NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:501
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4: Kartu-kartu Jatuh

 Setelah kehancuran Richard Sterling, Raka dan Eva tidak berlama-lama di Los Angeles. Udara California yang hangat kini terasa mencekik, dipenuhi aroma keputusasaan yang menguar dari reruntuhan reputasi Sterling. Eva berdiri di balkon hotel mewah yang menghadap ke Pacific Coast Highway, matanya memandang lautan dengan ekspresi yang sulit dibaca—sebuah campuran kepuasan dan perhitungan dingin.

"Washington D.C. adalah target kita selanjutnya," Eva mengumumkan dengan suara yang mengalir seperti madu beracun saat mereka berjalan keluar dari kafe di Santa Monica. Sinar matahari sore memantul dari rambutnya yang gelap, menciptakan ilusi bahwa ia bercahaya dari dalam. "Pusat saraf dari kekuasaan mereka. Jika Sterling adalah virus lokal, maka Senator William Thorne adalah salah satu organ vital yang perlu diinfeksi."

Raka mengangguk, namun pertanyaan praktis mengganggu pikirannya. Seumur hidupnya, ia tak pernah memiliki harta benda selain gitar tua dan pakaian lusuh. Bagaimana mereka akan melintasi benua? Bagaimana mereka akan beroperasi di jantung kekuasaan Amerika tanpa identitas, tanpa jejak resmi?

Eva berhenti berjalan dan berbalik menghadapnya, seolah dapat membaca setiap keraguan yang berkecamuk di benak Raka. Senyum tipis muncul di bibirnya—bukan senyum kebaikan, melainkan senyum seorang dalang yang melihat wayang mulai menari sesuai kehendaknya.

"Jangan khawatirkan logistik," katanya, mengulurkan sebuah kartu ATM hitam matte tanpa logo bank dan sebuah smartphone titanium yang terasa lebih dingin dari es. "Bumi menyediakan segala yang dibutuhkan senjatanya. Sistem mereka memiliki celah-celah yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memahami aliran energi sejati planet ini."

Raka mengambil kedua benda itu dengan hati-hati. Kartu ATM itu bukan hanya dingin—ia memancarkan getaran elektromagnetik yang aneh, seolah terhubung langsung ke jalur data finansial global. Saat Raka memusatkan indera barunya pada kartu tersebut, ia dapat merasakan aliran informasi yang mengalir seperti sungai tak berujung: nomor rekening yang berubah setiap detik, identitas digital yang berganti-ganti secara otomatis, akses ke mata uang kripto yang tidak tercatat di blockchain mana pun.

Smartphone itu bahkan lebih menakjubkan. Layarnya menampilkan antarmuka yang tidak pernah Raka lihat sebelumnya—peta digital dunia dengan jalur-jalur cahaya yang menghubungkan setiap server, setiap satelit, setiap kamera keamanan. Perangkat ini bukan sekadar smartphone; ia adalah kunci akses ke nervous system digital planet Bumi.

"Bagaimana ini mungkin?" bisik Raka, jari-jarinya menelusuri permukaan perangkat yang terasa hidup.

Eva melangkah lebih dekat, suaranya turun menjadi bisikan yang hampir erotis. "Uang, identitas, sistem keamanan—semua itu adalah ilusi yang diciptakan manusia untuk mengontrol satu sama lain. Tapi ketika kau memahami bahwa planet ini memiliki kehendak sendiri, bahwa setiap elektron yang mengalir melalui kabel fiber optik adalah bagian dari kesadaran yang lebih besar..." Ia menjeda, matanya berkilat dengan sesuatu yang menyerupai kegilaan yang terkendali. "Maka kau bisa memanipulasi ilusi itu sesuka hati."

Eva menunjukkan caranya dengan gerakan yang hampir hipnotis. Jari-jarinya menari di atas tablet kristal yang ia keluarkan dari tas kulit yang tampak jauh lebih tua dari peradaban manusia. Layar tablet itu menampilkan aliran data real-time dari seluruh dunia—bursa saham, jadwal penerbangan, database pemerintah, sistem perbankan. Dengan sentuhan ringan, Eva mengakses aplikasi pemesanan tiket pesawat yang tiba-tiba menampilkan opsi yang tidak seharusnya ada: penerbangan jet pribadi tanpa registrasi, dengan identitas pilot dan co-pilot yang terdaftar sempurna dalam sistem namun tidak pernah ada dalam kenyataan.

