Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Suasana resepsi pernikahan Biru dan Hagia semakin meriah dengan alunan musik gambus, dan lantunan lagu religi yang menyentuh hati. Para tamu undangan menikmati hidangan lezat yang beragam, sambil bersenda gurau dan menari mengikuti irama musik.
Biru dan Hagia terlihat tampan dan cantik, diantara tamu undangan, mereka benar-benar menjadi raja dan ratu sehari. Suasana resepsi pernikahan Biru dan Hagia benar-benar meriah dan tak terlupakan, mereka berdua terlihat bahagia dikelilingi oleh keluarga, teman-teman, dan tetangga yang turut memeriahkan acara tersebut.
Tema pesta taman yang di pilih Biru dan Hagia benar-benar sukses, dengan dekorasi yang indah dan suasana yang santai. Para tamu undangan para undangan bebas menikmati beragam hidangan, baik di dalam atau di luar gedung.
Ide Biru dan Hagia untuk memborong para pedagang kaki lima, yang datang beberapa hari sebelum hari H ternyata sukses dan menjadi kesan tersendiri. Karena para tamu undangan dapat menikmati berbagai macam makanan dan minuman yang mereka jajakan.
Jika di hari biasa para pedagang itu berjualan dengan celana ponggol dan kaos oblong, tapi hari ini mereka berjualan dengan kemeja batik, celana panjang, dan rambut klimis. Seolah menjadi hiburan tersendiri bagi tamu undangan yang juga pelanggan nya.
Diantara kemeriahan dan kebahagiaan yang terjadi di area gedung serbaguna itu, terlihat seorang pria yang duduk di atas motornya dengan tatapan sendu mengarah ke kemeriahan pesta. Heru, mantan suami Hagia. Ia terlihat seperti orang yang tidak termasuk dalam pesta.
Dalam matanya terlihat sebuah penyesalan dan juga kebahagiaan. Menyesali perlakuan nya pada sang mantan istri, namun ia juga bahagia, karena Hagia mendapatkan pria yang lebih baik darinya.
"Mas, ayo masuk." suara seseorang mengejutkan Heru. "Kenapa disini saja? Ayo masuk." ajak pria bertubuh kurus dengan kumis tebal.
Heru tersenyum tipis, "Saya bukan tamu undangan, Pak. Kebetulan saya istirahat di sini." katanya berbohong.
Pria yang menegur Heru itu manggut-manggut. "Padahal gak apa-apa lho masuk. Tidak harus tamu undangan, kata pak Kyai Ismail yang penting punya niat baik." katanya tersenyum lebar. "Saya juga bukan tamu undangan, saya biasa ambil sampah di daerah sini. Tapi boleh ikut pesta, makan-makan sampai kenyang. Alhamdulillah," katanya bersyukur.
"Pak Kyai Ismail itu orang baik, semoga pernikahan putranya bahagia, langgeng, sakinah, mawadah, warohmah." sambungnya, Heru ikut mengaminkan ucapan baik itu.
"Semoga kebahagiaan yang tidak bisa kamu dapatkan dariku, bisa kamu dapatkan di pernikahan kedua mu." batin Heru, meskipun terlambat, tapi setidaknya ia menyadari kesalahannya.
.....
Jika hidup Biru dan Hagia tengah berselimut kebahagiaan dan kemeriahan, berbanding terbalik dengan hidup Hilya yang berselimut kabut kesedihan dan ketidak pastian. Gadis berusia 24 tahun itu mengurung dirinya di kamar sejak orang tuanya pergi menghadiri pernikahan Biru, suaminya.
Awalnya Hilya hanya ingin memiliki status sebagai istri Biru, tanpa memikirkan jika status itu akan memberikannya luka dalam. Ia pikir cukup hanya menjadi istri pria yang dicintainya, namun semua itu adalah awal dari penderitaan dan kesakitan yang tiada akhir.
Mudah saja jika ingin mengakhiri penderitaan nya, yaitu satu kata talak cerai dari Biru. Namun Hilya tidak ingin mendengar kata-kata keramat itu di dengar oleh telinga nya, ego dan obsesi nya masih sangat tinggi, meskipun luka mengoyak jiwanya.
