Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#04
"Buatlah hati Nyonya Nisa bahagia, Pak. Hanya ini cara satu-satunya yang bisa saya sarankan untuk pak Afi lakukan."
Ucapan itu terus saja terdengar di telinga Afi. Terus mengulang tanpa lelah seperti rekaman yang terus di putar. Afi merasa serba salah sekarang. Sepanjang perjalanan menuju kamar sang mama, Afi terus memikirkan kata-kata yang dokter tersebut ucapkan.
Terus melangkah, saat tatapan mata Afi melihat Nindi, langkah kaku itu langsung terhenti. "Anindia. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Kita bicara di-- "
"Kak. Mama ingin bicara dengan kakak. Sekarang," ucap Hana yang tiba-tiba muncul.
Afi pun tidak kuasa untuk menolak. Dia alihkan pandangannya dari Nindi, lalu beranjak meninggalkan wanita tersebut tanpa sepatah kata. Hana melirik Nindi dengan lirikan mengejek. Hatinya bahagia. Karena dia yakin, sebentar saja lagi, kakak ipar yang tidak ingin ia akui itu akan pergi dari keluarga mereka.
Sementara itu, Nindi hanya bisa menahan rasa perih yang masih tertinggal di hatinya. Terlalu berat cobaan rumah tangga yang dia hadapi. Tidak direstui oleh orang tua dari pasangan itu terlalu menyakitkan ternyata.
'Ya Allah. Hanya satu yang ku minta sekarang. Tolong keluarkan aku dari belenggu rumit rumah tangga yang sedang aku hadapi. Terlalu berat untuk bertahan. Hatiku sudah tidak kuat lagi,' ucap Nindi dalam hati sambil menahan isak tangis agar tidak pecah.
Di kamar Nisa, Afi yang baru datang langsung mengambil posisi duduk di samping ranjang sang mama. Dia raih tangan tua milik Nisa dengan lembut.
"Mama."
"Hanafi. Mama ingin bicara."
"Apa, Ma? Katakan saja apa yang ingin mama katakan. Aku akan mendengarkannya."
"Mama ingin minta kamu buat jagain Hana. Jika mama tiada kelak, tolong, jangan sia-siakan adikmu. Jangan tinggalkan dia."
Mata Afi langsung membulat seketika. Hana yang ada di sisi lain sang mama langsung menangis. "Mama. Kenapa mama bicara seperti itu, Ma? Jangan tinggalkan aku, Ma. Jangan. Aku belum siap, Ma. Aku belum sanggup." Hana berucap sambil menangis.
Desi yang ada di samping Hana langsung membelai lembut punggung si gadis. "Sabar, Han. Sabar."
"Ma. Kenapa bicara seperti itu? Mama masih muda. Mama masih berumur panjang. Mama tidak ingin melihat anak perempuan satu-satunya mama menikah? Jadi, tolong jangan bicara seperti itu lagi. Semangat lah untuk sembuh, Ma. Mama harus kuat, mama harus bertahan."
"Desi. Mama sangat menyayangi kamu, sama seperti mama menyayangi anak kandung mama sendiri. Mama tidak ingin kamu pergi dari keluarga mama. Mama ingin terus menjaga kamu sebagai menantu mama. Tapi, takdir berkata lain, Des. Anak mama yang telah menjadi suami kamu malah meninggalkan dunia ini lebih awal. Lebih cepat dari mama yang telah melahirkannya. Harusnya, bukan Ali yang pergi duluan meninggalkan dunia ini. Melainkan, mama lah yang harus pergi. Tapi sekarang, mama rasa, tidak lama lagi, mama juga akan pergi. Mama juga akan menyusul anak pertama mama."
Nisa bicara panjang lebar dengan wajah penuh kesedihan. Afi yang melihat hal tersebut tidak lagi sanggup untuk bertahan. Afi terlihat berkaca-kaca sekarang.
"Jangan bicara sembarangan lagi, Ma. Tolong hentikan," ucap Afi pelan. "Mama akan baik-baik saja. Mama akan sembuh. Mama harus tetap bersama dengan kami."
"Afi. Mama tahu kalian inginkan mama tetap bertahan. Tapi mama sungguh tidak sanggup untuk tetap tinggal. Mama sudah ... sudah putus asa, Fi. Sudah putus asa."