"Lihat," Eva berbisik, menunjuk ke layar. "Jet ini akan menunggumu di hangar pribadi LAX dalam dua jam. Pilot dan kru telah 'dipesan' oleh perusahaan shell yang akan otomatis menghilang dari catatan setelah penerbangan selesai. Tidak ada jejak, tidak ada pertanyaan."

Raka mengamati dengan takjub bagaimana Eva mengatur segalanya. Sebuah BMW hitam muncul di lokasi terpencil dalam hitungan menit, kuncinya terletak di tempat yang tepat seperti yang Eva prediksi. Hotel mewah tiba-tiba memiliki reservasi atas nama yang tidak pernah ia buat. Eva beroperasi seperti seorang konduktor orkestra yang tak terlihat, mengatur simfoni logistik dengan efisiensi yang menakutkan.

"Kau bukan manusia," Raka menyatakan, bukan bertanya.

Eva tersenyum lebih lebar. "Tidak. Tetapi aku juga bukan musuh manusia. Aku adalah... kehendak koreksi. Bumi membutuhkan pembersihan, dan kau adalah instrumentnya." Ia menjeda, menatap Raka dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka bergetar. "Manusia telah mengembangkan sistem yang terlalu rumit untuk kehancuran mereka sendiri. Mereka membutuhkan bantuan."

---

Perjalanan ke Washington D.C. dengan jet pribadi memberikan Raka waktu untuk merenungkan transformasinya. Di ketinggian 40,000 kaki, terbang di atas awan yang terlihat seperti hamparan salju tanpa ujung, ia merasakan kedamaian aneh yang belum pernah ia alami. Namun kedamaian itu bukan ketenangan jiwa—melainkan ketenangan predator yang mengetahui mangsanya sudah terjerat.

Eva duduk di seberangnya, mata tertutup namun tidak tidur. Sesekali bibir-bibirnya bergerak seperti sedang bergumam mantra dalam bahasa yang tidak Raka kenali. Aura di sekitarnya berfluktuasi, kadang terasa manusiawi, kadang terasa seperti kekuatan alam yang primitif dan mengerikan.

Raka memanfaatkan penerbangan untuk mempelajari target barunya: Senator William Thorne. Data mengalir langsung ke otaknya melalui smartphone Eva, informasi yang difilter dan dikurasi dengan presisi bedah. Thorne adalah masterpiece kemunafikan politik modern—sosok karismatik yang membangun seluruh kariernya di atas fondasi kebohongan yang sangat canggih.

Di permukaan, Thorne adalah pahlawan lingkungan, pembela minoritas, dan suara moral di tengah Washington yang korup. Pidato-pidatonya tentang perubahan iklim mendapat standing ovation. Program-program sosialnya mendapat pujian dari NGO internasional. Media mainstream memujanya sebagai "Suara Hati Nurani Amerika."

Namun data yang Eva berikan menceritakan kisah yang jauh lebih gelap. Thorne menerima sumbangan miliaran dollar dari kartel energi fosil melalui jaringan shell company yang sangat rumit. Ia menggunakan retorika perlindungan lingkungan untuk menyamarkan agenda yang sebenarnya: monopoli pasar energi hijau oleh perusahaan-perusahaan yang ia miliki secara diam-diam. Setiap undang-undang "ramah lingkungan" yang ia dukung dirancang untuk menghancurkan kompetitor kecil dan memperkuat posisinya.

Yang lebih mengerikan, Thorne membangun seluruh citranya di atas penderitaan orang-orang yang ia klaim bela. Ia secara sengaja memperburuk krisis di daerah-daerah minoritas, kemudian muncul sebagai "penyelamat" dengan solusi yang menguntungkan kepentingan bisnis terselubungnya. Ratusan ribu orang hidup dalam kemiskinan energi karena kebijakan-kebijakannya, sementara ia memperkaya diri dengan menjual naratif kepahlawanan palsu.

"Dia adalah virus yang paling berbahaya," Eva berbisik tanpa membuka mata. "Virus yang menyamar sebagai obat. Para manusia bodoh itu tidak hanya memujanya—mereka percaya bahwa dia adalah harapan mereka."

Raka mengangguk, merasakan amarah dingin mengalir dalam nadinya. "Bagaimana kita menghancurkannya?"

Eva akhirnya membuka mata, dan untuk sesaat Raka melihat sesuatu yang menyerupai kepuasan primitif di dalamnya. "Dengan cara yang paling menyakitkan bagi egonya. Kita akan menggunakan sistem kepercayaan yang ia bangun untuk menghancurkannya dari dalam."

