NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 10: Puncak dari Dendam yang Sunyi : Darah yang Memanggil Warisan

Fajar yang dingin menolak menembus kabut di atas Desa Hijau. Tidak ada burung yang berkicau, tidak ada suara manusia yang tersisa. Hanya abu, sisa arang, dan udara berat yang berbau besi. Di tengah reruntuhan yang hangus, tubuh Liang Chen terbaring diam, setengah tertutup debu dan serpihan kayu.

Darah di dadanya belum kering. Namun dari celah kulit yang terbelah, cahaya merah kehitaman perlahan merembes keluar, seperti tinta yang mengalir di air. Cahaya itu berdenyut, satu napas setiap beberapa detik, seolah ada jantung lain yang berdetak di dalam tubuhnya.

Udara di sekitar Liang Chen bergetar ringan, menimbulkan suara dengung rendah seperti gong yang ditabuh dari kejauhan. Suara itu semakin kuat, tapi tidak datang dari luar. Ia berasal dari dalam tubuhnya sendiri, dari sesuatu yang lebih tua daripada darahnya.

Di ruang batinnya, kegelapan tidak lagi hening. Ada suara—bisikan yang muncul dari balik tulang dan urat. Suara itu tidak berbahasa, namun Liang Chen memahaminya dengan sempurna, seolah setiap getaran menyentuh inti jiwanya.

“Darah telah menuntut darah.”

“Yang diambil akan dibayar dengan yang diambil.”

“Bangkitlah, anak dari kehancuran. Dunia ini telah menolakmu. Sekarang, ambillah dunia itu.”

Kesadarannya yang samar bergetar. Liang Chen ingin membuka matanya, tetapi kelopak matanya seolah diikat oleh besi panas. Ia mencoba berbicara, tapi yang keluar hanya desah napas parau.

Dalam kabut kesadarannya, ia melihat bayangan hitam tinggi berdiri di antara dua bintang merah. Bayangan itu tidak memiliki wajah, tapi matanya bersinar merah seperti bara yang menunggu tiupan angin.

“Siapa… kau…”

Suara itu menjawab, tenang namun mengguncang udara. “Aku adalah warisan darahmu. Aku adalah bayangan dari amarahmu sendiri. Aku tidak datang dari Langit, tidak pula dari Bumi. Aku adalah Asura, dan kau telah memanggilku.”

Seketika, rasa sakit membanjiri seluruh tubuhnya. Meridian yang dulu tertutup kembali terbuka secara brutal. Suhu di dalam tubuhnya naik, urat-uratnya menegang, dan darahnya menggelegak seperti air mendidih. Liang Chen meronta, tapi tubuhnya tak bergerak.

Setiap detik yang berlalu membawa gambaran samar, wajah ayahnya yang hancur, ibu yang bersimbah darah, dan desa yang terbakar.

Semua itu berputar di benaknya, menjadi bahan bakar bagi panas yang semakin meningkat. Ia tidak bisa lagi membedakan apakah ini ingatan atau mimpi.

Cahaya merah di dadanya kini bersinar lebih terang. Setiap detak membuat tanah di bawah tubuhnya retak halus, seolah energi yang keluar darinya terlalu berat untuk ditahan bumi. Abu di sekitar Liang Chen bergetar, tersapu oleh gelombang tak terlihat.

Lalu, suara itu berbicara lagi, kini lebih pelan, seperti nyanyian yang menipu. “Kau pernah menahan amarahmu karena takut kehilangan cahaya. Sekarang, lihatlah dunia yang telah kau lindungi. Mereka membakarnya. Mereka menghancurkannya. Mereka menertawakanmu.”

Liang Chen mencoba berteriak, tapi tenggorokannya kelu. Ia tidak sadar bahwa air mata mengalir di sudut matanya, bercampur dengan darah yang mengering di pipinya. Suara itu mendesak lagi.

“Jika kau ingin mereka hidup kembali di dalammu, maka biarkan aku mengambil alih. Biarkan darah mereka menjadi pedangmu.”

Kegelapan di sekelilingnya mulai berdenyut bersama cahaya merah di dadanya. Setiap denyutan menimbulkan suara samar seperti napas, panjang, dalam,

dan menakutkan. Tubuh Liang Chen terangkat perlahan dari tanah, hanya beberapa jari dari permukaan, tapi cukup untuk menimbulkan bayangan yang panjang di bawahnya.

Di udara, debu dan abu berputar membentuk pusaran halus. Dari pusaran itu, percikan merah kecil melayang, seperti bara api yang lahir dari udara. Mereka menari di sekitar Liang Chen, lalu menyatu ke dadanya.

Jantungnya berdegup satu kali, kuat, dalam, dan menggema ke segala arah. Getaran itu membuat pepohonan yang tersisa di tepi desa layu seketika. Daun-daun yang masih menempel membusuk dalam hitungan detik.

