NovelToon NovelToon
Tinta Darah

Tinta Darah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Mengubah sejarah / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:393
Nilai: 5
Nama Author: Permenkapas_

terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pergilah, Nak!

Antoni melihat Oline—sang anak dengan penuh khawatir, sebagai seorang ayah ia tahu betul seperti apa keadaan anaknya untuk saat ini.

“Bagaimana dengan tawaran ayah waktu itu?” tanyanya sambil menyendok sisa nasi dipiringnya dan memakannya.

Oline terkesiap, dia tidak menyangka ayahnya masih ingat dengan kejadian seminggu yang lalu, Oline dengan cepat menggeleng.

“Oline tidak ingin menjadi seperti ayah, sudah cukup dengan masalah ayah ini Olinelah yang harus menanggung hinaan dan cacian.”

Tak terasa air matanya kembali luruh, dan penjelasan Oline bagai tamparan keras bagi sang ayah, dia tidak mempungkiri kalau apa yang menimpa Oline adalah salahnya.

“Ayah tidak menyuruhmu untuk menjadi seperti ayah, ayah tau bagaimana susahnya melawan ego dan keinginan serta hasrat yang besar untuk membunuh. Ayah dulu sepertimu nak, 'tak ingin menyakiti orang lain, dan diri sendirilah yang menjadi pelampiasan. Hingga kejadian itu membuat ayah kehilangan kendali.”

“Kejadian apa Ayah?” tanya Oline penasaran.

Antoni tersenyum “Suatu saat kau pasti akan tau, nak.”

Antoni beranjak dari duduknya karena jam jenguk telah usai.

“Ayah sarankan untuk kau pindah dari kota ini,” katanya sebelum masuk kembali ke dalam sel.

Oline termenung, memikirkan apa yang ayahnya katakan barusan.

Ketika hendak keluar kantor polisi, Oline tak sengaja melihat orang tua Zola berada di ruang tunggu, wajahnya terlihat cemas, sang Mama tidak berhenti menangis sambil menyebut nama Zola. Ingin sekali ia menghampiri kedua orang tua Zola, tapi sudah pasti dia akan diusir, akhirnya Oline memutuskan untuk kembali pulang kerumah.

Ini bukan kedua kalinya Antoni menyuruh Oline untuk pindah keluar kota, entah apa maksudnya, mungkin agar Oline bisa hidup tenang tanpa hinaan dan cemoohan dari orang-orang disekitarnya, tetapi Oline tak mengindahi. Pikirannya kalut, dia juga merasa tak sanggup mendengar hinaan semua orang, tetapi jika ia pindah, siapa yang akan menjenguk ayahnya? Siapa yang akan membersihkan rumahnya?

“Akh ... memikirkan itu semua membuat kepalaku terasa mau pecah!” teriaknya.

Oline menyadari dia sudah membuat kaget orang-orang dalam bus dengan teriakannya barusan, semua pasang mata menatapnya dengan tatapan yang Oline sendiri sulit mengartikannya.

Seketika kedua pipinya memerah karena malu, Oline menunduk sambil meminta maaf, Oline sudah tak berani mengangkat wajah hanya untuk sekadar melihat orang-orang di sekitarnya.

Menurut kabar yang beredar Zola sudah menghilang selama tiga hari, tidak ada satupun yang melihat atau pun mengetahui di mana dia berada saat ini, bahkan para polisi yang dikerahkan pun mulai menyerah karena tak menemukan titik terang tentang kasusnya. Beberapa poster dengan foto Zola pun terpampang jelas di setiap jalan, mereka berharap dengan demikian Zola akan dengan cepat ditemukan.

Oline juga merasa khawatir, seburuk apa pun perlakuan Zola kepadanya, Zola tetap temannya. Apa lagi dengan mengingat kejadian yang menimpa tetangganya beberapa Minggu yang lalu, dia semakin cemas. Tak dapat dipungkiri, dia takut nasib Zola berakhir tragis seperti tetangganya.

Ketika sedang berkelana dengan pikirannya tiba-tiba ada seseorang yang menggedor pintu rumah Oline dengan kencang, Oline terkejut dan langsung berlari menuju pintu. Di luar sudah berkumpul beberapa orang dan juga tiga polisi, Oline tercengang, pasalnya dia tidak tahu apa yang membuat mereka menginjakkan kaki di rumahnya.

