Karya Asli By Kiboy.
Araya—serta kekurangan dan perjuangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KiboyGemoy!, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Cahaya matahari mulai menyinari wajah Rifan yang tertidur terlentang di atas ranjang. Pemuda itu mengerjapkan matanya, meraih ponsel yang sudah berada tepat di depan wajah.
Kembali membuka layar ponsel. Satu pesan dari Araya masih belum ada. Padahal pemuda itu begadang semalam, hanya untuk mendapatkan pesan dari Araya.
Rifan berdiri dari ranjangnya berjalan menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya, setelah itu memakai seragam.
"Rifan, makan dulu sayang," panggil Tita saat Rifan sudah turun dari tangga.
"Aku makan di sekolah saja, Ma," ucapnya terus melangkah keluar rumah.
Tita menatap anaknya dengan tatapan sedih. "Sepertinya dia banyak pikiran dari semalam," lirihnya.
"Sepertinya begitu," jawab Rusman.
.
.
Di sisi lain, Araya sudah rapi dengan seragamnya. Ia sudah sarapan. Gadis itu kini berada di luar apartemen menunggu jemputan dari Rifan.
Bibir gadis itu mengembang membentuk senyum lebar saat Rifan sudah sampai.
"Pagi," sapanya.
Rifan tidak menjawab, pemuda itu menyodorkan helm untuknya tanpa sepatah katapun.
Araya yang merasa baik-baik saja menerima helm tersebut dengan senang, naik ke atas jok motor lalu memegng kedua bahu Rifan.
"Sudah siap," ucapnya keras dari belakang.
Rifan pun mulai menancap gas motor dan beelau pergi.
Selama perjalanan tidak ada keseruan sama sekali, Araya diam begitupun dengan Rifan. Entah, ada apa dengan keduanya.
"Apa dia memilih diam daripada berbicara padaku?" batin Rifan kesal.
Sesampainya di parkiran sekolah, Araya turun dan memberikan helm yang ia pakai pada Rifan. Pemuda itu menerimanya namun sedikit terasa kasar.
"Rifan nanti..." Belum sempat berbicara banyak Rifan sudah pergi begitu saja.
Araya mengerut bingung, tidak peduli gadis itu ikut melangkah di sebelahnya.
Di dalam kelas benar-benar tidak memiliki semnagat, Rifan bermain game dan Araya membaca buku seperti biasanya.
Rifan sesekali akan melirik ke arah Araya yang tisk peduli dengan perubahan sikapnya, sama sekali tidak? Rifan membuang napas kasar, benar-benar menjengkelkan.
Araya yang selesai membaca bukunya, menoleh ke arah Rifan, gadis itu tersenyum lalu memajukan jari tunjuknya untuk menyentuh pipi Rifan. Rifan menoleh sejenak.
"Apa kamu mau ikut nanti sore? Buat latihan terakhir," tanya-Nya.
Dalam hari Rifan menggerutu kesal karena ternyata Araya masih saja belum peka denhan perubahan sikapnya yang—dingin.
"Hmm."
Araya tersenyum, gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Aku punga ini, apa kamu mau?" tanya-Nya.
Rifan diam tidak menjawab.
"Tidak mau? Yasudah."
Benar-benar tidak peka, padahal jelas-jelas Rifan berbicara singkat dengan wjaar datar. Namun, dia tetap saja tidak peka
⊙.☉.
Selesai makan di kantin Rifan semakin merasa jengkel atas tidak kepekaan Araya terhadap perubahan sikapnya. Pemuda itu melirik kenarah Araya yang berjalan dengan santai tanpa berniat bertanya ada apa dengannya.
"Kenapa dia malah ikut diam, padahalkan yang marah aku," batinnya jengkel.
Rifan berhenti sedikit menoleh ke arah Araya yang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Gadis itu menatap Rifan denhan lekat.
"Apa sekarang kamu menjauhiku?" tanya Araya dengan suara bergetar, entah rasanya sesak di dada.
Rifan mengangkat sebelah alisnya. "Tidak," jawabnya, namun ekspresinya tetap datar.
"Oh," jawab Araya berbalik dan berlalu pergi meninggalkan Rifan.
"Araya!" Pemuda itu lari mengejar Araya yang pergi begitu saja.
Di taman belakang sekolah, Araya tiba dengan raut wajah sedih serta mata yang sudah berkaca-kaca. Ia jongkok di bawah pohon besar dan menenggelamkan wajahnya di antara lutut.
Sebenarnya sedari tadi Araya diam karena berpikir Rifan tidak ingin berbicara padanya, pemuda itu sudah tidak ingin berteman dan akan meninggalkannya. Ini benar-benar membuatnya khawatir dan takut jika itu benar-benar terjadi.