"Apa yang membuat mama putus asa, Ma? Jika itu soal wasiat yang kak Ali tinggalkan, maka aku akan lakukan sesuai yang mama inginkan."
Mata Nisa langsung berbinar karena terlalu bahagia. Namun, wanita tua ini terlalu pintar dalam bersandiwara. Meskipun ucapan Afi barusan sangat membahagiakan hatinya. Tapi, dia tetap menahan diri untuk memperlihatkan kebahagiaannya itu.
"Tidak perlu, Fi. Mama tidak ingin merusak rumah tangga kamu dengan istrimu. Mama sudah cukup berdebat dengan istrimu sebelumnya. Jadi, mama tidak ingin berdebat lagi. Mama tidak ingin membuat hati istrimu terluka."
Tentu saja itu bohong. Sama sekali tidak benar apa yang Nisa ucapkan. Niatnya bicara begitu hanya agar Afi semakin ada di pihaknya. Sungguh luar biasa bukan pemikiran orang tua satu ini. Mungkin, ini orang tua terlalu banyak nonton drama. Jadinya, dia jadi terlalu pintar dalam bersandiwara.
Lalu malangnya, anak keduanya ini terlalu tidak peka. Terlalu polos sampai tidak bisa melihat kepura-puraan yang mamanya perlihatkan.
"Mama. Aku ... pasti akan membujuk Nindi untuk setuju. Aku pasti akan melakukan wasiat yang kak Ali tinggalkan. Mama tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja, Ma. Semuanya pasti berjalan sesuai dengan yang mama inginkan."
"Afi."
"Mama jangan banyak pikiran. Aku akan urus semuanya."
"Sekarang, mama beristirahatlah. Aku akan keluar untuk bicara dengan Nindi. Mama jangan berpikir yang berat-berat, Ma. Aku pasti akan melakukan wasiat itu seperti yang mama katakan."
Nisa dengan wajah penuh rasa bersalah menatap anak tengahnya. Tangannya lembut memegang tangan Afi seolah dia benar-benar enggan untuk berpisah dari anak keduanya itu.
"Afi. Maafkan mama. Mama tidak bermaksud untuk menghancurkan rumah tangga kamu, Nak."
"Tidak perlu minta maaf, Ma. Kenyataannya, wasiat itu memang tanggung jawab yang kak Ali berikan padaku. Aku memang sudah seharusnya melakukan wasiat itu dengan baik."
Bahagia bukan kepalang hati Nisa mendengar penuturan dari anak tengahnya ini. Sampai-sampai, terlalu sulit untuk Nisa bisa menyembunyikan wajah bahagianya dari Afi. Tapi tetap saja, Afi tidak akan berpikir yang berlebihan tetang mamanya. Maklum, yang ada dalam pikiran Afi, wanita yang melahirkannya ini tentu saja sangat tulus padanya.
Afi meninggalkan kamar si mama. Menuju kamar tidur miliknya dengan berat hati. Sementara di kamar yang ia tinggalkan, senyum bahagia Nisa tidak lagi bisa di bendung.
"Mama. Mama ... tertawa?" Hana dengan wajah bingung melihat ke arah Nisa. Tatapan tak percaya dia perlihatkan dengan jelas.
"Iya. Aku tertawa. Lalu kenapa?"
"Mama ... tidak sakit?"
"Jangan banyak tanya. Pertanyaan mu tidak perlu aku jawab."
"Ma. Jangan lakukan hal itu. Kami benar-benar takut, tau gak sih?"
"Jika aku tidak melakukan hal ini, maka wasiat Ali tidak akan pernah bisa Afi jalankan."
"Aku baik-baik saja, Ma. Walau wasiat itu tidak Afi lakukan. Aku dan Lena tetaplah bagian dari keluarga ini. Kami tetap keluarga mama."
"Iya ... tapi jika tidak menikah, maka kami tidak akan bisa menjaga kalian dengan baik, Desi. Mama hanya ingin kamu tetap menjadi menantu mama. Kamu masih muda, tidak menutup kemungkinan, suatu hari nanti, akan ada lelaki yang datang untuk melamar kamu. Mana kamu cantik, pintar, dan serba baik lagi. Pasti banyak laki-laki yang akan tergoda padamu, Nak."
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.