NovelToon NovelToon
Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Married By Mistake (Terpaksa Menikahi Sahabat)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Persahabatan / Romansa
Popularitas:864
Nilai: 5
Nama Author: Moira Ninochka Margo

"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"

Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.

Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.

Apa yang terjadi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DUAPULUH DUA PILIHAN—Nesya Firhan

            BARU pukul lima pagi, Firhan telah membangunkan aku untuk jogging pagi sekaligus melihat sunrise di pantai Losari. Udaranya sangat sejuk hingga membuat pipiku terasa dingin, terlebih saat angin sepoi menerpa wajah. Angin laut memang sangat sejuk dan segar.

Kami memang telah berada di sini duduk di Gapura tepat menghadap ke arah pantai laut lepas dan menantikan sunrise yang sebentar lagi. Pantai ini banyak peminatnya dan sudah sedari dulu memang. Cukup ramai peminat menyaksikan sunrise dan beberapa dari kalangan anak muda.

Firhan menggenggam erat tanganku dengan kedua tangan untuk menghangatkan. Rasanya memakai jaket tebal saja tidak cukup menangkal rasa dingin ini.

Sejak kejadian tiga hari yang lalu itu, Suamiku berhasil menghibur dan membuat aku tidak sedih dan memikirkan Daniel. Entah bagaimana, tetapi cinta untuk Daniel telah hilang, bahkan kesedihan ini hanya karena rasa iba belaka, entahlah.

"Apa kita pulang saja?" gelenganku membuat guratan samar di keningnya nampak. "Aku sudah lama menantikan moment seperti ini, kenapa malah pulang?" Dia menyengir lalu mengusap rambutku.

Semburat jingga mulai tampak, pertanda moment indah itu di mulai.

"Pejamkan matamu!" titah Firhan yang duduk di sebelahku sedari tadi, lalu telapak tangannya berada di depan mata saat wajahnya berada di samping wajahku dan menutup mata kami berdua. "Satu ... Dua ... Tiga … buka!" seru Firhan dan tangannya kini turun yang bersamaan membuka mata.

Matahari muncul di lautan lepas sana dan terbit begitu indahnya. Sangat indah hingga membuatku nyaris menganga karena terkagum sejenak. Dia memang sangat tahu, hal-hal yang begitu kusukai.

"I love you." Bisiknya, kemudian menyambar pipiku untuk mengecupnya. Raut wajahku tak bisa menahan untuk tidak berseri dan tersipu malu.

"Ih, dilihat orang, Fir, " tegurku malu-malu pada lelaki yang tersenyum lembut dan bahagianya di sebelahku sembari masih menggenggam erat tangan ini.

"Biarin!" Bisiknya lagi yang membuat aku tersenyum malu, lalu mengaitkan lengannya di lenganku.

Andai saja bukan depan umum, sudah aku peluk lelaki menggemaskan dan penuh kejutan ini!

Yeah, di kota ini, moral dan etika di junjung tinggi. Kebanyakan yang bisa ditoleransi hanya berpegangan tangan. Bahkan jika berani memeluk, pun mereka akan menatap seperti tengah melihat seorang pencuri di sana begitu sinisnya.

Setelah berkeliling di pantai ini, bahkan mengunjungi mesjid yang berada di pinggir Losari Beach, lalu bangunan Fort Rotterdam akan kaya cagar dan budaya peninggalan penjajahan dulu dan sempat melintasi Monumen Mandala yang nyaris mirip Monumen Nasional di Jakarta, Firhan kemudian membawaku ke tempat lain lagi yang tentu hanya dirinya yang tahu.

"Jadi, lagi-lagi kejutan?" tanyaku saat berada dalam mobil dan lelaki di sebelah itu tengah menyetir dengan senyum licik penuh kemenangannya, hingga untuk kali kesekian membuat rasa penasaran menari-nari dipikiran.

"Sangat benar, Nona sayang!" Aku mengerucutkan bibir, yang hanya di balas nyengir lalu kekehan menyebalkannya itu.