---

Washington D.C. memiliki aura yang berbeda dari Los Angeles atau Jakarta. Jika Los Angeles dipenuhi ambisi yang neurotik dan Jakarta tercekik oleh keputusasaan, maka D.C. bergetar dengan energi kekuasaan murni—kekuasaan yang telah mengakar begitu dalam hingga mengubah udara itu sendiri. Setiap bangunan, setiap jalan, setiap patung memancarkan arogansi yang sudah berusia berabad-abad.

Raka dapat merasakan jaringan komunikasi yang mengalir di bawah kota seperti sistem peredaran darah raksasa: sinyal telepon terenkripsi, transfer data rahasia, percakapan yang dapat mengubah nasib jutaan orang. Semua informasi itu mengalir melalui infrastruktur yang dapat ia manipulasi, berkat akses yang Eva berikan.

Mereka menginap di sebuah hotel boutique di Georgetown yang ternyata memiliki jalur komunikasi langsung ke berbagai gedung pemerintahan. Eva tidak menjelaskan bagaimana ia tahu detail ini, dan Raka tidak bertanya. Ia mulai memahami bahwa Eva beroperasi dengan tingkat perencanaan yang melampaui perhitungan manusia normal.

Rencana untuk menghancurkan Thorne jauh lebih rumit daripada yang mereka lakukan pada Sterling. Thorne memiliki jaringan PR yang sangat kuat, loyalitas buta dari jutaan pengikut, dan sistem keamanan informasi yang canggih. Namun justru itulah kelemahannya—semakin tinggi ia terbang, semakin menyakitkan kejatuhannya.

Raka mulai dengan infiltrasi halus. Ia tidak langsung meretas sistem utama Thorne, melainkan menginfeksi sistem-sistem peripheral yang terhubung dengannya: aplikasi ride-sharing yang digunakan stafnya, sistem WiFi hotel tempat Thorne sering menginap, bahkan smart TV di rumah-rumah donatur kunci Thorne. Setiap perangkat menjadi mata dan telinga Raka.

Langkah pertama adalah menciptakan "kebetulan" yang mencurigakan. Raka memanipulasi algoritma media sosial untuk membuat pola donasi Thorne terlihat anomali dalam analisis big data jurnalis investigatif. Ia tidak mengubah angka—itu terlalu kasar. Sebaliknya, ia mengubah *timing* dan *clustering* donasi sehingga tercipta pola yang secara statistik mencurigakan.

Dalam seminggu, seorang jurnalis data dari *Washington Post* mulai menggali lebih dalam. Raka membantu dengan memberikan "bocoran" berupa metadata yang menunjukkan korelasi aneh antara jadwal pertemuan Thorne dengan fluktuasi saham perusahaan energi. Sekali lagi, tidak ada yang definitif—hanya cukup untuk menanamkan benih keraguan.

Langkah kedua lebih personal. Raka memanipulasi sistem GPS pada ponsel beberapa staf kunci Thorne, membuat mereka "secara tidak sengaja" berada di lokasi yang sama dengan eksekutif perusahaan minyak pada waktu yang strategis. Ia juga mengatur agar kamera keamanan di berbagai tempat merekam pertemuan-pertemuan ini dengan sudut yang mencurigakan.

Yang paling brilian adalah manipulasi sistem email lama Thorne. Raka menyisipkan kata kunci dan frase tertentu dalam email-email yang sudah diarsipkan bertahun-tahun lalu, mengubah konteks dengan cara yang sangat halus. Sebuah kalimat "Mari kita bicarakan proposal energi bersih ini minggu depan" menjadi "Mari kita bicarakan *kompensasi* proposal energi bersih ini minggu depan" dengan menambahkan satu kata yang tampak seperti typo alami namun mengubah seluruh makna.

Eva mengamati pekerjaan Raka dengan kepuasan yang hampir maternal. "Kau belajar dengan cepat," komentarnya saat mereka duduk di café yang menghadap Capitol Building. "Ini bukan sekadar sabotase. Ini adalah seni."

"Bagaimana kau tahu semua ini akan berhasil?" tanya Raka.

Eva tersenyum sambil mengaduk kopinya dengan sendok perak. "Karena aku memahami psikologi manusia lebih baik daripada mereka memahami diri mereka sendiri. Thorne telah menghabiskan begitu banyak energi membangun citra sempurnanya hingga ia lupa bahwa fondasi kepercayaan adalah hal yang paling rapuh di dunia ini. Cukup satu retakan kecil..."

Ia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Dalam dua minggu berikutnya, Washington D.C. dilanda serangkaian "kesialan" yang semakin mencurigakan.

