Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Pindah Sekolah?
Berada di tempat lain, pagi ini Langit sudah berjalan santai ke rumah Senja untuk sarapan. Tadi malam Luna pulang agak telat karena kerja kelompok dengan teman kuliahnya, pagi ini gadis itu juga lebih cepat berangkat. Ini bukan disengaja oleh Luna, tetapi karena memang tuntutan tugas kuliah.
“Sayaang! Aku sampee, niih!” teriak Langit, heboh seperti biasa.
Tadi pagi-pagi sekali Senja sudah mendatangi rumah Langit dan mengguyur sang tunangan seperti biasa. Setelah memastikan Langit mandi, barulah Senja pulang, dan menunggu sang kekasih ke rumahnya untuk sarapan. Akhirnya kini Langit datang dengan seragam berantakan seperti biasa.
“Eh, Langit, kamu udah dateng.” Gesyila tersenyum kepada Langit yang baru masuk ke dalam rumah. “Dasi kamu gak rapi, biar aku bantu rapiin, ya.”
“Gak usah, ini tugas Senja,” jawab Langit terus melangkah. “Senjaa Sayaaang!”
“Senja baru aja mandi, dia tadi bantu Tante Fema masak. Biar aku bantu aja pasang dasinya, kasian Senja nanti buru-buru.” Gesyila tersenyum dan mendekat, berniat meraih dasi Langit.
Pats ...
Langit menepis tangan gadis itu, sehingga mengejutkan Gesyila. Ia mendongak dan menatap Langit yang menatapnya datar.
“Gue gak suka disentuh cewek selain Senja. Lo biasa pegang-pegang cowok sembarangan, ya?” decih Langit, kemudian pergi dari sana.
Gesyila mengepalkan tangannya melihat Langit bergerak menaiki tangga sembari terus memekik memanggil Senja. Ia menggeram, tetapi masih mencoba mengontrol ekspresi wajahnya.
“Gesyila.”
Gesyila sedikit terkejut, ia menoleh dan tersenyum kepada Fema yang baru saja menyapanya. “Pagi, Tante.”
“Pagi juga, kamu udah laper, ya? Ayo ke meja makan, kita tinggal nunggu yang lain aja. Tante denger tadi suara Langit teriak-teriak manggil Senja. Mana anaknya?”
“Oh, dia ke kamar Senja, Tante. Mau aku panggilin mereka? Tadi Langit katanya udah laper, tapi Senja kayaknya masih mandi.”
“Iya kah? Boleh, kamu panggil aja Langit. Senja biasa makan telat juga, dia makannya cepet, nanti bisa nyusul. Gak papa kamu naik ke atas?” tanya Fema.
“Gak papa, Tante. Aku panggil dulu, ya, Tante.”
“Iya, makasih, ya.”
“Santai aja, Tante.” Gesyila bergerak menuju tangga, perlahan ia mulai menaiki satu per satu anak tangga tersebut. “Ck, melelahkan sebenarnya, harus naik tangga begini. Kalau di rumah ‘kan pakai lift,” sambungnya di dalam hati.
Senja sedang memperbaiki tatanan rambut Langit yang sangat berantakan. Ini sudah menjadi kesehariannya, ia melakukan itu dengan senang hati.
“Apa gak bisa kamu, sehari aja urusin rambut ini biar lebih rapi?” tanya Senja heran.
“Gak bisa, maunya kamu yang urus tiap pagi.”
Senja menggulir bola matanya. “Udah, sekarang dasi.”
Berikutnya Senja memasang dasi Langit lebih rapi. Tangannya sudah lincah mengurus benda panjang itu, meski dirinya belum menjadi seorang istri. Situasi seperti ini malah menjadi favorit bagi Langit, ia terus memandangi wajah cantik sang tunangan dari jarak begitu dekat.
Langit tersenyum memperhatikan wajah serius Senja. “Cantiknya,” bisik Langit menggoda sang kekasih.
“Secantik siapa?”
“Secantik bidadari di hati aku, namanya Senja Ociana. Kalo tiap liat dia, beuh ... jantung aku langsung berdebar-debar. Jedag-jedug-jedag-jedug!”
Senja tertawa sembari memukul dada Langit gemas. “Masih pagi udah ngegembel. Udah, selesai, kamu turun duluan sana.”
“Gak mau, maunya nungguin kamu.” Langit mencuri satu kecupan di pipi Senja yang baru selesai memasang dasinya.
Gesyila yang datang tepat waktu, terdiam sejenak, kemudian berdeham di depan pintu kamar Senja. Dehaman itu menarik perhatian sepasang insan tersebut.
Gesyila tersenyum kepada Senja. “Sorry, Ja, Tante Fema panggil buat turun ke bawah, sarapan.”
“Iya, Kak, ini kita mau turun sekarang. Lo malah jadi repot naik ke sini, sorry, ya,” balas Senja.
“Gak papa, kok,” jawab Gesyila masih dengan senyumnya.
“Ayo kita turun, lo pasti udah laper banget, ‘kan, Kak? Harusnya tadi Mama ajak lo makan duluan aja tanpa harus nunggu gue, ha-ha, sorry, Kak.”
“Gak juga, kok, belum terlalu laper.” Gesyila menyahut sembari melirik Langit yang tengah menciumi rambut panjang Senja. “Sekolah di Indonesia seru, gak, Ja?”
Senja menoleh di sela langkahnya. “Seru, kok. Tapi, ya, tergantung pendapat dan perasaan orang-orang juga, sih. Kalo bagi gue pribadi, ya, seru.”
“Kalo misal aku pindah ke Indonesia, gimana, ya? Takutnya nanti aku gak bisa beradaptasi,” tutur Gesyila.
“Wah, ada niat mau pindah, Kak? Kenapa, malah enak kayaknya sekolah di LA, apalagi udah tahun terakhir juga, ‘kan?”
“Yah, kayaknya lebih seru di sini.”
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh