Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
Suara motor kembali terdengar, berhenti tepat di depan warung. Kali ini seorang anak perempuan dengan tas ransel kecil di punggungnya turun dari jok belakang.
“Bunda..” ujar Luna memanggil bundanya.
Tristan menyusul setelah memarkirkan motornya. Tatapannya berubah bingung melihat ekspresi tegang semua orang. “Ada apa nih?” Matanya kemudian beralih ke arah Sagara, “Lo kenapa?” tanyanya melihat sudut bibir pemuda itu sedikit memar dan kotak P3K yang masih dipegang Alleta.
Naren langsung menghampiri Tristan, “Bang.., tadi kak Alleta bantuin bunda, terus ada cowok-cowok gangguin kak Alleta.” ceritanya dengan antusias.
Tristan langsung menoleh pada Alleta, “Serius?? Lo gak kenapa-napa kan??” tanyanya panik. Langkahnya dengan tergesa menghampiri Alleta, memeriksa apakah ada luka pada gadis itu.
Alleta menggeleng pelan, “Gak.., gue baik-baik aja. Untung tadi ada Sagara yang bantuin.” katanya menoleh ke arah Sagara.
“Iya, tadi Sagara yang bantu usir mereka, sampe memar gitu.” Bunda Rani menambahkan.
Tristan menoleh ke arah Sagara, “Thanks ya.” ujarnya.
Sagara menoleh, dia melirik Alleta sekilas sebelum kembali pada Tristan. “Gue nolongin Alleta, gak seharusnya Lo yang berterima kasih.” balasnya santai.
Ucapan Sagara membuat suasana mendadak sunyi.
Tristan terdiam beberapa detik, seolah mencari kalimat yang tepat untuk membalas. Alleta sendiri ikut tertegun.
“Ya… maksud gue tetep makasih, Lo juga udah nolongin bunda” ujar Tristan akhirnya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
Sagara mengangguk.
Luna menghampiri Alleta, “Kak Alleta beneran gak kenapa-napa?” Nadanya juga tak kalah khawatir.
“Engga sayang. Kakak baik-baik aja.” Alleta mengelus kepala gadis itu, berusaha meyakinkannya.
“Kak Alleta baik-baik aja. Untung tadi ada pacarnya yang nolongin.” cerocos Naren begitu saja. “Kak Sagara tadi hebat banget, sampai mental mereka ditendang.” lanjutannya, tanpa menyadari suasana yang tiba-tiba berubah canggung.
“Pacar?” Alis Tristan sedikit terangkat.
“Ehh... bukan..” balas Alleta cepat, wajahnya berubah merah. “Naren gak boleh asal ngomong ya, dia itu temen kak Alleta, temennya bang Tristan juga.” ujar Alleta berusaha menjelaskan.
Naren nyengir, sementara Sagara tertawa ringan.
Tristan menghela napas, ekspresinya sedikit melunak.
“Yaudah, yang penting semuanya aman.”
“Oh ya. Udah mau malem, Tris kamu anterin Alleta pulang ya.” ujar bunda Rani pada Tristan.
“Ehh, bentar Bun. Alleta bantu bunda dulu.” Alleta menjawab cepat, dia memang berniat kesana untuk membantu bunda Rani sekaligus menghilangkan rasa suntuk karena di rumah seorang diri.
“Gak usah, udah mau tutup kok. Jam-jam segini biasanya banyak cowok-cowok yang datang. Bunda gak mau kamu digangguin lagi.” kata bunda Rani, nadanya terdengar serius dan tegas.
“Iya kak, sekarang kan Luna udah dateng. Biar Luna yang bantuin bunda.” sambung Luna.
Alleta menghela napas pelan, dia tau bunda ada benarnya. “Yaudah deh. Alleta pulang ya.”
Bunda Rani mengangguk. “Yuk, gue anterin.” Tristan terlihat sudah siap dengan kunci motor di tangannya.
Alleta hendak mengangguk, tapi sebelum sempat menjawab, Sagara lebih dulu bersuara.
“Gue yang anterin.”
Semua mata langsung tertuju pada Sagara.
Alleta terlihat bingung, “Tapi, Sa. Rumah Lo kan di depan, jadi jauh kalo Lo yang anter.” ucapnya.