"Beri aku clue-nya?" pintaku yang masih tak memandangnya sembari bersedekap. Aku tersenyum diam-diam dengan kalimatku. Kedengarannya bukan meminta, tapi kesannya mendesak dan menuntut.

"Oke, tidak masalah. Kamu pasti tidak bisa menebak."

"Oh, ya? Kalau begitu mulailah, si Tuan penuh kejutan dan peramal!" tantangku menggodanya sembari tersenyum manis dan menaikkan alis berulang kali ketika posisi tubuhku berubah menghadap kearahnya dan tanganku menungkai ke tepi jendela mobil hingga menopang kepalaku. Firhan terkekeh.

"Baiklah, dengarkan ini! Panas, tapi lembab, pasir dan … zwur … zwur.... "

Kepalaku memutar seketika dan memandang heran dengan alis mengernyit saat mendengar kalimat terakhir itu, ketika sejenak kepalaku menoleh ke arah jendela memerhatikan jalan-jalan yang mulai padat.

Nah, kalimat itu yang tidak bisa di terima otakku!

"Apa-apaan itu ‘zwur-zwur’? Itu bukan clue, tuan penuh kejutan," sambarku mengoreksi dan protes dengan kosakatanya.

Dia berusaha menahan senyum. "Loh, kenapa? Itu memang clue-ku dan pemilihan kataku! Apa yang salah?" elaknya membela diri.

"Tapi clue konyolmu yang terakhir itu tidak bisa di terima oleh akal sehatku!" Lagi-lagi aku bersikeras.

Dia tergelak. "Tapi akal sehatku bisa, kok!" timpal Firhan dengan innocent yang ikut bersikeras.

"Tapi—"

"Tapi aku mencintaimu!" sambar dia yang nyaris berbisik yang membuat aku berhasil diam dan kalah dengan perdebatan ini sembari tersenyum menunduk. Pipiku memanas lagi karena malu dan menarikku dalam rengkuhan Firhan.

Tidak butuh waktu lama, mobil berhenti dan terparkir di depan lorong besar dengan pamflet besar bertuliskan Selamat Datang Di Pulau Lae-Lae. Kami lalu masuk sembari tangan Firhan masih menggenggam erat tangan ini.

Tidak cukup waktu semenit, kami sudah sampai di dermaga kecil yang di tepinya beberapa perahu wisata berukuran sedang kini berjejer. Setelah berjalan di atas lantai kayu, Firhan lalu melompat masuk ke salah satu anjungan kapal yang dekat dari tepi dermaga, lalu mengulurkan tangan dia ke arahku dan membantu masuk ke dalam kapal itu yang bergoyang kerana ombak, menginjak bagian anjungan kapal, kemudian melangkah dengan hati-hati dua dek di depan dan duduk di tengah-tengah, di sebelah Firhan. Suamiku itu sepertinya menikmati perjalanannya. namun, aku sangat tegang di atas sana sembari mengaitkan lenganku di lengannya, terlebih saat kapal melaju dengan kecepatan normal dan membuat desiran ombak terdengar saat membelah lautan. Percikan airnya mengenai wajahku sembari rambut panjangku bergoyang-goyang saat di terpa angin laut dan membuat rasa tegang ini meleleh dan relaks. Terlebih, saat Firhan meremas tanganku dan tersenyum manis. Perjalanan mengarungi lautan ini tidak jauh, hanya membutuhkan waktu kurang dari lima belas menit tepat di sebelah barat laut, pulau yang tidak luas itu terlihat.

Setelah sampai di dermaga kecil pula dengan jembatan kayu berwarna kecokelatan, kapal itu lalu pergi. Pulaunya sangat ramai. Kata Firhan, mereka penduduk pulau ini. Bangunan-bangunan rumah di sini kebanyakan berukuran kecil dan bergaya sederhana. Sepanjang jalan setapak kecil dengan dikelilingi rumah—yang mata-mata kelewat penasaran itu memandang kami sepanjang jalan menuju tempat yang Firhan maksud. Setelah berbelok ke kanan dan tak ada rumah lagi, hamparan laut indah yang berkilau dengan pasir hitam dan putihnya membuat aku merasa nyaman seketika. Beberapa orang di sekitaran sana tengah bersenda gurau sembari berenang di laut itu. Di tepi laut, ada saung berjejer yang terbuat dari bambu dan kayu dengan beratap daun kelapa. Suasana di sini seketika membuat aku benar-benar tenang.

