Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 — Larangan Karina
Pagi itu rumah keluarga Santoso terasa lebih senyap dari biasanya. Hujan tipis yang menyiram dedaunan hanya terdengar samar dari balik jendela kamar Aruna. Gadis kecil itu duduk bersila di lantai, menatap dua kelereng biru—kelereng yang diam-diam ia bawa pulang dari panti.
Hadiah dari Aru.
Ia memiringkan kepala, memandang pantulan wajah kecilnya pada kelereng yang transparan.
“Aru pasti suka yang ini…” gumamnya pelan.
Pintu kamar terbuka.
“Aruna, sarapan!” panggil Karina sambil tersenyum manis.
Tapi senyum itu memudar ketika ia melihat benda-benda di tangan putrinya.
“Apa itu?”
Aruna menunjukkan kelereng. “Dari Aru.”
Karina berhenti di ambang pintu. Napasnya naik turun dengan ritme tipis yang bahkan Aruna pun bisa lihat. “Kamu ambil tanpa izin?”
“Enggak, ini dikasih…” jawab Aruna polos.
Karina melangkah masuk, mendekat, lalu jongkok di depan putrinya. “Dengar, Nak. Kamu tidak boleh terlalu dekat dengan anak-anak di sana.”
Aruna mengerutkan dahi. “Kenapa?”
Karina membuka mulut—tidak ada jawaban yang benar-benar siap. Karena ia sendiri belum memahami keseluruhan perasaannya. Yang ia tahu hanya satu: ada sesuatu yang membuat dadanya tidak nyaman sejak kemarin.
Ketika Aruna menggandeng tangan Aru.
Ketika Aru tersenyum, dan ia tiba-tiba merasa… takut kehilangan sesuatu yang bahkan tidak ia mengerti.
“Hanya… jangan terlalu dekat,” ulang Karina pelan. “Mama tidak suka.”
Aruna memeluk kelerengnya. “Aru baik, Ma. Aru seru.”
“Aruna.” Nada Karina turun, lebih tegas. “Mama bilang jangan.”
Gadis kecil itu menunduk. “Tapi aku suka main sama Aru…”
Karina mendesah panjang. “Bukan salah kamu. Mama cuma khawatir.”
Kh—a—wa—tir.
Untuk alasan yang bahkan dirinya sendiri enggan akui.
Saat sarapan, suasana meja makan terasa kaku. Aruna memakan roti panggangnya dengan lesu, sementara Rendra hanya menatap piring tanpa benar-benar melihat.
Setiap kali Karina mengajak bicara, ia hanya menjawab seperlunya.
“Kita ke panti lagi hari ini?” tanya Karina sambil mengaduk teh.
“Sebentar,” jawab Rendra. “Finalisasi anggaran.”
Karina mengangguk.
“Aruna ikut?” tanya Rendra sambil melirik putrinya.
“Tidak,” potong Karina cepat. “Dia di rumah. Udah cukup.”
Rendra memandang istrinya lebih lama dari biasanya. “Kenapa?”
“Capek dia, Ren. Kemarin juga seharian.”
Rendra tidak menanggapi. Ia kembali menunduk, tapi pikirannya tidak berada di meja itu. Ia masih terjebak pada perasaan semalam—perasaan yang terus muncul sejak mendengar nama dr. Ardi di panti.
Semua koneksi yang ia tidak mau pikirkan.
Aru.
Nayara.
Usia.
Klinik.
Surrogacy.
Dan keheningan Nayara saat ia menatap bocah itu.
Sepanjang pagi, Aruna murung.
Ia duduk di ruang tengah sambil menatap televisi yang menyala tanpa suara. Boneka kelincinya ia peluk erat, tapi matanya berkaca-kaca.
Ketika Karina lewat sambil membawa pakaian untuk dicuci, Aruna menarik lengan ibunya.
“Ma…”
Karina berhenti. “Iya?”
“Aru salah ya?”
Karina memejamkan mata sebentar. “Bukan. Mama cuma…”
“Kalau Aru bukan anak kaya?” tanya Aruna tiba-tiba. “Mama mau aku main sama dia?”
Pertanyaan itu menusuk.
Karina hampir menjawab “Bukan begitu”, tapi lidahnya berhenti. Karena ia tahu: ada bagian dirinya yang memang diwarnai ketakutan… bukan tentang materi, tapi tentang sesuatu yang lebih personal.
Aru mengingatkannya pada seseorang. Atau pada sesuatu yang hilang. Atau… mungkin pada rahasia lama yang ia pikir sudah menghilang bersama waktu.
Ia tidak punya kata-kata yang cukup baik.
Jadi ia memilih jawaban aman.
Jawaban yang sering dipakai orang dewasa ketika tidak ingin terlihat salah.
“Pokoknya, dengar kata Mama. Jangan dekat-dekat dulu.”
Aruna tidak membantah. Ia hanya menatap lututnya yang kecil.
Dan Karina pergi, meninggalkan seorang anak yang mulai belajar kecewa.
Rendra dan Karina tiba di panti sekitar pukul sembilan pagi.
Di halaman, Aru sedang membantu merapikan kursi kecil bersama dua kakak panti. Bocah itu tersenyum ketika melihat Rendra turun dari mobil—senyum jujur yang membuat dada pria itu kembali mengeras.