"Hiks..." tangisnya.
Rifan yang melihat itu terasa tercubit. Ia melangkah denga pelan, berjongkok di depan Araya. Ia merasa bersalah jadinya.
"Raya," panggilnya.
Namun, suara tangisan gadis itu semakin kencang.
Rifan segera meraih kedua wajah gadis itu agar mendongak. "Hey, kenapa? Kenapa nangis?" Pertanyaan yang begitu bodoh, Rifan!
Araya memukul tangan Rifan agar menjauhakn tangannya. "Kamu tega, hiks!"
"Kamu yang tega." Bukannya menenangkan pemuda itu malah seakan menantang.
"Kenapa aku?" tanya Araya.
"Karena kamu tidak peka sama sekali," jawab Rifan.
Araya menghapus air matanya, ia menatap Rifan dengan raut wajah penuh tanya.
"A-aku kenapa?" ucapnya sesegukan.
Rifan membuanh muka. "Semalam aku begadang hanya untuk menunggu panggilan dari kamu," ucapnya dengan nada kesal, wajahnha pun semakin jengkel kelihatan.
"Benarkah?" tanya Araya.
"Iya lah."
Araya sedikit mendekat ke arah Rifan. "Semalam ponselku lowbat. Saat menunggu aku ketiduran, maaf," jelasnya merasa bersalah.
Rifan tidak menggubris, ia tetap membuang muka.
Tangan mungil hadis itu meraih wajah Rifan, menghadap padanya. Bibirnya mengerut dengan mata yang berkaca-kaca lagi.
"Maaf, aku tidak sengaja ketiduran." Suaranya bergetar.
Sungguh tidak tega, Rifan langsung saja memeluk Araya yang langsung saja pecah di dalam pelukan.
"A-aku pikir kamu sudah tidak ingin lagi berbicara padaku. Aku takut ... hiks!" Rifan mengelus lembut kepala Araya, ia merasa bersalah.
"Maafkan aku. Aku hanya merasa kesal, bukan berarti akan meninggalkan mu," ucap Rifan mengecip kepala gadis itu.
"M-maaf Rifan, aku benar-benar mengecewakan."
Rifan mengangkat dagu gadis itu dengan lembut, menatapnya lekat. "Sudah, yah? Kamu tidak mengecewakan Araya. Maafkan aku, hm?"
Araya tetap saja menangis. Sekarang dia benar-benar takut ditinggalkan, benar-benar takut sendirian karena memikirkannya pun ia tidak bisa.
"Bagaimana kalau Rifan benar-benar meninggalkan aku? A-aku tidak pernah berpikir sejauh itu, tapi ... tapi pasti Rifan akan meninggal—"
Cup!
Rifan menyatikan keduanya, memberikan sentuhan hangat di b'bir yang berbicara kelewatan. Rasanya ia ikut tercubit mendengar setiap kata yang keluar dari mulur Araya.
Ia merasa bersalah karena telah mendiami Araya, hingga gadis itu kepikiran dan berpikir jauh bahwa dia akan meninggalkan gadis itu.
Ciuman yang awalnya di rencanakan sebagai kecupan, berubah menjadi l'umatan hangat. Araya berusaha mengimbangi dirinya, Ia memegang tangan Rifan.
"Aku takut mengecewakan," batinnya.
✧\(>o<)ノ✧
"Aku benar-benar sudah terbiasa tidur sambil melihat wajahmu," ucap Rifan di atas motor.
Araya mengeratkan pelukannya dari belakang. "Kenapa seperti itu," jawabnya.
Bibir pemuda itu mengembangkan. "Karena aku menyukainya," balas Rifan.
Araya meletakkan dagunya di bahu Rifan. Entah dorongan Maya gadis itu mengecup leher Rifan singkat membuat Rifan tersentak kaget.
"Apa yang kamu lakukan?"
Araya terkekeh. "Aku hanya ingin menciummu," Jawabnya gemas.
Rifan memegang tangan Araya yang berada di perutnya dengan erat. Entah mengapa semakin hari ia semakin gemas dan takut berpisah dengan Araya. Apakah dia mulai menyukainya?
Pemuda itu mengembangkan senyum penih artinya. "Aku menyukainya," gumamnya dengan telinga yang berubah menajdi bewarna merah.
✧\(>o<)ノ✧
Ada perasaan diantara mereka, namun entah mengapa terasa berat untuk mengakui bahwa itu adalah rasa cinta.
Rasa nyaman yang sudah gadis itu rasakan, membuatnya takut jika rasa nyaman tersebut hilang begitu saja.
Dia ingin ....
Seperti ini selamanya.