Suara Asura berbisik lagi, begitu dekat seolah dari balik telinga. “Ketika dunia menolakmu, darah akan menerima. Ketika cahaya meninggalkanmu, bayangan akan menuntunmu.”

Liang Chen tidak menjawab. Tubuhnya masih menggigil, tapi jiwanya yang terperangkap dalam pusaran kegelapan kini tidak lagi menolak. Ia tidak tahu apakah ia menyerah atau setuju. Ia hanya tahu bahwa sesuatu di dalam dirinya terbuka sepenuhnya—seperti pintu besar yang telah lama dikunci kini hancur oleh kekuatan yang lebih tua dari dunia itu sendiri.

Di dunia nyata, aura merah di sekelilingnya menjadi semakin padat. Tanah memanas, udara menjadi berat dan lengket.

Burung-burung di hutan jauh terbang dalam panik, dan serangga yang masih hidup merayap keluar dari tanah hanya untuk mati.

Dari jauh, di antara kabut, seekor anjing liar melolong panjang, suara satu-satunya yang memecah kesunyian. Tapi bahkan lolongan itu segera padam, seolah dunia menahan napas di hadapan sesuatu yang tak boleh disaksikan.

Tanah di bawah tubuh Liang Chen bergetar pelan, lalu pecah dengan suara lirih seperti retakan kaca. Dari celah itu, asap merah tua merembes keluar, menggulung perlahan, mengelilingi tubuhnya yang melayang tak sadar.

Setiap putaran kabut itu membuat udara di sekitarnya menipis, menekan segalanya ke dalam hening yang tak alami.

Batu-batu kecil di sekitarnya terangkat, melayang di udara seolah ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat.

Api sisa pembakaran rumah-rumah di desa mulai redup, tapi panasnya justru meningkat. Aroma besi dan daging hangus menjadi semakin pekat, memenuhi paru-paru dunia yang tak lagi punya suara.

Rumput di bawahnya mengering, memutih, lalu hancur menjadi abu sebelum disentuh angin. Pepohonan di tepi jalan yang terbakar condong ke satu arah, tertarik ke pusat kekuatan itu.

Liang Chen tetap diam, matanya masih tertutup, tapi tubuhnya kini dikelilingi oleh aura merah yang berdenyut pelan seperti nadi bumi yang baru saja bangkit.

Dari dadanya, suara samar terdengar, dalam, berat, seperti bisikan dari dasar laut. “Kau telah menyerahkannya padaku, Liang Chen. Sekarang lihatlah bagaimana dunia menerima darahmu.”

Tubuhnya bergetar, lalu aura merah itu meluas. Setiap gelombang yang keluar menciptakan riak di udara. Kabut tebal berubah menjadi merah, dan abu yang melayang di udara mulai mengelilinginya dalam bentuk spiral.

Liang Chen tampak seperti berada di tengah pusaran badai yang tak bergerak.

Lalu, dari tanah di dekat kakinya, sesuatu bergetar. Pedang Tumpul yang tergeletak di sana, bilahnya yang kotor dan penuh goresan, perlahan mulai bergetar sendiri. Suara logam kasar yang bergesekan dengan batu terdengar, memecah kesunyian.

Pedang itu bergetar semakin keras, lalu melayang perlahan ke udara, sejajar dengan tubuh Liang Chen. Di gagangnya, pola bintang berdarah yang dulu samar kini bersinar terang, merah tua, memancarkan garis-garis halus seperti urat darah yang hidup.

Aura merah dari tubuh Liang Chen mengalir ke pedang itu, menyatu dalam aliran yang lembut namun mengerikan. Logam kusam di bilahnya perlahan menggelap, kehilangan kilaunya, berubah menjadi hitam pekat dengan ujung yang meneteskan darah tipis, seperti napas makhluk hidup.

Pedang itu bergetar sekali lagi, lalu diam—seolah bernapas.

Kesunyian yang panjang mengikuti. Bahkan angin berhenti berembus. Dunia seolah tahu, sesuatu yang seharusnya tidak ada baru saja lahir kembali.

Tiba-tiba, suara petir terdengar jauh di langit, meski tidak ada awan. Suaranya berat dan serak, seperti bumi yang menjerit. Getaran itu menjalar ke tanah, membuat batu dan abu di sekitar Liang Chen terangkat sesaat sebelum jatuh kembali.

Aura merah di sekelilingnya perlahan menurun, tetapi menjadi lebih padat. Kini, bentuknya tidak lagi kabut acak, melainkan lapisan tipis yang menempel pada kulitnya seperti kabut darah yang hidup.

Dari setiap pori-porinya, cahaya merah samar masih keluar, menandakan bahwa proses yang terjadi di dalam tubuhnya belum selesai.

