NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4. Seandainya Ada Papa

Bel sekolah baru saja berbunyi, tanda pelajaran hari ini sudah berakhir. Karin sedang membereskan buku-bukunya saat suara Nia berisik menyerbu kursinya.

“Ayo gue antar pulang.”

Tawarnya pada Karin, yang tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu, bak seorang bodyguard. Saat istirahat siang tadi, Nia melarang Karin berjalan ke kantin, ia dengan sigap menawarkan dirinya membelikan makanan kecil agar Karin tak perlu berjalan jauh ke kantin. Juga saat Karin ijin ditengah pelajaran untuk ke toilet, Nia dengan senang hati mengikuti langkah Karin dan menunggunya tepat di depan pintu toilet, lalu menggandeng tangan Karin sampai kembali ke dalam kelas. Sungguh seperti seorang pengasuh, batin Nia. Antara senang dan geli.

“gue bisa pulang sendiri Nia…”

“Ah gak..gak.. pokoknya gue anterin.”

“Ya ya, udah terserah lu aja.”

Mereka tertawa bersama. Lalu berjalan beriringan menuju halte bus, menyusuri trotoar. Melewati gedung tempat mereka bimbingan belajar mempersiapkan ujian akhir.

Tidak, belum. Saat itu mereka belum memulai program bimbingan belajar ditempat itu. Dalam memory Karina sebelum mengalami kecelakaan, mereka memulai bimbingan belajar satu bulan sebelum ujian, artinya hari itu mereka belum mendaftar program itu.

“Ni, percaya gak, besok kita bakal belajar di Bimbel ini.”

Karin tersenyum menunjuk gedung bimbel yang ada di hadapan mereka, gedung yang berada tepat disamping sekolah mereka, merasa hebat seolah sedang meramal sebuah kejadian.

“Hah? Maksut lu paan?”

“Besok, nyokap gue sama nyokap lu bakal janjian daftarin kita ke bimbel ini.”

“Emang nyokap lu udah ngomong ke lu?”

“Belum sih…”

“Trus lu tau dari mana?”

Nia menyelidik curiga. Sementara Karin hanya tertawa dan melanjutkan langkahnya menuju halte bus diseberang gedung itu. Nia menyusul dibelakang sambil merengek meminta penjelasan. Mereka tiba diujung zebra cross di seberang halte. Seketika tubuh Karina kaku tak bisa bergerak, tangannya bergetar, berkeringat. Wajahnya pucat dan matanya nanar menatap garis hitam putih yang membentang disepanjang lebar jalan.

Ia teringat mimpi buruk itu, kejadian yang mengubah segalanya. Yang menghadirkan kenyatan pahit yang harus ia hadapi saat ini. Kecelakaan itu. Karin menelan ludah, kakinya betul-betul tak bisa ia gerakan. Membuat Nia panik menggoyang goyangkan badan Karin yang sedang memutar ulang rekaman kejadian berdarah dalam ingatanya.

“Ni, jangan nyebrang. Jangan lewat sini. Ayo jalan terus.”

Karin kembali berjalan di trotoar menyusuri jalanan mengarah kea rah rumahnya. Nia berlari kecil mengikuti langkah kaki Karin yang makin cepat dengan kebingungan.

“Rin… Karin, tunggu… lu mau kemana?”

Nia berusaha mengejar dan mensejajarkan langkahnya dengan langkah Karin.

“Lu mau pulang jalan kaki? Gila lu. Bisa pingsan kita nanti. Rumah lu jauh kocak!”

Nia memaki tapi terus mengikuti langkah sahabatnya itu.

“Rin, udah dong capek gue nih.”

Nia menyerah dan berhenti, lalu jongkok dan memanggil Karina yang terus berjalan menjauh memohon belas kasihannya.

“Karina… brenti gak lu…!!”

Karin tersadar, ia berusaha menenangkan diri lalu berhenti melangkah dan berbalik arah menatap Nia yang sudah pasrah terjongkok mengatur nafasnya. Melihatnya berhenti, Nia berdiri dan menghampirinya dengan khawatir.

