Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu Pelukan Ibu
Pintu ruang ICU terbuka perlahan, dan Arunika mengikuti Tante Rena masuk dengan langkah tertatih. Aroma obat-obatan langsung menusuk hidungnya, bercampur dengan bau antiseptik yang dingin. Di tengah ruangan, terbaring sosok wanita yang sangat ia kenal, namun tampak begitu rapuh dan tak berdaya.
"Ibu..." bisik Arunika lirih, suaranya tercekat oleh air mata yang kembali membanjiri matanya. Ia mendekat perlahan, setiap langkahnya terasa begitu berat. Di samping ranjang, ia melihat tangan ibunya yang terpasang infus. Dengan hati-hati, Arunika meraih tangan itu, menggenggamnya erat. Kulit ibunya terasa dingin dan kering, jauh berbeda dari kehangatan yang selalu ia rindukan.
Tante Rena berdiri di belakangnya, mengusap bahu Arunika dengan lembut. Suasana hening, hanya terdengar bunyi alat-alat medis yang setia menemani. Arunika menundukkan kepalanya, menciumi punggung tangan ibunya berulang kali. Air matanya jatuh membasahi selimut putih yang menutupi tubuh lemah itu.
"Ibu... ini Nika," ucapnya lagi, berharap ibunya bisa mendengarnya. "Nika datang, Ibu. Maafkan Nika baru datang..." Suaranya bergetar hebat, rasa bersalah dan penyesalan menghantamnya bagai gelombang pasang.
Ia ingat jelas, betapa kuatnya ibunya selama ini. Seorang diri membesarkannya sejak ayahnya pergi tanpa kabar saat ia masih kecil. Ibunya adalah pahlawannya, sumber kekuatan dan inspirasinya. Ibunya bekerja keras siang malam, membanting tulang demi memastikan ia mendapatkan pendidikan yang layak dan kehidupan yang baik. Tidak pernah sekalipun ibunya mengeluh, selalu tersenyum meskipun Arunika tahu ada beban berat yang dipikulnya.
"Ibu... bangunlah," pintanya dalam isak tangis. "Nika rindu suara Ibu, rindu pelukan Ibu. Nika janji akan jadi anak yang baik, akan selalu ada di sisi Ibu."
Kenangan masa kecilnya berputar di benaknya. Ibunya yang mengajarinya membaca dan menulis, ibunya yang selalu menemaninya bermain saat kecil, ibunya yang selalu memberikan semangat saat ia gagal. Setiap tetes air matanya adalah ungkapan rasa sayang yang mendalam, rasa kehilangan yang belum terjadi namun sudah terasa begitu menyakitkan.
Tante Rena ikut meneteskan air mata, menyaksikan kepedihan keponakannya. Ia tahu betul betapa dekatnya hubungan Arunika dan ibunya. Mereka bukan hanya ibu dan anak, tetapi juga sahabat dan satu-satunya keluarga yang mereka miliki setelah kepergian ayah Arunika dan meninggalnya kakek dan nenek mereka. Hanya ada mereka bertiga di dunia ini.
Arunika terus menggenggam tangan ibunya, berharap kehangatan tangannya bisa menyalurkan kekuatan dan semangat hidup. Ia menatap wajah ibunya yang pucat, garis-garis halus di sekitar matanya tampak semakin jelas. Ia menyesal tidak pernah benar-benar memperhatikan betapa lelahnya ibunya selama ini. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, hingga mengabaikan kesehatan wanita yang paling ia cintai.
"Ibu... jangan tinggalkan Nika," bisiknya lagi, suaranya hampir tak terdengar. "Nika tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu dan Tante Rena."
Dalam keheningan ruang ICU, hanya isak tangis Arunika yang terdengar pilu. Ia terus menggenggam tangan ibunya, menyalurkan seluruh cinta dan kerinduannya, berharap ada keajaiban yang terjadi, berharap ibunya akan membuka mata dan tersenyum padanya seperti dulu. Penyesalan dan rasa bersalah terus menghantuinya, namun di saat yang sama, tekad untuk selalu berada di sisi ibunya kini menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Urusan Blue Moon Cafe dan misteri Roy untuk sementara ia kesampingkan. Yang terpenting saat ini adalah kesembuhan ibunya.
Keesokan harinya, Arsen gelisah bukan main. Kabar dari Risa tentang Arunika yang menghilang membuatnya cemas. Ia memutuskan untuk mendatangi langsung kost kekasihnya. Setelah menembus jalanan kota Yogyakarta, Arsen tiba di depan rumah kontrakan sederhana tempat Arunika tinggal.
Ia mengetuk pintu beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Seorang ibu paruh baya yang merupakan pemilik kost akhirnya keluar.
"Cari Nika, Mas?" tanya ibu kost dengan ramah.
"Iya, Bu. Apa Nika ada?" jawab Arsen dengan nada khawatir.
"Oh, Nika sudah pulang kampung, Mas. Kemarin sore dia pamit, katanya ibunya sakit."
Mendengar kabar itu, Arsen langsung merasa lega sekaligus cemas. Lega karena Arunika tidak menghilang tanpa jejak seperti yang ia khawatirkan, namun cemas karena kondisi ibunya. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Arunika. Setelah beberapa kali mencoba, panggilannya akhirnya tersambung.
"Nika? Ini aku, Arsen," ucapnya begitu panggilan diangkat.
Terdengar suara serak dan isakan kecil dari seberang telepon. "Arsen..."
"Kamu baik-baik saja? Ibu kamu bagaimana keadaannya?" tanya Arsen dengan nada penuh perhatian.
