Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh
Di tempat lain,
Amanda duduk di salah satu sudut ruangan, mengenakan blus krem sederhana dan jaket tipis. Wajahnya tampak tenang dari luar, tapi mata itu menyimpan banyak hal yang belum selesai.
Di depannya duduk dua pria, Davino, atasannya, dan seorang pria paruh baya dengan jas rapi bernama Roni.
“Terima kasih sudah mau datang, Pak Roni,” ucap Amanda pelan sambil tersenyum sopan. “Dan juga terima kasih, Pak Davino, karena sudah mau repot-repot membantu saya … bahkan sampai ikut menutupi alasan kepindahan saya dari kantor pusat.”
Davino hanya mengangguk kecil. “Kamu nggak perlu minta maaf, Manda. Kadang orang butuh waktu untuk membereskan hidupnya tanpa jadi bahan gosip kantor.”
Nada suaranya tenang, seperti biasa. Tapi dari cara dia menatap Amanda, ada semacam empati yang tulus, tanpa perlu banyak bicara.
Amanda menunduk sebentar. “Saya cuma nggak mau bikin suasana di kantor jadi nggak enak. Apalagi waktu itu semua orang pikir saya pindah ke Bandung karena promosi.”
Roni tersenyum kecil sambil menyesap air mineral di depannya. “Padahal, Ibu hanya pindah ke cabang yang jaraknya tiga blok dari kantor lama,” ujarnya pelan. “Bagus sih, artinya nggak perlu adaptasi banyak.”
Amanda ikut tersenyum tipis. “Iya, tapi alasan sebenarnya kan beda. Saya hanya … butuh menjauh dulu dari semua yang mengingatkan saya pada dia.”
Suasana meja sempat hening beberapa detik. Davino hanya memperbaiki posisi duduknya, sementara Roni meletakkan berkas di atas meja. “Kalau boleh tahu, Bu Amanda,” katanya hati-hati, “Sebenarnya apa yang ingin Ibu lakukan sekarang terkait masalah pernikahan itu?”
Amanda menarik napas panjang. Ia menatap piring di depannya yang masih belum tersentuh. “Saya ingin bercerai, Pak. Saya nggak mau lagi terikat dalam hubungan yang dibangun di atas kebohongan.”
Roni mengangguk pelan. “Baik. Tapi boleh saya tahu dulu kronologinya, supaya saya bisa bantu menyusun berkas dengan jelas?”
Davino menatap ke arah lain, memberi ruang agar percakapan itu berjalan tanpa tekanan. Amanda memandang gelas jusnya beberapa detik sebelum mulai bercerita.
“Saya menikah dengan Azka tiga tahun lalu,” katanya dengan suara rendah tapi mantap. “Waktu itu saya nggak tahu kalau dia sudah punya istri. Dia bilang dia bujang. Semua terlihat wajar, bahkan keluarganya pun tidak pernah muncul di hadapan saya.”
Roni menulis sesuatu di notes kecilnya. “Lalu, kapan Ibu tahu?”
Amanda tersenyum getir. “Beberapa minggu lalu. Saat saya ikut Mas Azka keluar kota dan bertemu sahabat saya. Ternyata dia telah menikah lima tahun dengan Yuni." Ia berhenti sejenak, menarik napas gemetar. “Dan dari situ semuanya terbongkar.”
Roni menatapnya dengan ekspresi penuh simpati. “Berarti, selama ini Ibu benar-benar tidak tahu?”
Amanda menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Kalau saya tahu, saya nggak akan mau jadi orang ketiga dalam rumah tangga siapa pun. Apa lagi istrinya sahabat saya.” Suaranya nyaris pecah di akhir kalimat itu.
Davino menatapnya sekilas, tapi tetap diam. Ia tahu, yang dibutuhkan Amanda malam ini bukan penghakiman atau simpati yang berlebihan. Hanya ruang untuk bicara.
“Saya masih nggak percaya, Pak,” lanjut Amanda lirih. “Orang yang saya pikir tulus, yang selalu bilang ingin membangun masa depan bersama … ternyata membohongi saya dari awal. Dia bahkan menikahi saya tanpa menceraikan istrinya dulu.”
Roni mengangguk lagi, kali ini dengan nada lebih serius. “Kalau begitu, posisi hukum Ibu cukup kuat. Kita bisa ajukan gugatan cerai sekaligus laporan pernikahan tidak sah karena dilakukan tanpa izin dari istri pertama. Tapi, kalau Ibu hanya ingin berpisah secara resmi tanpa memperpanjang ke ranah hukum, kita bisa buat gugatan cerai sipil saja.”
Amanda mengangkat pandangannya, matanya mulai berkaca. “Saya nggak mau balas dendam, Pak. Saya cuma mau selesai. Saya mau bebas dari semua ini. Dari nama dia, dari kenangan, dari rasa bersalah yang bukan seharusnya saya tanggung.”
Davino akhirnya bersuara pelan, suaranya dalam tapi lembut. “Itu keputusan yang tepat, Manda. Kadang langkah terbaik adalah berhenti menyalahkan diri sendiri.”