“Lu kenapa sih Rin? Lu mimpi apa sih kemaren sampai lu jadi aneh gini?”

Karin menatap Nia, ia merasa bersalah membuat sahabatnya itu khawatir. Karin menggeleng. Tidak, dia gak boleh bikin Nia khawatir. Sahabatnya ini terlalu baik untuk mendapat perlakuan yang menyedihkan, sisa hidupnya harus bisa ia gunakan untuk menciptakan memory indah, setidaknya untuk bisa Nia kenang sebelum kehadirannya segera bisa dilupakan oleh orang yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka duduk dibangku SD, sampai SMA selalu satu sekolah.

“Kita naik bis di halte setelah ini aja ya. Kita jalan dulu aja bentar. Sekalian lewat sekolah adek gue.”

Karin berusaha tersenyum agar Nia merasa lega. Nia mengangguk menggandeng tangan Karin berjalan perlahan.

Tidak jauh dari sekolah mereka ada gedung sekolah SMP tempat Dimas bersekolah, meskipun mungkin Dimas sudah pulang dijam itu, tapi Nia setuju untuk berjalan kearah sana. Berharap Dimas masih ada dan mereka bisa pulang bertiga, Nia masih sedikit khawatir jika terjadi sesuatu dijalan, setidaknya ada Dimas bersama mereka.

“Gedebuk….brak…”

Belum juga mereka sampai di gedung sekolah Dimas, mereka mendengar sebuah suara di samping sebuah bangunan kosong yang sudah lama tidak ada yang menempati. Suara seperti sesuatu yang jatuh disusul suara riuh tertawa sekaligus mengerang.

Nia dan Karin saling tatap, lalu mereka melihat sekeliling. Dalam bangunan tua itu terlihat bebrapa bayangan tubuh berbaju putih sedang saling berkerumun.

Hantu? Ah tak mungkin, siang bolong begini, batin Karin yang mulai sangat waspada setelah pertemuannya dengan putri, si hantu cilik.

“Rin, kyaknya ada yang berantem disana!”

“Hah, berantem? Mana?”

“Itu Rin, anak-anak sekolah itu. Pakek seragam!”

Pekik Nia menunjuk kearah anak-anak dengan baju seragam di dalam gedung. Karin melangkah mendekat kearah gedung, dan betul saja. Ia melihat beberapa anak laki-laki yang sedang saling menyerang.

“Tunggu Rin, itu Dimas!”

Nia menghentikan langkah Karina dan menunjukan telunjuknya memberi tanda bahwa ada Dimas disana.

“Karin, lu jangan masuk bahaya. Kita cari bantuan aja!”

Nia menyeret Karin agar menjauh, mencari bantuan. Mereka memanggil seorang bapak pedagang kaki lima dan beberapa orang pembelinya untuk membantu mereka melihat dan melerai Dimas yang entah sedang dipukuli atau justru dia yang sedang menyerang.

“Heh kalian, bubar bubar..!!”

Lerai seorang diantara bapak itu.

“Pulang sekolah bukannya balik malah berantem disini. Bubar!!” sahut bapak yang lain.

Seketika mereka yang menggunakan seragam putih lari kocar kacir meninggalkan seorang anak berseragam biru muda, yang sedang meringkuk melindungi diri dengan tangan menutupi kepalanya, dengan dahi dan bibir yang sudah berdarah menerima serangan tak kurang dari 5 orang anak dari sekolah lain. Ya, Dimas. Itulah Dimas.

Bapak penjual asongan mendekati Dimas, memeriksa apakah anak itu masih selamat dari keroyokan.

“Kamu gak papa nak?”

Dimas menggeleng, merintih kesakitan. Dibantunya Dimas berdiri dan berjalan keluar gedung dengan pincang. Sementara Nia dan Karin menunggu diluar bangunan dengan cemas hingga mereka keluar.