Pedang itu, yang kini telah menjadi hitam sempurna dengan bayangan merah berdenyut di dalam bilahnya, melayang perlahan mendekati tangan Liang Chen. Seolah mengenali tuannya, ia berputar pelan dan berhenti tepat di samping jari-jarinya. Saat itu, Liang Chen bergerak.

Jari-jarinya menutup perlahan, menyentuh gagang pedang itu. Begitu kontak terjadi, udara di sekitarnya meledak diam, tidak ada suara, tapi getaran yang keluar menekan udara, membuat kabut yang menggantung di sekitar terhempas ke segala arah.

Sekejap, mata Liang Chen terbuka sedikit, hanya celah tipis. Dalam kegelapan pupilnya, kilatan merah menyala, berputar sekali sebelum padam lagi. Ia masih belum sadar sepenuhnya, tapi tubuhnya tahu bahwa sesuatu di dalam dirinya telah berubah.

Di bawah kakinya, tanah yang hancur mulai membentuk pola samar, seperti lingkaran besar dengan garis-garis bercabang ke luar. Tidak ada energi Samawi yang mengalir di sana; ini adalah energi dari kematian, dari darah, dari kehancuran.

Cahaya itu tidak memancar ke atas seperti aura kultivasi biasa. Ia turun, menembus tanah, menyerap apa pun yang ada di bawahnya. Dan seiring energi itu meresap, suara bisikan mulai terdengar dari segala arah—pelan, berlapis, dan tak terhitung banyaknya.

“Darah…”

“Darah membayar darah…”

“Pedang yang tertidur telah bangkit…”

Liang Chen tidak tahu bahwa seluruh medan di sekitarnya mulai kehilangan kehidupan. Tidak hanya tumbuhan, bahkan udara itu sendiri terasa seperti sedang mati perlahan. Tapi di dalam kehampaan itu, satu hal tumbuh subur:

energi Asura, liar dan purba, membungkus tubuhnya seperti kepompong dari api merah yang sunyi.

Lalu, dari jauh di ujung jalan desa, terdengar langkah. Tiga sosok berjalan lambat melewati kabut merah yang menutupi pandangan. Mereka adalah manusia, tapi langkah mereka membawa bau busuk dari ketamakan yang masih hidup.

Tiga bayangan itu berjalan melewati abu yang mengambang di udara. Wajah mereka kotor, pakaian mereka compang-camping, dan di tangan mereka ada karung kulit lusuh.

Ketiganya adalah pemulung dari sekte rendah, para pecundang yang melarikan diri dari kekacauan yang dibuat Elder Sekte Raja Naga Berdarah. Mereka tidak datang untuk berperang, mereka datang untuk menjarah.

Yang tertua di antara mereka, dengan rambut beruban dan mata sipit licik, menunjuk ke tengah desa yang hancur. “Lihat itu,” katanya pelan. “Bocah itu masih di situ.”

Mereka bertiga berhenti. Liang Chen berdiri kaku di tengah puing. Di sekelilingnya, aura merah samar berputar lembut, menguap dari kulitnya dan menyatu dengan udara. Di tangannya, pedang hitam berdenyut dengan cahaya darah yang gelap.

“Dia hidup?” tanya salah satu dari mereka, suaranya sedikit bergetar.

Yang lain tertawa pendek, suaranya serak karena debu. “Hidup? Tidak mungkin. Lihat tubuhnya. Dia bahkan tidak berdarah lagi. Itu artefak di dadanya yang masih aktif, itu saja.”

Ketiganya saling berpandangan, dan keserakahan mengalahkan ketakutan. Mereka mendekat perlahan, menyusuri tanah yang masih panas, menginjak sisa-sisa kayu terbakar. Bau daging hangus bercampur darah busuk menusuk hidung mereka, tapi tatapan mereka tak lepas dari Liang Chen.

“Ambil cepat,” kata si beruban. “Kalau dia masih bernapas, penggal saja kepalanya.”

Yang termuda, seorang kultivator tingkat rendah Pembukaan Meridian, maju. Ia mengangkat pisaunya, senjata pendek, murah, dengan ujung tumpul yang menghitam. “Satu tebas, selesai,” gumamnya.

Ia melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar jelas di udara yang sepi. Ketika jaraknya tinggal satu langkah, ia menarik pisaunya tinggi-tinggi, siap menebas leher Liang Chen yang menunduk diam.

Namun sebelum bilah itu turun, sesuatu berubah.

Udara di sekitar Liang Chen berhenti bergerak. Suara angin hilang. Debu yang melayang tiba-tiba berhenti di tempat, beku di udara. Lalu, dengan suara rendah yang nyaris seperti napas, pedang hitam di tangan Liang Chen bergetar. Sekali.

Dentang halus itu menggema panjang, memantul di seluruh desa seperti gema bel dari dunia lain. Dalam sekejap, mata Liang Chen terbuka.

