Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Alaska Arnolda
Dua hari berlalu sejak kesepakatan besar antara Arum dan Alaska dibuat. Gadis itu boleh tinggal di mansion keluarga Arnolda, tetapi dengan syarat harus bekerja bukan hidup menumpang gratis.
Anehnya, Arum menerimanya dengan sangat ringan, seolah itu hal paling wajar di dunia. Bahkan Alaska sendiri masih heran tiap kali mengingat betapa cepatnya gadis itu mengangguk tanda setuju, padahal standar hidup di mansion ini jelas berbeda dengan kehidupan Arum sebelumnya.
Pagi ini, cahaya matahari memasuki jendela besar kamar Arum yang kini jauh lebih rapi dari hari pertamanya datang. Gadis itu berdiri di depan cermin, merapikan seragam putih abu-abunya.
Rok barunya yang membuatnya berdebat singkat dengan Alaska jatuh lebih panjang dari rok lama pemberian tetangga. Bahan yang halus, lipatan rapi, dan warna abu-abu yang masih cerah membuat Arum merasa agak canggung mengenakannya. Tapi ia juga tahu, Alaska membelinya karena merasa rok lamanya… terlalu pendek.
Setelah mengusap seragamnya untuk memastikan semuanya rapi, Arum menarik napas panjang dan keluar kamar. Langkahnya kini sudah fasih menyusuri lorong-lorong luas mansion itu, tidak lagi tersesat seperti hari pertama. Tangga marmer putih yang dingin disentuh kakinya membuatnya teringat betapa mahalnya tempat ini; rasanya seperti melangkah di museum, bukan rumah seseorang.
Saat tiba di lantai bawah, aroma roti panggang dan kopi memenuhi udara. Di meja makan panjang, Alaska sudah duduk rapi, menikmati sarapan sambil membaca sesuatu di tabletnya. Pria itu tampak santai namun tetap karismatik seperti biasa.
“Bapak, kenapa bapak beliin saya rok baru, saya jadi gaenak kan banyak nambah nambah hutang aja,” ucap gadis itu sambil duduk di seberang Alaska.
“Apa kau selama tiga tahun ini memakai rok sependek itu untuk ke sekolah? Apa kau tidak berpikir bagaimana para otak pria bekerja?” tanya Alaska menghentikan fokusnya pada tablet.
“Itu rok yang diberikan tetangga pak, ya cukup keren sih lagi pula aku ga pernah beli baju baru,” jawab Arum santai, meski ada sedikit tawa canggung di balik kata-katanya.
“Sudahlah pakai saja itu anggap saja itu gaji mu bulan ini,” jelas pria itu.
“Emang berapa gaji Arum sebulan pak?” tanya gadis itu sambil menyuap sedikit roti.
“Berapa kau mau?” tanya Alaska kembali bertanya.
“Ye masa malah karyawan nya yang suruh bilang sendiri gaenak lah,” jawab gadis itu santai.
“5 juta?” tanya Alaska.
“Hah?!” kaget Arum sampai hampir tersedak.
“Kenapa? Apa terlalu kecil ya memang terlalu kecil sih aku juga tidak mau jika jadi kau,” jawab Alaska singkat tanpa menatapnya.
Arum hanya bisa terpaku. Bukan karena nominal itu kecil, justru sebaliknya angka lima juta terasa luar biasa besar untuk pekerjaan ringan seperti menyapu, merapikan kamar Alaska, dan membantu menyiapkan makanan. Ia bahkan sering ikut membantu pelayan lain hanya karena merasa tugasnya terlalu sedikit. Betapa jauhnya kehidupannya dari yang ia kenal dulu.
“Bukan karena kurang itu sih sedikit, bahkan Arum bisa lanjut kuliah pakai gaji itu pak,” ucap Arum kaget namun santai seperti biasa.
“Kau ingin kuliah?” tanya Alaska menatap Arum.
“Tidak, Arum tidak pintar. Malas belajar lagi,” jawab gadis itu to the point.
Percakapan ringan itu berakhir saat keduanya berdiri bersiap untuk pergi. Arum merasa sedikit aneh karena Alaska berangkat sepagi ini, tapi setelah dipikir-pikir wajar saja sekolah cukup jauh dari rumah.
Hari ini Arum terlihat berbeda. Rambutnya dibiarkan terurai, mengikuti saran salah satu pelayan bahwa ia terlihat lebih cantik begitu. Di mobil, sepanjang perjalanan, Arum lebih banyak memperhatikan sepatu barunya daripada pemandangan di luar jendela. Sepatu putih itu masih mulus, tanpa goresan. Rasanya seperti mimpi mendapat barang baru yang benar-benar ia sukai.