---

**Sudut Pandang Senator William Thorne**

Senator William Thorne duduk di kantornya yang mewah pada pukul 2 pagi, menatapi layar laptop dengan mata yang berdarah. Di mejanya berserakan printout artikel, analisis media, dan laporan dari tim krisis PR-nya. Dua minggu terakhir ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak berujung.

Dimulai dengan artikel kecil di blog politik tentang "pola aneh dalam donasi Thorne." Lalu investigasi *Washington Post* tentang korelasi statistik yang mencurigakan. Kemudian foto-foto yang diambil paparazzi yang menunjukkan staffnya "kebetulan" bertemu dengan orang-orang yang salah di tempat yang salah.

Thorne tahu ia tidak melakukan kesalahan. Setiap pertemuan bisnis dicatat dengan teliti. Setiap donasi melalui channel legal yang benar. Setiap email telah discan oleh tim keamanan cyber terbaik. Namun entah bagaimana, seperti ada tangan tak terlihat yang mengatur agar semua "kebetulan" ini terjadi pada waktu yang tepat untuk menghancurkannya.

Yang paling membuatnya frustrasi adalah ketidakmampuannya menemukan dalang di balik semua ini. Tim investigasi pribadinya tidak menemukan jejak peretasan. Tidak ada komunikasi mencurigakan yang terdeteksi. Seperti musuh yang menyerangnya adalah hantu.

"Senator," asisten utamanya, Margaret, memasuki ruangan dengan wajah pucat. "Ada masalah besar. Video dari pidato tadi..."

Thorne mengerutkan dahi. Pidato di hadapan 5,000 pendukung tentang masa depan energi terbarukan berjalan sempurna. Respons crowd luar biasa. Media coverage positif. "Video apa?"

Margaret menyerahkan tablet dengan tangan gemetar. "Proyektor di belakang panggung... entah bagaimana menampilkan klip dari hotel di Karibia. Anda bertemu dengan Victor Kowalski."

Darah Thorne naik ke kepala. Victor Kowalski adalah mafia batubara paling berpengaruh di Amerika Latin. Pertemuan mereka di Karibia tiga tahun lalu adalah rahasia yang terkubur—sebuah negosiasi untuk mengakuisisi tambang batubara secara diam-diam sebelum mengeluarkan undang-undang yang akan membuat harga batubara melambung. Tidak ada yang tahu tentang pertemuan itu kecuali...

"Bagaimana mungkin mereka punya rekaman itu?"

Margaret menggeleng lemah. "Teknisi kami bersumpah tidak ada yang scheduled untuk proyektor tersebut. Sistemnya ter-hacked, tapi tidak ada jejak siapa yang melakukannya. Dan Senator..." Suaranya semakin pelan. "Crowd sudah mulai bereaksi. Video itu viral di media sosial. #ThorneHypocrite trending nomor satu di Twitter."

Thorne merasakan dunianya runtuh. Tiga puluh tahun membangun reputasi, hancur dalam lima detik video. Ia merasakan amarah, kepanikan, dan—untuk pertama kalinya dalam hidup—ketakutan eksistensial yang mendalam.

Ponselnya berdering tanpa henti. CNN, Fox News, MSNBC—semua ingin statement. Kotak emailnya dipenuhi permintaan wawancara dan ancaman hukum dari berbagai environmental group yang merasa dikhianati. Twitter feed-nya dibanjiri cacian dan meme yang merendahkan.

"Sir," Margaret berkata dengan suara bergetar, "tim PR menyarankan agar Anda consider untuk..."

"Untuk apa?"

"Mundur. Sebelum ini semakin buruk."

Thorne menatap refleksinya di jendela gelap kantornya. Pria yang menatap balik bukan lagi Senator William Thorne, pahlawan lingkungan dan suara hati nurani Amerika. Yang ia lihat adalah seorang penipu yang akhirnya tertangkap basah, seorang manipulator yang terlalu lama bermain api.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, William Thorne merasakan apa yang ia sudah bertahun-tahun lakukan pada orang lain: pengkhianatan sistemik, kehancuran identitas, dan keputusasaan eksistensial.

Ia tidak tahu bahwa di suatu tempat di D.C., seorang pemuda bernama Raka sedang menonton kejatuhannya dengan kepuasan dingin, sementara seorang wanita misterius bernama Eva tersenyum dengan kepuasan yang lebih dalam—kepuasan seorang dalang yang melihat wayang menari sempurna sesuai skenario.

---

Keesokan harinya, berita mundurnya Senator Thorne mendominasi seluruh media Amerika. Dalam 24 jam, salah satu politikus paling berpengaruh di negara itu berubah menjadi bahan lelucon dan simbol kemunafikan politik.

