.
Motor itu terlihat tua, catnya pudar, dan ban depannya kempis dengan paku yang masih menancap di karet. Amara jongkok, memperhatikan paku itu. Matanya menyipit.
"Paku.. lagi?" Gumam Amara.
Amara meraba pelan permukaan paku yang menancap di ban, lalu menatap Raditya. “Ini dipasang dengan sengaja. Lihat ujungnya, masih tajam, tidak berkarat. Baru dipakai.”
Raditya ikut jongkok, matanya menyipit. “Bukan kebetulan berarti. Korban diarahkan untuk berhenti di sini.”
“Lokasi ban pecah ini terlalu dekat dengan jalur setapak. Kalau dia berhenti mendadak di jalan besar, pasti banyak yang lihat. Di sini lebih tersembunyi.” Raditya melanjutkan.
Amara mengangguk. “Pelaku pintar memilih tempat. Tempat ini cukup sepi, dan kalau korban terjatuh mudah untuk diseret ke TKP.”
Raditya berdiri, lalu menyapu pandangannya ke arah sekitar. “Coba cek semak-semak di pinggir jalan. Kalau tubuh korban diseret, mungkin ada jejak lain.”
Beberapa anggota segera bergerak. Tak lama, salah satu dari mereka berseru, “Pak! Ada kain robek, sepertinya dari pakaian korban!” Ia mengangkat potongan kecil kain abu-abu yang tersangkut di ranting dengan sarung tangan lateksnya.
Raditya menatap kain itu, lalu mengingat kaos korban yang lusuh abu-abu. “Cocok. Berarti korban memang dijatuhkan di sini."
"Diseret?" Amara melanjutkan.
"Bisa jadi, pelaku kemudian memindahkannya. Kalau benar ini pembunuhan, ini pasti sudah direncanakan. Tidak ada sidik jari, jebakan.. terlalu rapi!" Raditya melanjutkan sambil melihat sekeliling TKP.
Amara masih menunduk lalu, menelusuri jejak gesekan motor yang berhenti tepat di dekat garis polisi. Ia lalu melangkah beberapa meter ke sisi kiri, menemukan noda cairan kecokelatan yang sudah mengering. Ia mengusapnya, lalu mencium cepat.
“Bukan darah. Ini seperti bekas minuman beralkohol,” katanya.
Raditya mendekat, mengamati noda itu. “Korban pemakai narkoba, sekaligus peminum? Atau ini ditumpahkan seseorang?”
Seorang anggota Inafis memotret bekas noda itu dari dekat. “Kita bawa sampelnya untuk uji lab.”
Petugas Inafis lain datang membawa plastik bukti tambahan. “Kami juga menemukan puntung rokok di dekat motor, masih baru. Ada bekas lipstik di ujungnya.”
Raditya menatap Amara. “Lipstik? Jadi ada perempuan di TKP?”
Amara mengambil puntung itu dengan hati-hati. Bekas lipstik merah terang masih jelas terlihat.
"Potongan-potongan bukti ini menjelaskan kematian korban bukan OD lagi, Amara. Ini... pembunuhan berencana!" lanjut Raditya dengan keyakinan.
Pikiran Amara merambat pada potongan ingatan operasi hitam.
"Apa ini pelaku yang sama?" Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri.
Seorang polisi yang sedari tadi mencatat laporan bertanya, “Izin Bu, apakah ini berarti kasus narkoba biasa atau pembunuhan berencana?”
Amara menatapnya sebentar. “Belum bisa dipastikan. Tapi jika benar, maka pelaku ingin kita percaya bahwa korban mati karena OD.”
Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara kamera yang masih memotret TKP. Angin laut semakin kencang, membawa aroma asin bercampur besi karat.
Raditya lalu berkata pelan, “Kita harus bicara dengan saksi nelayan. Dia orang pertama yang melihat jasad di dermaga. Mungkin ada detail kecil yang kita lewatkan.”
Amara mengangguk. “Yah, saya juga ingin tahu jam berapa persis dia datang, dari arah mana, dan apakah dia melihat seseorang pergi dari sini.”
Ia menatap lagi ban motor dengan paku yang menancap rapi.
“Karena saya yakin… ini bukan cuma jebakan biasa.”
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....