Arunika mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Ibu... Ibu belum sadar, Sen. Aku di rumah sakit sekarang."
Arsen menghela napas mendengar kabar itu. Ia bisa merasakan betapa beratnya perasaan Arunika saat ini.
"Aku turut prihatin, Sayang. Kamu yang sabar ya. Ada Tante Rena di sana?"
"Ada, Tante menemaniku," jawab Arunika lirih.
"Jangan khawatir, Nika. Aku akan ke sana sekarang," putus Arsen tanpa ragu. Ia tidak bisa membiarkan Arunika menghadapi ini sendirian.
"Tidak usah, Sen. Kamu tidak perlu repot-repot," tolak Arunika halus. Ia tahu Arsen pasti memiliki kesibukan.
"Tidak ada repotnya, Nika. Kamu lebih penting. Beri aku alamat rumah sakitnya," desak Arsen dengan lembut namun tegas.
Setelah mendapatkan alamat Rumah Sakit Bina Kasih, Arsen segera berpamitan pada ibu kost dan bergegas menuju mobilnya. Perasaannya campur aduk. Ia merasa bersalah karena tidak menyadari masalah yang sedang dihadapi Arunika, yang terpenting saat ini adalah memberikan dukungan dan kekuatan untuk Arunika dan ibunya.
Selama perjalanan, Arsen terus menghubungi Arunika, memberikan kata-kata semangat dan meyakinkannya bahwa ia akan segera tiba. Ia membayangkan betapa terpukulnya Arunika melihat kondisi ibunya. Ia tahu betapa dekatnya hubungan mereka, apalagi setelah ayahnya pergi meninggalkan mereka bertahun-tahun lalu.
Arsen mempercepat laju mobilnya, hatinya dipenuhi tekad untuk menjadi sandaran bagi Arunika di saat sulit ini. Urusan dengan Risa dan segala intriknya bisa menunggu. Saat ini, prioritasnya hanyalah Arunika dan ibunya. Ia berharap kedatangannya bisa sedikit meringankan beban kekasihnya dan memberikan harapan akan kesembuhan sang ibu.
Setibanya di Rumah Sakit Bina Kasih, Arsen segera mencari informasi mengenai ruang ICU tempat ibu Arunika dirawat. Dengan langkah cepat, ia menuju ke sana, jantungnya berdebar-debar. Di ruang tunggu, ia melihat Tante Rena yang tampak lelah namun tetap tegar. Tante Rena menyambutnya dengan anggukan lemah.
"Arsen, terima kasih sudah datang," ucap Tante Rena dengan suara pelan.
"Bagaimana keadaan Ibu, Tante?" tanya Arsen dengan nada cemas.
"Masih belum sadar, Nak. Dokter bilang kondisinya stabil tapi kita tetap harus menunggu," jawab Tante Rena sambil menghela napas.
Arsen mengangguk mengerti. Ia kemudian mengedarkan pandangannya dan melihat Arunika duduk termenung di sudut ruangan, tatapannya kosong. Ia menghampirinya dan berjongkok di depannya, meraih kedua tangannya.
"Nika," panggil Arsen lembut.
Arunika mendongak, menatap Arsen dengan mata sembab. Setetes air mata kembali jatuh dari sudut matanya. "Arsen... kamu di sini."
"Iya, Sayang. Aku di sini," jawab Arsen sambil mengusap lembut pipi Arunika. "Jangan khawatir, aku akan temani kamu."
Arunika menggenggam erat tangan Arsen, mencari kekuatan dari kehadirannya. "Terima kasih, Sen. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana."
"Kamu tidak sendiri, Nika. Ada aku, ada Tante Rena. Kita akan hadapi ini bersama-sama," ucap Arsen dengan tulus. Ia bisa merasakan betapa rapuhnya Arunika saat ini.
Mereka berdua duduk dalam diam beberapa saat, hanya kehangatan genggaman tangan yang menjadi penghubung. Arsen tahu, saat ini Arunika tidak membutuhkan banyak kata-kata, melainkan kehadiran dan dukungan nyata.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang ICU. Arunika dan Tante Rena segera berdiri dengan cemas. Arsen pun ikut berdiri di samping Arunika, menggenggam tangannya lebih erat.
"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya Arunika dengan suara bergetar.
Dokter itu tersenyum tipis. "Syukurlah, pasien sudah sadar. Kondisinya berangsur membaik, tapi kami masih perlu melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut."
Mendengar kabar itu, air mata Arunika kembali menetes, namun kali ini adalah air mata lega. Ia langsung memeluk Arsen erat, menyembunyikan wajahnya di dadanya. Arsen membalas pelukannya, merasakan tubuh Arunika yang bergetar.
"Terima kasih Tuhan," bisik Tante Rena dengan mata berkaca-kaca.
Setelah beberapa saat, perawat mengizinkan Arunika dan Tante Rena untuk melihat ibunya sebentar. Arsen menunggu di luar, memberikan mereka waktu untuk berdua. Ia bisa membayangkan betapa emosionalnya pertemuan itu setelah penantian yang penuh kecemasan.
Tak lama kemudian, Arunika keluar dari ruang ICU dengan wajah yang sedikit lebih tenang. Matanya masih sembab, namun ada sedikit senyum yang tersungging di bibirnya.
"Ibu sudah sadar, Sen," ucapnya dengan suara lega. "Terima kasih sudah datang."
"Tentu saja, Nika. Aku akan selalu ada untuk kamu," jawab Arsen sambil memeluknya kembali. Ia merasa lega melihat Arunika sedikit lebih kuat.