Amanda menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak. Saya tahu, kalau bukan karena Bapak bantu menutupi semuanya, mungkin saya sudah dipecat.”
Davino menggeleng. “Bukan menutupi, Manda. Saya hanya menghormati privasi kamu. Semua orang berhak punya waktu untuk membereskan luka mereka.”
Suasana di meja itu menjadi sedikit lebih ringan. Pelayan datang membawa hidangan mereka, steak untuk Davino, salad untuk Amanda, dan pasta untuk Roni.
Aroma masakan mengisi udara, tapi Amanda hanya mengaduk-aduk sayurannya tanpa niat makan.
Roni memperhatikan dengan sopan. “Saya akan siapkan berkasnya besok pagi, Bu. Mungkin Ibu bisa datang ke kantor saya lusa depan untuk tanda tangan surat kuasa. Setelah itu, kita urus semuanya secara resmi.”
Amanda mengangguk pelan. “Baik, Pak. Saya akan datang.”
Davino menatap jam tangannya. “Sudah hampir jam sembilan. Kalau kalian sudah selesai, sebaiknya kita pulang. Hujan makin deras di luar.”
Roni mengangguk, lalu berdiri lebih dulu. “Kalau begitu, saya pamit duluan. Senang bisa membantu, Bu Amanda.”
“Terima kasih banyak, Pak Roni,” balas Amanda sopan.
Setelah pengacara itu pergi, tinggal mereka berdua di meja itu. Hujan turun deras di luar, menampar kaca jendela restoran dengan suara ritmis.
Davino menatap ke luar sejenak, lalu kembali memandang Amanda. “Kamu udah ada yang jemput?”
Amanda menggeleng. “Nggak, saya tadi naik ojek online. Tapi kayaknya susah kalau pesan sekarang, sinyal jelek.”
“Kalau begitu biar saya antar,” kata Davino tenang.
Amanda cepat-cepat menolak. “Ah, nggak usah, Pak. Nanti repot. Rumah saya juga dekat kok, cuma sepuluh menit.”
“Tapi kamu nggak bawa payung, dan hujan kayak begini bisa lama berhenti,” ujar Davino sambil melirik ke luar. “Saya juga lewat arah sana. Anggap aja sekalian.”
Amanda ragu sejenak. Ia tak suka merepotkan siapa pun, apalagi atasannya sendiri. Tapi melihat hujan yang makin deras, ia akhirnya menghela napas dan mengangguk. “Baiklah, kalau begitu. Tapi saya nebeng sampai depan gang saja, Pak.”
Davino tersenyum kecil. “Terserah kamu.”
Mereka berjalan keluar restoran dengan cepat, menembus guyuran hujan yang deras di bawah satu payung besar. Amanda sedikit menunduk, jaketnya sudah lembap. Udara malam terasa dingin, tapi ada semacam kehangatan aneh dari cara Davino menuntunnya menuju mobil.
Begitu masuk, aroma kulit sintetis dari interior mobil menyambut mereka. Suara hujan di atap mobil terdengar seperti musik yang tak beraturan.
Sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Hanya suara wiper yang bergerak ritmis memecah keheningan.
Setelah beberapa menit, Davino membuka percakapan pelan. “Kamu yakin mau jalani proses cerai ini sendiri?”
Amanda menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang tampak buram oleh hujan. “Iya. Saya harus belajar menyelesaikan semuanya sendiri. Saya udah terlalu lama bergantung pada orang yang salah.”
Davino tidak menjawab. Ia hanya menatap jalan di depan. Tapi di matanya, ada sesuatu, mungkin rasa iba, mungkin kekaguman pada keberanian Amanda yang memilih pergi ketika tahu dirinya disakiti.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan gang kecil. Hujan masih turun, tapi sudah mulai mereda.
“Terima kasih, Pak,” ucap Amanda lembut sambil membuka pintu. “Maaf sudah merepotkan.”
Davino hanya mengangguk. “Hati-hati, Manda. Kalau butuh bantuan, kamu tahu bisa hubungi saya.”
Amanda tersenyum tipis. “Saya tahu. Terima kasih, Pak.”
Ia keluar dari mobil, berjalan cepat menembus gerimis. Tapi sebelum langkahnya benar-benar menjauh, ia sempat menoleh sekilas. Davino masih duduk di dalam mobil, menatap ke arahnya sampai ia hilang di tikungan.
Mobil itu tak langsung pergi. Davino menatap hujan di kaca depan cukup lama, sebelum akhirnya menyalakan mesin dan melaju perlahan meninggalkan tempat itu.
supaya adil tdk ada yg tersakiti..
amanda dan yuni berpisah saja..
klo terus bersm yuni hanya amanda yg diikiran azka ..hanya u status nathan..
klo terus dengan amanda..azka melepas yuni merampas nathan..bagai mana perasaan yuni apalagi amanda sahabat nya..
kita mah pembaca nurut aja gimana kak authornya..walau baper gemesh😂😂😂