“Gak apa-apa, gue cuma mastiin Lo aman.” Sagara membalas, seutas senyum terpatri di wajahnya.
“Alleta aman kok sama gue. Lagian rumah kita searah, biasanya juga Alleta balik sama gue.” kata Tristan tegas.
Tanpa disadari ketegangan kecil mulai terasa memenuhi atmosfer, meskipun tidak semua orang merasakannya.
“Iya, Sa. Gue aman kok, sekali lagi makasih udah nolongin gue.” Alleta menatap Sagara tulus.
Sagara terdiam cukup lama. “Kalo hati-hati.” katanya akhirnya.
“Iya.” Alleta mengangguk cepat.
“Kalo gitu gue juga balik, bye.” pemuda itu bangkit dari kursinya. “Bun, saya balik dulu ya.” ujarnya pada bunda Rani.
“Gak makan dulu.” tanya Bunda Rani, menahan langkah Sagara yang sudah berdiri.
“Gak bun, udah kenyang.” Sagara menolak. Padahal niat awalnya kesana memang untuk membeli makan seperti biasa, tapi entah kenapa selera makannya tiba-tiba menghilang setelah kejadian tadi.
Bunda Rani tersenyum tipis, “Yaudah, maaf ya jadi ngerepotin.”
Sagara mengangguk singkat kemudian langsung melangkah menyebrang jalan kembali ke kediamannya.
Alleta dan Tristan juga melangkah ke depan warung, Tristan memberikan helm yang tadi dikenakan Luna. Alleta menerima helm itu dan langsung memakainya.
Tristan sudah duduk terlebih dahulu di atas jok motor, Alleta menyusul di belakangnya. Mesin pun menyala, motor melaju pelan meninggalkan warung makan bunda Rani.
Beberapa meter berlalu, suasana awalnya hening. Hanya suara angin dan hiruk-pikuk kendaraan yang memenuhi atmosfer. Wajah Alleta nampak tenang, meskipun masih tersisa sedikit ketegangan.
“Sorry ya. Sara-gara bantuin bunda, lo jadi kena masalah.” ujar Tristan tiba-tiba, nadanya terdengar tidak enak.
Alleta mendekatkan badannya ke depan, “Gak usah minta maaf, bukan salah Lo. Lagipula gue baik-baik aja.” balas Alleta tulus.
“Tapi tetep aja. Sahabat macam apa gue, saat Lo kesusahan gue gak ada.” Tristan kembali menyalahkan dirinya sendiri.
Alleta tertawa kecil, suara tawanya hampir tenggelam oleh angin. “Udah gue bilang gakpapa, gausah salahin diri Lo. Tadi juga udah ada Sagara yang nolongin gue.”
Suasana kembali hening.
“Lo kayaknya sekarang dekat banget sama Sagara?” ujar Tristan pelan, kali ini dengan topik yang berbeda.
Alleta terdiam beberapa detik.
Ia menatap lampu-lampu jalan yang berlari mundur di depan matanya, pikirannya sempat berkelana sebelum akhirnya menjawab.
“Iya sih, dia diem-diem gitu asik tau orangnya” ucapnya pelan. “Kenapa emangnya?.”
Tristan menggeleng pelan, meski ekspresinya tak bisa dilihat Alleta.
“Gakpapa, cuma aneh aja. Dia orangnya dingin banget sih, tapi kelihatan peduli sama Lo.”
Alleta tersenyum, “Kan emang teman harus saling peduli.”
Tristan terdiam, lalu tersenyum kecil.“Iya. Temen emang harus saling peduli.” ujarnya mengulang kalimat Alleta.
Motor terus melaju di jalanan yang mulai lenggang, lampu-lampu toko mulai menyala satu persatu. Senja perlahan menghilang digantikan oleh langit malam.
“All, gue boleh nanya sesuatu gak?” Tristan kembali memecah keheningan.
“Boleh.” balas Alleta cepat.
Tristan terdengar menghela napas kecil sebelum kembali berucap. “Kalau misal ada temen Lo yang suka sama Lo, terus dia nyatain perasaan, tapi Lo gak suka dia gimana?”