Tapi Rendra menahan diri.
Ia tidak boleh terlihat terlalu memperhatikan.
Karina turun perlahan dan langsung memalingkan wajah ketika Aru memberi salam sopan.
“Pagi, Bu.”
“Hm,” jawab Karina pendek.
Nada itu membuat Bu Lilis yang mendampingi mereka terkejut sesaat, tapi ia tidak berkomentar. “Ayo, Pak Rendra, Bu Karina, kita lihat progres ruangan.”
Mereka masuk aula. Pembahasan berjalan… kurang lebih lancar. Namun sesekali Rendra kehilangan fokus ketika mendengar tawa Aru dari halaman.
Di titik tertentu, ia sadar: telinganya “mencari” suara itu.
Karina memperhatikan suaminya yang beberapa kali menoleh ke jendela.
“Ren,” tegurnya pelan. “Kamu dengar nggak yang tadi saya bilang?”
“Oh… iya. Ya.”
Kebohongan tipis.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Ada kecurigaan di mata Karina. Kecil. Tapi jelas.
Rendra merapikan kerah kemejanya. “Aku cuma kurang tidur.”
Karina mengangguk pelan, tapi gerak matanya tidak berhenti mengamati suaminya. Ia merasakan sesuatu yang berubah—halus, tapi mengganggu.
Antara ia dan Rendra… seolah ada satu ruang kecil yang tiba-tiba terbentuk. Satu ruang yang beberapa hari lalu tidak ada. Ruang itu berasal dari apa? Dari siapa?
Karina tidak tahu. Tapi ia tahu pemicunya mulai muncul sejak mereka mengunjungi panti.
Dan Karina bukan tipe yang membiarkan gangguan seperti itu lewat begitu saja.
Selesai urusan administrasi, Karina melangkah keluar aula. Udara panti sore itu cukup ramai—anak-anak berlarian, beberapa relawan menata kardus sumbangan.
Karina hendak mencari Rendra ketika matanya menangkap sosok kecil di ujung halaman.
Aruna.
Gadis itu berdiri di depan ruang bermain, memeluk tas kecil di dadanya. Rambutnya sedikit berantakan seperti habis berlari.
“Aruna? Kamu ngapain di sini?” suara Karina meninggi tanpa ia rencanakan.
Aruna menoleh cepat. “Aku… mau balikin kelereng Aru. Dia kasih aku dua. Tapi aku mau balikin satu… biar adil.”
Karina memejamkan mata sejenak. “Sayang, Mama sudah bilang jangan berkeliaran di sini dulu, kan?”
“Aku cuma sebentar…” Aruna meremas tasnya. “Aku mau pamit.”
Dari teras, Aru berdiri bengong melihat mereka. Ia melambaikan tangan kecil, seperti takut-takut.
Aruna membalas lambaian itu pelan.
Karina menarik napas panjang lalu menggenggam tangan putrinya. “Ayo, kita pulang.”
Nada suaranya lembut, tapi tegas. Tidak marah—lebih ke cemas.
Rendra mendekat dari sisi lain halaman. Tatapannya berpindah dari Aru ke Aruna.
Aru menurunkan tangannya, wajahnya meredup. Ia tidak mengerti apa yang salah.
Aruna menoleh sekali lagi sebelum mengikuti langkah ibunya.
“Aru baik, Ma…” gumamnya lirih. “Aku cuma mau bilang terima kasih…”
Karina meremas pelan bahu kecil itu. “Mama tahu. Tapi lain kali bilang dulu, ya? Ini tempat baru, Mama nggak mau kamu hilang atau tersesat.”
Aruna mengangguk, tapi sedih itu masih tinggal.
Rendra membuka pintu mobil, namun sebelum Aruna naik, ia sempat menatap Aru sekali lagi—lama, tanpa kata.
Sesuatu di antara dua bocah itu terasa… aneh. Bukan hubungan baru, tetapi seperti hubungan yang sudah lama tertanam.
Sesampainya di rumah, Aruna masuk kamar tanpa banyak bicara. Ia duduk di meja kecilnya, menatap kelereng biru bening yang diberikan Aru.
Ia memutarnya di telapak tangan.
“Kenapa rasanya… kayak aku kenal dia duluan ya…” bisiknya, tidak yakin pada dirinya sendiri.
Ia mengambil kertas gambar.
Menulis dengan huruf kecil-kecil:
> Untuk Aru
Besok main lagi, ya?
Tapi ia berhenti.
“Mama pasti nggak suka…”
Aruna menggigit bibir, berpikir lama.
Lalu perlahan ia melipat kertas itu, menyelipkannya di dalam tas.
“Besok aja… kalau boleh.”
Bukan rencana besar. Bukan rahasia besar.
Hanya keinginan sederhana seorang anak yang merasa menemukan seseorang yang… seperti bagian dirinya.
Dan di luar kamar, Karina berdiri bersandar ke dinding, mendengar suara lembaran kertas dilipat.
Matanya meredup.
Entah kenapa, ia merasa khawatir—bukan karena Aruna nakal, tapi karena ada sesuatu antara Aru dan Aruna yang tak bisa ia jelaskan.
Keesokan paginya di panti, Aru menatap halaman sambil memegang kelereng yang sama.