“Pembunuh!” teriak seseorang dari arah belakang.

Suasana semakin ricuh, para polisi harus turun tangan untuk menenangkan para massa yang mulai mengamuk. Oline masih mematung di tempatnya, dia masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi, mengapa semua orang ingin mengadilinya, bahkan mereka sangat marah kepadanya.

“Dengan saudari Oline?” tanya salah satu polisi membuyarkan lamunan Oline.

Oline hanya mengangguk, dia tak bisa berkata apa-apa.

“Boleh saya menggeledah rumah saudari?”

Oline tetap mengangguk, mempersilahkan ketiga polisi itu untuk melakukan tugasnya.

“Pembunuh, sama seperti keluarganya,” kata seseorang di belakang

“Benar kata pepatah, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya,”

Kasak-kusuk itu terdengar cukup nyaring ditelinga Oline, dia tak tahan lagi mendengar hinaan itu. Oline terlihat sangat marah dan jengah, kali ini dia dia sudah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, bagai ada bisikan yang mengatakan “bunuh mereka” Oline siap bahkan sangat siap menyalurkan hasrat yang selama ini dia pendam dengan susahnya, tetapi tiba-tiba para polisi itu keluar sambil membawa sebuah hodi hitam milik seseorang yang tak sengaja menabrak Oline beberapa hari yang lalu.

Seketika kesadaran Oline kembali, dia bersyukur polisi cepat datang, jika tidak mungkin akan terjadi banjir darah dihalaman rumahnya.

“Apa ini bajunya?” tanya polisi kepada seorang pemuda.

“Benar, Pak, seperti ini hodinya.”

“Tuh, benarkan yang saya bilang? Saya melihat Oline pulang menggunakan hodi itu, dan dibagian tangan kiri hodinya terdapat darah,”celetuk Ibu paruh baya di samping Pak polisi.

“Tetapi itu bukan hodi saya, hodi itu milik orang yang tidak sengaja menabrak saya. Hodinya terjatuh, makanya saya bawa pulang,” belanya.

“Halah ... kalau pembunuh ya ngaku aja!” bentaknya.

“Saya benar-benar tidak tahu apa-apa, apa salah saya? Siapa yang saya bunuh?”

“Zola!” jawab pemuda itu.

Oline terkejut, dia tidak menyangka akan menjadi tersangka dalam kasus ini, karena dia memang tidak tahu kalau Zola terbunuh.

“Hanya pembunuh berdarah dingin yang melakukannya, tetapi saya tidak terlalu yakin kalau gadis ini pembunuhnya Pak,” jelasnya pada polisi.

“Loh, tidak terlalu yakin bagaimana? Jelas-jelas katamu tadi pembunuhnya memakai hodi hitam ini?”

“iya memang, tetapi saya tidak melihat wajahnya, ketika saya hendak merekam kejadian itu, saya ketahuan dan pembunuh itu mengejar saya, dari gerakan lincahnya saya yakin pembunuh itu seorang pria, saya tidak melapor karena saya masih takut dan trauma, tetapi setelah mayat Zola ditemukan di tempat sampah pagi tadi saya memantapkan diri untuk melapor kepada pihak berwajib,” terangnya panjang lebar.

“Saya yakin Oline pembunuhnya, secara dia kan anak seorang pembunuh juga,” kekeh ibu-ibu itu.

Sekarang Oline menjadi tersangka penyelidikan, di rumahnya diawasi dengan ketat oleh beberapa polisi. Di sekolah, Oline di cap seorang pembunuh, Oline semakin frustrasi dia terus saja menyayat sekujur tubuhnya. Dia tidak peduli jika harus kehilangan banyak darah, baginya rasa sakit ditubuhnya tidak sebanding dengan rasa sakit jiwanya saat ini.

“Oline kamu dipanggil kepala sekolah,” kata seorang guru acuh.

Oline menghela nafas perlahan, sekarang dia pasrah, benar-benar pasrah. Sesampainya di ruangan, kepala sekolah langsung menyuruh Oline duduk dan tanpa basa-basi dia mengutarakan maksudnya memanggil Oline ke ruangannya.

“Maaf Oline, ini demi nama baik sekolah. Jadi terpaksa Bapak mengeluarkan kamu dari sekolah ini.”

Oline menangis, dia tidak sanggup lagi, memberi pembelaan pun rasanya percuma karena semua bukti sudah mengarah kepadanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!