Angin yang kencang hingga menerpa rambut dan kulit, cuaca yang panas namun tak menyengat, desiran ombak yang sesekali terdengar saat hempasan keras ombak besar di batu-batu karang yang berada di tepi laut, dan pemandangan ombak yang bergulung dan berkilau indah. Sungguh pemandangan eksotik yang benar-benar begitu indah, di tambah dengan lambaian pepohonan kelapa yang menari-nari daunnya ketika angin bertiup.

Firhan langsung menggendongku dan membawa kepermukaan laut yang membuat aku tertawa lepas, begitu pun dia.

"Jadi, Tuan pemberi kejutan, apa ini maksud dari clue-mu tadi?"

Dia mengangguk mantap dan tersenyum lebar penuh kemenangan, seperti baru saja memenangkan sebuah lotere.

"Dan 'zwur-zwur' itu?"

Dia tertawa. "Itu di maksudkan untuk suara mesin kapal dan paduan suara ombak,"

Aku terdiam menghayati kalimatnya, mengulang kalimat itu terus-menerus di otakku hingga mengernyit heran.

Zwur-zwur dengan suara mesin kapal dan ombak? Memangnya sama?

Lagi, dia terkekeh melihat raut wajah bingungku. Lalu, "Sudahlah! Waktunya mandi, Sayang!" seru Firhan riang lalu menyiramkan air laut ke arahku menggunakan tangannya yang membuat aku membalasnya sembari terkekeh.

 

...* * *...

 

"Fir, ayolah, aku ingin berfoto di depan Monumen Mandala, ya, ya?" rengek Nesya Manja yang tetap bersikeras membujuk.

Sebenarnya aku tidak ingin dia ke sana. Ini sudah sangat senja, menjelang malam dan seharian tadi kami jalan-jalan. Aku hanya tidak ingin membuat dia kelelahan, di tambah lagi usia kandungannya memasuki tujuh bulan.

"Fir, demi anak kita! Tuh, nendang-nendang, lompat-lompat kegirangan di dalam. Kamu mau, kalau misalnya anak kita laki-laki, terus dia bisa-bisa lahir nanti besarnya jadi anggota cheers saking hebatnya dia melompat-lompat di dalam?" Aku menghela napas setelah memutar mata.

Gadis ini bercanda lagi!

Raut wajahnya mengulum senyum.

Oh, mulai ngerjain? Baiklah!

"Tidak baik mengatakan seperti itu. Kalau didengar bayi kita di dalam sana, bisa-bisa dia sudah planning bercita-cita menjadi kapten cheers."

"Husstt, ngomong apa, sih?" sambar Nesya menyela tidak bisa menahan senyumannya, lalu tertawa.

"Kamu yang duluan lelucon seperti itu!" belaku tersenyum dan Nesya menggelayut manja di lenganku.

"Makanya, ayo! Ya, ya?" rayunya mencoba lagi sembari memperlihatkan senyuman manisnya yang membuat aku menyerah dan tersenyum sembari mengusap rambut gadis itu, setelah mendesah mengalah.

"Baiklah, kita ke sana!"

"Horeeee!" Serunya riang yang membuat senyuman ini semakin merekah.

Selalu saja, tingkah kekanak-kanakan dan manjanya itu terkadang membuat aku tersenyum.

Aku mencintainya, Tuhan, bahkan melebihi nyawaku sendiri!

Setelah memutar mobil dan ke arah timur, tidak butuh limabelas menit, mobil tiba dan berhenti tepat di depan Monumen Nasional ini. Dengan antusias, Nesya langsung memintaku memotret di ponsel dia, tepat di depan bangunan kokoh yang berdiri menjulang tinggi. Satu pose, dua, dan.... "FIR, AWAS!! " pekik Nesya dalam teriakan ketakutan dan kecemasannya sembari berusaha menyelamatkanku.