Dua pusaran merah menyala di balik kelopak matanya. Bukan merah biasa, merah darah bercampur hitam, berputar seperti dua bintang mati yang menelan cahaya di sekitarnya. Tidak ada amarah di dalamnya, hanya kehampaan yang begitu dalam hingga menggetarkan udara.

Preman itu berhenti, tubuhnya kaku. Tangannya bergetar, pisaunya terjatuh ke tanah tanpa suara. Matanya menatap Liang Chen, tapi tubuhnya menolak bergerak. “A, apa…” katanya lirih, tapi kata itu terputus.

Liang Chen menatapnya. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Tapi di balik matanya, sesuatu berdenyut, gelombang kekuatan yang tak terlihat, tapi terasa seperti tekanan dari laut dalam.

Dalam sekejap, Pedang Kesunyian Malam bergerak.

Ayunannya tidak cepat, tapi udara di sekitarnya ikut terbelah. Darah meledak tanpa peringatan, menguap menjadi kabut merah di udara. Preman pertama tidak sempat berteriak,

kepalanya terputus bersih, tapi luka di lehernya tidak meneteskan darah; darah itu menghilang, terserap oleh aura merah yang melingkari Liang Chen.

Dua preman lain menjerit dan mundur. Salah satunya melempar Batu Spiritual, berusaha mengeluarkan jurus pertahanan sederhana. Tapi energi biru yang keluar dari batu itu langsung menghitam, terbakar menjadi abu sebelum sempat membentuk perisai.

Mata Liang Chen berputar perlahan. Ia mengangkat tangannya, dan udara di sekitarnya ikut bergerak. Tubuh preman kedua terangkat ke udara seperti boneka.

Ia berteriak, tapi suara itu tersedot oleh kabut darah yang semakin tebal. Lalu, dengan gerakan kecil dari jari Liang Chen, tubuh itu hancur, meledak dalam kabut daging dan darah yang langsung terserap ke dalam tanah.

Hanya tersisa si beruban. Ia jatuh berlutut, gemetar, menatap Liang Chen dengan mata lebar. “A—aku… aku bisa melayanimu! Aku tidak tahu kau yang memiliki warisan itu! Aku akan—”

Suaranya berhenti. Liang Chen berjalan pelan ke arahnya. Langkahnya tak bersuara di atas abu, tapi setiap langkah meninggalkan jejak merah di tanah. Pedang di tangannya menyeret sedikit, menggores tanah dan membakar permukaannya.

Ia berdiri di depan pria itu, menatap ke bawah. Pria itu mengangkat tangannya, memohon. “Ampuni aku…”

Liang Chen mengangkat pedangnya. Tidak ada kata. Tidak ada teriakan. Hanya satu ayunan tenang, dan kepala itu terpisah. Tubuh itu jatuh ke tanah tanpa darah, karena darahnya telah ditelan sebelum menyentuh bumi.

Hening.

Kabut merah mulai memudar perlahan. Liang Chen berdiri di tengah tiga mayat yang sudah kehilangan warna. Udara di sekitarnya hangat, tapi bukan dari api, dari aura Asura yang masih berdenyut pelan, seperti jantung dunia yang baru bangun.

Ia menatap pedangnya. Bilah hitam itu kini benar-benar hidup, menelan cahaya fajar yang pucat. Di permukaannya, samar-samar tampak refleksi wajah Liang Chen sendiri, namun di balik refleksi itu, sesuatu lain menatap balik.

Mata Asura masih berputar perlahan. Liang Chen mencoba menutupnya, tapi kelopak matanya tidak menuruti perintah. Suara bisikan terdengar lagi di dalam kepalanya, lembut dan dingin.

“Ini bukan akhir. Ini permulaan.”

Liang Chen berdiri diam, tubuhnya berguncang, darah segar menetes dari mulutnya. Tapi ia tidak jatuh. Ia memegang pedangnya erat-erat, pandangannya kosong menatap langit.

Langit pagi mulai terang, tapi cahayanya tampak jauh, seperti tak berani menyentuh desa ini. Angin yang lewat membawa debu, tapi tak ada yang mengusik sosok muda itu.

Di tengah keheningan itu, Liang Chen mengangkat wajahnya sedikit. Mata merahnya memantulkan cahaya matahari pertama hari itu, cahaya yang kini tampak kecil dan tak berdaya di hadapan sesuatu yang baru lahir dari darah.

Bab ini berakhir dalam diam. Liang Chen berdiri di tengah dunia yang ia lindungi, kini hancur oleh tangannya sendiri. Ia telah menuntaskan dendam pertamanya, tapi harga yang ia bayar adalah dirinya sendiri.

Dan jauh di dalam dadanya, Warisan Asura tersenyum.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!