Sesekali Alaska melirik gadis itu.
“Apa kau sangat menyukai sepatu itu?” tanya Alaska bingung.
“Iya, ini semua berkat bapak. Kenapa bapak kadang usil tapi ternyata bapak sangat baik, aku belum pernah pak dapat sepatu baru,” jawab gadis itu dengan lucunya.
“Astaga dia menggemaskan,” gumam Alaska membuang muka.
“Kenapa pak?” tanya Arum bingung.
“Tidak apa-apa,” jawab Alaska menggeleng.
Arum hanya menatapnya lama, bingung dengan tingkah pria itu yang terasa… aneh. Tapi hatinya hangat. Bukan karena barang-barang baru itu, tapi karena Alaska memperhatikan hal-hal kecil yang tak pernah orang lain pedulikan.
“Kenapa kau tidak sarapan tadi?” tanya Alaska, masih fokus menyetir.
“Siapa yang sarapan pukul 6 pagi? Saya akan terberak berak nanti sakit perut pak, kalau jam 8 masih mending kayak kemarin,” ucap Arum.
Alaska menghela napas. Gadis ini memang penuh kejutan.
“Kau bawa bekal itu, aku menyuruh bibi membuatkannya,” ucap pria itu menunjuk kursi belakang.
Arum menoleh, dan matanya langsung membesar saat melihat kotak bekal pink lucu terpajang di sana. Ia kembali menatap Alaska dengan wajah yang benar-benar bahagia.
“Bapak terimakasih ya, repot segala harusnya saya yang nyiapin bapak sarapan,” kekeh gadis itu dengan lucu.
“Itu energi nanti sebelum kau menjahili aku, kau kan melakukan nya,” jawab Alaska datar.
“Astaga masa lalu biarlah berlalu jangan kau ungkit jangan tinggalkan aku hei hei,” ucap Arum malah bernyanyi.
“Bocah stress,” jawab Alaska menggeleng.
Perjalanan 30 menit itu berjalan nyaman sampai akhirnya mereka memasuki area dekat sekolah. Mendadak Arum menepuk tangan Alaska pelan, membuat pria itu melirik heran.
“Pak berhenti di sini saja,” jawab Arum.
“Kenapa ini masih jauh,” ucap Alaska bingung.
“Bapak, bukankah bapak bilang jika saya tidak boleh memberitahukan identitas bapak kepada semua orang. Jika saya turun di sekolah bersama bapak setelah saya menghilang sebulan, apa yang mereka pikirkan, saya akan diserbu dan teman-teman saya akan menjadi wartawan dadakan,” jawab gadis itu sambil menghela napas.
Alaska terdiam. Itu masuk akal. Sangat masuk akal. Selain jarak mereka sebagai guru dan murid, gosip adalah hal terakhir yang ingin ia hadapi. Ia menginjak rem dengan perlahan.
“Nanti pulang kau tunggu di parkiran saja jika sudah sepi,” jawab pria itu.
“Ay ay captain siap, terimakasih bapak,” jawab gadis itu lucu.
“Oiya pak satu lagi di sekolah kita pura pura tidak kenal saja ya, saya tidak mau bapak dicurigai orang lain. Berita tentang saya pasti sudah menyebar tentang keluarga saya yang pindah, saya punya alasan bagus okey,” lanjut Arum.
“Baiklah atur saja,” jawab Alaska.
Arum menengok kanan kiri memastikan kondisi aman sebelum turun. Setelah yakin tidak ada murid lain yang melihat, ia keluar pelan-pelan. Mobil Alaska melaju pergi, dan Arum berdiri sebentar, tersenyum kecil.
“Aku tidak mau membuat pak Alaska kesusahan, kita sudah sepakat untuk bersikap sama sama tidak saling mengenal,” gumamnya.
Sementara itu, Alaska yang melajukan mobil 200 meter ke depan menatap Arum dari kaca spion. Gadis itu berjalan kaki santai dengan rambut terurai seperti anak kecil yang baru mendapat permen. Pria itu mendengus.
“Bisa-bisanya dia memerintah seorang Alaska Arnolda, benar-benar bocah nakal. Kau tidak tau siapa aku kan,” gumamnya.
...----------------...
Terima kasih sudah membaca! Kalau suka ceritanya, jangan ragu tinggalkan like agar author makin semangat lanjutkan bab berikutnya.