Istriku itu berhasil menyelamatkan aku saat menarik tubuh ini di tempat yang aman, namun motor dari arah berlawanan menabraknya dan membuatnya terlempar dan jatuh.

 

...* * *...

 

            Entah mengapa, rasanya tubuhku bagai tak bernyawa. Selepas kejadian itu, aku benar-benar lemas dan hanya memandang tubuh rapuhnya yang tengah berbaring lemah itu di sana, tak berdaya. Rasanya hidupku hancur saat melihat dia di sana terluka. Kecelakaan itu, membuat dirinya benar-benar tak sadarkan diri yang sudah dua hari. Tubuhnya dipasangkan alat-alat dan selang juga kantung darah karena mengalami banyak pendarahan.

Dokter bilang, dia harus di operasi untuk mengeluarkan bayi yang kini telah meninggal dalam kandungan akibat kecelakaan itu dan saat ini berusaha menghentikan pendarahan di rahimnya.

Tuhan, apa saja, asal dia selamat!

Lagi-lagi aku meremas rambut. Tanganku saat ini telah menggenggam tangannya dan menenggelamkan wajahku di telapak tangan lembut itu. Telapak tangan yang selalu mengelus rambutku, telapak tangan yang terkadang menyuapiku penuh kasih, telapak tangan yang mengusap airmataku, telapak tangan yang merawat hingga tak jarang mengusap kesedihan dan luka ini dalam hidup yang terkadang aku sembunyikan di hadapannya. Entah kemana ia saat ini, aku benar-benar sangat rindu padanya.

ku-usap wajahnya dan membiarkan kenangan itu menari-nari di pikiranku. Terlebih kini merecoki dan menemani dalam bayangnya, berselimut kesedihan yang mulai menjerat damaiku.

"Wherever you go, whatever you do, I will be right here waiting for you. Whatever it takes Or how my heart breaks, I will be right here waiting for you.… "

Suaraku terdengar pilu dan bergetar ketika menyanyikan dan membisikkan lagu favorite ‘nina bobo’ Nesya sembari mengusap-usap rambut dan wajahnya yang di perban. Air mataku tak henti-hentinya mengalir sambil menyandarkan kepala di bahunya yang saat ini tengah memeluk dengan penuh terisak.

"Bangunlah, Sayang, aku mohon? " suaraku lagi-lagi bergetar yang masih membenamkan wajahku di bahunya. Tubuhku terguncang saat menangis dan terisak sambil mengusap kepalanya. "Aku benar-benar membutuhkanmu Nesya, aku mencintaimu,"

"Maaf, Pak, pasien harus di bawa ke ruang operasi. Kita harus mengeluarkan bayi itu dalam rahimnya,"

Suara perempuan yang merupakan perawat di sini terdengar tetiba yang memberikan informasi hingga membuat aku benar-benar lemas dan terpuruk. Tubuh yang masih tidak sadarkan diri itu akhirnya di bawa ke ruang operasi.

Aku hanya duduk tak berdaya di ruang tunggu, menatap kosong dengan airmata yang masih mengalir.

"Dokter, di mana ruang perawatan atas nama Nyonya Amanda Salma?" Suara gadis yang mengandung cemas dan sedih yang terdeteksi di indera pendengarku, seketika membuat kepalaku berputar cepat menoleh ke sumber suara tersebut yang tak jauh dari tempatku berdiri.

Seorang gadis berambut ikal tengah berdiri di ruang informasi dan bertanya pada staf informan itu.

"Isti?" suaraku keluar begitu saja dan tak terkendali saat menyadari dia menyebutkan nama yang dicarinya dan hingga membuatku meneteskan airmata.

Tubuhnya terhenyak di sana kala wajah itu berhasil menangkapku yang tengah menatapnya hampa dalam kebingungan dan heran lalu detik kemudian adikku itu berlari menghampiri dan menangis di dadaku.

Yeah, nama itu! Itu nama ibu! Apa yang terjadi dengannya?

"Ada apa dengan Ibu?"