Dimas terkejut, mendapati kakaknya berdiri dihadapanya, menyaksikannya dalam kondisi berantakan dan berdarah. Membuat Dimas justru terlihat marah dan merebut tas ransel dari tangan seorang bapak yang ikut membantunya berjalan. Lalu pergi begitu saja tak menghiraukan Karin yang hampir menangis melihatnya, setelah mengucapkan terimakasih pada orang-orang yang sudah menolongnya.

Tak lupa juga Karin dan Nia mengucapkan terimakasih lalu buru-buru berlari menyusuli adinya yang terus berlari tak mempedulikan Karina yang terengah engah mengejar.

“Dimas brenti!”

Karina berhasil mengejar dan menarik tangan Dimas memaksanya berhenti.

“Lu ngapain bisa sampai dikeroyok gitu? Lu bikin masalah apa sama mereka?!”

“Gak ada yang bikin masalah. Elu tuh yang suka bikin masalah!”

Sahut Dimas penuh emosi.

“Kok gue sih? Yang berantem elu kenapa jadi gue yang bikin masalah.”

Dimas tak menghiraukannya, ia kembali berjalan meninggalkan kakanya.

“Dim, lu kalau balik dalam kondisi gitu bakal bikin mama sedih. Lu mau mama sedih?”

Kata-kata Karin berhasil menghentikan langkah Dimas. Karin tau betul, meskipun Dimas sedikit bandel, dia tidak akan bisa melihat bu Nurma sakit atau sedih. Dan sebandel-bandelnya Dimas, tidak mungkin sampai berbuat seperti yang baru saja ia saksikan jika bukan karena hal yang sangat beralasan. Karina mendekati Dimas, menyentuh pundak adiknya dengan hati-hati.

“Mama udah sakit gara-gara gue Dim, jangan lu ikut nambahin sakitnya mama.”

Bisik Karin lembut. Dimas terdiam, ia mencerna kata-kata kakaknya. Membayangkan jika ibunya harus kembali bersedih atau sakit karena ulah anaknya. Dimas tak sanggup melihat itu.

“Lu kenapa sih bisa ampe dikeroyok gitu? Lu gak nyerang mereka duluan kan?”

Dimas menggeleng. “Mereka ngatain mama janda bohay kak.” Terang Dimas, diikuti suara tawa kecil Karina.

“Kok lu ketawa sih? Lu seneng ya mama digodain?”

“Ya emang mama bohay, Dim. Gimana dong?”

“Gak lucu tau gak!”

“Iya… iya.. Maaf, bukan gitu maksud kakak.”

Mereka kini berjalan beriringan dengan langkah yang lebih tenang.

“Gue gak suka kalau ada yang ngomong gak sopan soal mama.”

“Iya, kakak tau. Kakak juga gak suka. Tapi gak perlu sampai berantem juga kali Dim. Ujung-ujungnya elu juga yang ke’ok kan. Babak belur gitu. Untung kakak sama kak Nia lewat, kalau gak? Udah jadi apa lu ama mereka? Udah jadi bakwan lu, disantap ama mereka”

Karin dan Nia terkekeh sementara Dimas manyun kesal.

“Lagian mereka kenal mama dari mana sih, Dim?”

“Mereka satu SD ama gue. Jadi kenal sama mama”

Karin membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil mengangguk.

“Coba kalau kita masih punya papa, pasti mama gak akan jadi bahan ejekan. Mama juga gak akan susah susah cari duit sendirian buat kita.”

Dimas tertunduk berjalan menatap langkah kakinya sendiri.

“Papa itu kaya apa ya wajahnya? Mama gak pernah kasih liat fotonya. Lu kan waktu papa pergi udah agak gede kak, lu inget gak wajah papa?”

Dimas menatap wajah Karina sekejap.

Deg, langkah Karina terhenti.

“Karina, ini papa” begitu pesan yang Karina terima sebelum ia mengalami kecelakan, di dunianya yang sebelumnya.

Karina menghela nafasnya berat, menatap adiknya yang bingung melihatnya pucat.

Papa…, batinya lirih.

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!