Gadis bermata cokelat itu tertegun, dia berpikir sejenak. “Ya gue tolak lah, tapi tolak baik-baik. Gue bakal bilang apa yang gue rasain tanpa nyakitin, tanpa ngasih harapan palsu. Karena menurut gue… lebih sakit kalau digantung daripada ditolak.”
Tristan menelan ludah, “Tapi habis itu Lo masih mau temenan sama dia?” tanyanya lagi.
Alleta kembali berpikir, “Mau sih mau, tapi bakal agak canggung gak sih?”
Pemuda yang biasanya selalu tengil itu kini mengulum senyum, “Iya sih. Kayaknya..” gumamnya.
Tawa kecil Alleta kini terdengar. “Lo kenapa sih? Jangan-jangan, Lo suka temen kelas?” Alleta berusaha menebak.
“Gue jadi kepo, siapa sih cewek beruntung itu yang bikin sahabat gue kepikiran terus??” lanjut Alleta, gadis itu terdengar begitu penasaran.
Tristan hanya tersenyum, “Lo All.., Lo cewek beruntung itu.” gumamnya dalam hati.
“Udah ah, gak usah dibahas.” kata pemuda itu akhirnya.
Motor mereka kini memasuki pekarangan rumah Alleta, pelan lalu berhenti di depan bangunan megah itu.
Tristan menurunkan kakinya tanpa mematikan mesin. Alleta langsung turun dan melepas helmnya, rambutnya sedikit berantakan karena diterpa angin.
“Makasih ya, udah anterin.” ujar Alleta sambil mengulurkan helm.
Tristan menanggapi helm tersebut, namun tatapannya malah menatap Alleta lebih lama dari seharusnya.
“All.” panggilnya pelan.
“Hmm?”
“Gue boleh bilang sesuatu?” kata Tristan pelan, seolah ragu untuk berbicara.
“Bilang apa?” Alleta sedikit memiringkan kepalanya.
Tristan kembali terdiam, dia tidak tahu harus bicara bagaimana. Di kepalanya berputar berbagi pertanyaan.
"Kalo gue ditolak gimana?"
"Ungkapin gak ya?"
"Kalo jadi asing gue harus apa??"
Kalimat-kalimat itu terus berputar memenuhi pikirannya. Hanya ada satu cara untuk mengetahui jawabannya.
“Gue.. Sebenarnya..” Ucapan Tristan berhenti, dia ragu untuk melanjutkan.
“Sebenernya.., Lo siluman naga..” Alleta bercanda kemudian tertawa sendiri oleh candaannya.
“Bukan itu..” bantah Tristan cepat. Tatapannya kini terlihat lebih serius.
“Gue sebenernya..., suka sama lo.” ungkap Tristan akhirnya.
Alleta langsung berhenti tertawa, matanya sedikit membulat. “Maksud Lo?” lirihnya tak percaya.
“Hahahaha....”
Belum sempat Tristan menjawab, tawa Alleta langsung menyembur membuat Tristan seketika terdiam.
“Ada ada aja lo.” tawa gadis itu perlahan berhenti, “Lucu banget Lo, coba kalo gue percaya.”
Wajah Tristan langsung kaku.
Jantungnya serasa jatuh menabrak lantai.“Lo… nganggap gue bercanda?” tanyanya pelan.
Alleta mengusap sudut matanya yang masih berair karena tertawa.
“Iyalah. Lo kan biasanya suka bercanda garing.”
Tristan menggeleng pelan.
“Gue nggak bercanda, All.”
Alleta mengerutkan keningnya, dia masih bingung namun perlahan tatapannya berubah serius.
“Gue serius All. Gue suka sama Lo, lebih dari sekedar sahabat.” Ulang Tristan lagi, kali ini terdengar bersungguh-sungguh. Pemuda itu meraih tangan Alleta, menggenggamnya erat sebagai bentuk keseriusannya.
Alleta seketika membeku. Ia tidak menarik diri, hanya diam–terpaku.
“Lo beneran serius?” Suara Alleta perlahan mengecil.
Tristan mengangguk, “Iya, gue serius.” kalimat itu keluar tanpa ragu.
Alleta menunduk, detik berikutnya dia menarik paksa tangannya sehingga genggaman Tristan terlepas.
“Lo jahat Tris..” katanya lirih. “Lo khianati persahabatan kita.”