Dia semakin menangis terisak. Tubuhnya bergetar dalam dekapanku. "Ibu koma saat baru tiba kemarin di sini! Dia bersama Ayah, dan aku baru menyusul kemari. Kata Ayah, Dokter bilang, Ibu terkena serangan jantung dan koma. Ibu sekarang di ruang ICU, Kak."

Airmata itu mengalir begitu saja di pipi ini dan membuat syarafku serasa mati rasa. Rasanya dadaku bergemuruh dan berontak, sesaknya bahkan seperti menikam, tapi aku hanya bisa terdiam rapuh di sini yang sangat membuatku semakin sesak.

"Mengapa kakak ada di sini? Apa yang terjadi?"

"Temuilah ayah, kakak akan menyusulmu," tukasku saat ia memandangku sejenak dalam penuh linangan airmata, lalu Isti mengangguk patuh dan pergi meninggalkanku.

Dalam waktu yang sama, dua perempuan yang sekaligus surgaku berada di situasi yang membuat aku benar-benar tak berdaya dan hampa. Rasanya sungguh membuat aku gila.

Ada apa dengan semua ini? Di Rumah Sakit berbeda, temanku koma dan belum sadarkan diri hingga saat ini. Dan di waktu yang sama, di Rumah Sakit ini, yang sama pula, kedua surga dan permata hidupku tengah berjuang mempertahankan hidupnya.

Ibu koma dan Istriku operasi? Oh, Tuhan, sungguh? Apa yang lebih menyesakkan lagi dari ini? Lalu apa yang harus kulakukan, Tuhan? Siapa yang harus kujaga dan kutunggu?

Aku meremas rambutku dan berjongkok menyandarkan tubuh di dinding. Airmataku lagi-lagi mengalir. Pilihan yang benar-benar sulit dan sama-sama berharga yang membuat dadaku semakin bergemuruh, berontak dan perih.

Kakiku melangkah, melangkah dan melangkah bagai mayat hidup yang begitu sesak setelah susah payah berdebat dengan batin.

"Jika suatu saat nanti, ada yang bertanya padamu, pilih Ibu atau kekasihmu, siapa yang akan kamu pilih?" tanyaku memandang Nesya saat kami bercengkerama di tempat tidur, seraya mengelus-elus lembut rambut dan kening ini sambil kepala masih bersandar di pangkuannya.

"Jika Suamiku yang mengalami itu dan di minta memilih, dengan bangga aku memintanya memilih ibu,"

"Mengapa?" tanyaku menatapnya serius, saat ia mulai menjawab namun senyuman manis itu merekah terlebih dahulu dan seperti menerawang pandangannya.

"Karena ibu lebih dari segalanya. Istrimu memang teman hidupmu, kekasih hidupmu, tapi ibu-lah segalanya. Istri menemani hidupmu, tapi seorang ibu rela menukar kehidupannya demi sang anak lahir. Istri menemanimu dalam suka dan duka, tapi seorang ibu rela melakukan apa saja agar sang anak bahagia. Kamu tahu, Fir? Tidak ada ketulusan yang mengalahkan ketulusan seorang ibu, begitu pun cintanya, dan itu merupakan perwujudan nyata atas kasih sayang dan cinta Allah. Bahkan, Baginda Rasulullah, Muhammad kita pernah mengatakan dan berpesan, ibumu, ibumu, ibumu, lalu Ayahmu! Mengapa ibu bahkan menyebut hingga tiga kali? Karena kesempurnaan cinta dan kasih yang nyata adalah terletak dari seorang ibu, surga ibu,"

Ingatan itu terus menari-nari di pikiranku sepanjang melewati koridor rumah sakit ini yang mulai terasa mencekam bagiku.

 

...* * * *...

1
Noveria_MawarViani
mampir juga ya ke novelku
Noveria_MawarViani
romantis banget
Noveria_MawarViani
bagus ceritanya
tasha angin
Gak sabar nunggu kelanjutannya!
Moira Ninochka Margo: halo kak, makasih udah baca, udah di up ya sampai bab 10
total 1 replies
Sky blue
Salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap!
Moira Ninochka Margo: halo, makasih udah mampir dan support. Moga betah, hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!