"Ning...." panggil Gus Hanan, ia tahu jika adiknya tengah dirundung kesedihan. "Kamu udah di tunggu sama ustazah Farida." katanya pelan.
Hilya dengan mata sembabnya menoleh kearah sang kakak, seolah memohon agar dirinya tidak keluar kamar. "Mau sampai kapan kamu seperti ini? Mas sedih liat kamu begini." tangannya memeluk tubuh mungil Hilya yang lemah.
"Kenapa cintaku tidak cukup untuk nya, Mas?" keluhnya pelan, suaranya bergetar dan rapuh.
Gus Hanan memeluk adiknya lebih erat, berusaha menguatkan jiwa yang lemah itu. "Cintamu bukan tidak cukup, Ning. Tapi pria yang kamu cintai bukan pria yang tepat, karena itu cintamu tidak akan pernah cukup untuk nya." ujarnya, membuat tubuh Hilya semakin bergetar.
Dengan suara bergetar karena menangis, Hilya kembali bertanya, "Apakah itu artinya cintaku salah? Aku mencintai nya dengan tulus, Mas." seolah tidak terima jika cintanya di salah kan.
Gus Hanan mengusap air mata adiknya, ia tahu tidak mudah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Apalagi bercampur dengan ego dan obsesi, seperti yang terjadi pada Hilya.
"Mas tidak bilang kalau cintamu salah." katanya pelan, ia menarik napas dalam-dalam. "Ning, sejatinya cinta adalah perasaan yang indah. Cinta tidak menyakiti dan cinta adalah kebahagiaan, jika kamu jatuh cinta pada orang yang tepat. Mas tidak bilang jika Gus Biru bukan orang yang tepat, tapi situasinya yang tidak tepat, karena dia sudah mencintai wanita lain." ujarnya hati-hati, ia takut jika Hilya menolak nasehatnya.
Gus Hanan mengusap kepala Hilya dengan lembut. "Kamu adalah satu-satunya putri Abah, kesayangan kamu semua. Kamu berhak bahagia dan dicintai, kamu sangat layak hidup terhormat, sayang. Mas sangat tidak rela melihatmu menderita dalam sebuah ikatan rahasia seperti ini." ia memang sangat menyayangkan keputusan Hilya yang memaksa menikah dengan Biru.
Hilya mengusap wajah nya dengan kasar dan menggelengkan kepalanya. "Nggak, Mas! Aku gak mau berpisah dengan suamiku. Mas jangan memintaku berpisah dengannya, sampai kapanpun aku tidak mau!" tolak Hilya keras kepala, ia tahu maksud perkataan Gus Hanan.
"Tapi kamu tersiksa seperti ini, Ning." ujar Gus Hanan masih dengan nada lembut.
Hilya kembali menangis, namun ia masih menggelengkan kepalanya kuat. "Aku hanya belum terbiasa, Mas. Aku yakin ini tidak akan lama, aku mencintainya, akuh...."
Gus Hanan kembali merengkuh tubuh mungil Hilya dan mengecup puncak kepalanya. "Bilang sama Mas, kalau kamu sudah tidak sanggup lagi. Jangan menyimpan semuanya sendiri, Mas disini untukmu, jangan buat Mas menjadi kakak yang tidak berguna." pesannya, ia tahu jika sebijak apapun nasehatnya, tidak akan diterima akal sehat Hilya. Tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain mendukung dan mendampingi sang adik.
"Ning gak salah 'kan, Mas?" tanya Hilya yang butuh validasi dari seseorang.
Gus Hanan menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan, namun sejenak ia menarik kedua sudut bibirnya. "Seseorang salah itu wajar, Ning. Yang terpenting, dia menyadari kesalahannya, dan bisa mengambil hikmah dari kesalahan itu." jawabnya.
"Mas gak bisa bilang kamu salah atau benar, tapi Mas minta, kamu lebih sabar dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jangan lelah merayu dan berserah pada Allah, Allah maha tahu, maha kaya." nasehatnya.
"Semoga Allah membuka hati dan pikiranmu, untuk melepaskan apa-apa yang memang bukan milikmu." bisik Gus Hanan dalam hati penuh harap, agar adiknya bisa melupakan cinta yang menyedihkan ini.
*
*
*
*
*
TBC