Tristan menunduk, matanya mulai berkaca-kaca, “Maaf All, gue gak bermaksud–”
“Lo tau, gue udah anggap lo saudara gue sendiri!” potong Alleta cepat. “Lo sahabat gue Tris. Dari dulu, dari kita kecil.”
Tristan mengangguk, meski dadanya terasa sesak. “Gue tau. Emang perasaan gue yang gak bisa dikontrol.”
Alleta mengangkat wajahnya lagi.
“Tris, lo orang baik. Dan gue sayang banget sama lo… tapi perasaan gue ke lo gak ke arah situ.” Air mata yang tadinya menetes karena tertawa kini berganti karena kekecewaan.
“Maafin gue All. Gue juga gak tau kenapa gue bisa suka sama lo.” Nada Tristan rendah, penuh penyesalan.
Alleta memalingkan wajahnya, menghapus air mata yang menetes perlahan, “Kayaknya gue gak bisa anggap lo sahabat.” ujarnya dengan suara serak.
Tristan langsung menggeleng, “Enggak Alleta, gakpap kalo lo tolak gue, tapi kita tetap sahabatan ya.” pinta Tristan tulus.
“Kasih gue waktu ya, biar gue bisa lupain apa yang barusan lo bilang.” Napas gadis itu terdengar berat, ada tangis yang tertahan di baliknya. “Untuk sekarang kita asing dulu, gue gak akan sanggup bersikap sebagai sahabat setelah apa yang Lo ungkapin barusan.”
Tristan membeku di atas motornya.
“All…” suaranya terdengar pecah.
“Jangan gitu. Jangan bilang kita jadi asing.”
Alleta menggeleng pelan tanpa menatapnya. “Gue gak bisa, Tris. Bukan karena gue benci lo… tapi karena gue gak mau pura-pura gak terjadi apa-apa.”
Tanpa menunggu respon, Alleta langsung pergi memasuki rumahnya. Sementara Tristan hanya bisa terpaku di atas motornya, menyesali apa yang telah dia lakukan.
“Lo ngapain si?? Kenapa Lo bilang tol*l?!” umpat Tristan dalam hati, dia teramat sangat menyesal telah egois dan mengungkapkan perasaannya.
Angin malam berdesir membawa sisa tawa yang kini berubah menjadi sesak yang tak bersuara.
Tristan masih membeku, hawa dingin menabrak tubuhnya namun dia tetap tidak bergerak. Punggung Alleta benar-benar menghilang di balik pintu, begitu juga dengan harapan yang Tristan tanam.
“Tris.. Tristan!!!”
Sebuah suara yang sedikit melengking dan tangan yang melambai di depan wajah Tristan tiba-tiba menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.
Tristan mengejapkan matanya beberapa kali, dia menggeleng cepat menyadari dirinya telah terbawa ke alam imajinasinya.
“Mikirin apa sih?” Alleta bertanya, wajahnya nampak bingung.
“Ehh.., maaf gue malah ngelamun.” Tristan terkekeh. Ia kemudian kembali menggeleng mengingat apa yang terjadi dalam bayangannya jika dia confes sekarang.
“Lo mau ngomong apa?” tanya Alleta lagi.
“Ee..” Tristan tak melanjutkan ucapannya, tangannya kemudian bergerak mengambil ranting kecil yang tersangkut di rambut Alleta.
“Ini, ada yang nyangkut.” ujarnya nyengir kecil sambil menunjukkan ranting itu di telapak tangannya.
“Ah… iya, makasih.”Alleta refleks merapikan rambutnya.
Tristan menelan ludah.
Bayangan yang barusan berputar di kepalanya—tentang pengakuan, air mata, dan perpisahan—masih terasa begitu nyata. Dadanya masih berdenyut nyeri, meski semua itu belum pernah benar-benar terjadi.
“Yaudah gue balik dulu ya.” pamitnya pada akhirnya.
“Iya, hati-hati.” balas Alleta.
Tristan langsung memutar balik motornya tanpa berniat untuk tinggal lebih lama. Ia menyadari mungkin ini memang belum waktunya, dan dia juga tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk mengungkapkan perasaannya.
Bersambung...
–Lantas mana yang lebih dingin?
Hujan disertai angin, atau harapan yang sebatas ingin?–