Raka mengamati kehancuran itu dari sebuah bangku di National Mall, di antara turis dan pekerja kantor yang sibuk membicarakan skandal terbaru. Di sebelahnya, seorang kakek tua yang tampak bijaksana sedang memberi makan burung-burung dara dengan senyum tulus.

"Indah ya, Nak," kata kakek itu pada Raka, "melihat kehidupan terus berjalan, apa pun yang terjadi di dunia ini. Burung-burung ini tidak peduli dengan politik atau skandal. Mereka hanya tahu bahwa ada kebaikan di dunia ini."

Raka menoleh, matanya yang tajam memindai kakek itu dengan detail yang mengerikan. Ia dapat membaca setiap kerutan sebagai peta kehidupan yang telah dijalani, setiap helaan napas sebagai tanda ketulusan yang langka. Arthur Jenkins, 73 tahun, pensiunan tukang pos yang kehilangan istri karena kanker dua tahun lalu. Sejak itu, Arthur mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan sukarela dan hal-hal kecil yang membuat dunia sedikit lebih baik.

Untuk sesaat, Raka merasakan sesuatu yang asing—bukan kemarahan atau jijik, melainkan kebingungan ontologis. Bagaimana bisa seseorang tetap menemukan keindahan di tengah semua kebobrokan yang ia saksikan setiap hari?

*Suara Bumi* berbisik di benaknya dengan nada yang hampir maternally condescending: "Lihat dia, Raka. Kebaikan yang buta. Kebahagiaan yang dibangun di atas ilusi. Dia memberi makan burung-burung sementara ekosistem planet ini hancur karena ulah spesiesnya. Kebaikannya adalah butiran pasir di tengah badai gurun—mudah diterbangkan, mudah dilupakan. Dia adalah pengecualian yang membuktikan aturan. Kelemahan yang harus dihilangkan agar yang kuat dapat berkembang."

Namun ada sesuatu dalam senyum Arthur yang membuat argumen itu terasa... tidak lengkap. Raka tidak dapat mengartikulasikan apa yang ia rasakan, namun untuk sesaat ia mempertanyakan apakah kebaikan yang sederhana benar-benar adalah kelemahan.

Eva muncul di sampingnya tanpa suara, seolah mengkondensasi dari udara sore yang mulai gelap. "Menarik," komentarnya, mengikuti tatapan Raka pada Arthur. "Kau mulai mempertanyakan."

"Aku tidak—"

"Tenang saja," Eva memotong dengan nada yang hampir playful. "Pertanyaan adalah bagian dari proses. Kau perlu memahami apa yang akan kau hancurkan sebelum kau benar-benar menghancurkannya." Matanya berkilat dengan sesuatu yang menyerupai kebanggaan. "Target berikutnya akan menjawab semua keraguan yang kau rasakan sekarang."

Eva menyeruput kopi dari cangkir yang entah dari mana ia dapatkan. "Tiongkok, Raka. Di sanalah kau akan melihat bahwa kebaikan seperti ini—" ia mengangguk pada Arthur "—adalah luxury yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang tidak memahami kebenaran tentang spesies manusia."

Raka menatap gedung-gedung pemerintahan Washington D.C. yang menjulang di kejauhan, simbol-simbol kekuasaan yang kini telah ia goyahkan. Thorne sudah hancur. Sterling sudah hancur. Kepercayaan publik pada sistem politik Amerika kembali terkikis. Paranoid dan saling curiga mulai menjadi epidemi.

Namun ada sesuatu dalam ketulusan Arthur Jenkins yang membuat kemenangannya terasa... tidak lengkap. Seperti ada piece puzzle yang hilang dalam worldview yang Eva tanamkan padanya.

"Baik," jawab Raka akhirnya, suaranya tak beremosi namun penuh tekad yang sedikit retak. "Mari kita ke Tiongkok."

Ia bangkit, meninggalkan Arthur Jenkins yang masih tersenyum dan burung-burung dara yang tidak berdosa. Namun kali ini, ada sesuatu dalam langkahnya yang sedikit berbeda—sebuah keraguan kecil yang Eva perhatikan dengan kepuasan tersembunyi.

Rencana Eva berjalan sempurna. Raka bukan hanya menjadi senjata penghancur—ia menjadi senjata yang mulai mempertanyakan tujuan penghancurannya. Dan dalam psikologi manipulasi yang Eva kuasai, keraguan adalah langkah pertama menuju kontrol total.

Era pembersihan telah dimulai, dan Arthur Jenkins mungkin adalah kebaikan terakhir yang akan Raka saksikan sebelum ia melangkah terlalu jauh untuk kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!