Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obat Paten
Mentari
"Ja? Kamu sudah pulang?" Aku menutup laptop setelah selesai interview lalu berjalan menuju kamar Senja.
Kenapa Senja masuk ke dalam rumah tidak bilang apa-apa ya? Mengucap salam saja tidak. Biasanya kalau pulang kerja Senja akan mengucap salam, meledekku lalu masuk ke kamar sambil tertawa menyebalkan. Apa yang terjadi padanya? Apa dia terlibat masalah?
Kuketuk pintu kamar Senja. Satu kali, dua kali, tiga kali. Dia tidak membuka kamarnya. Terpaksa aku membuka pintu kamar dan masuk ke dalam kamarnya yang terlihat gelap. Jendela tertutup rapat dengan kipas angin yang menyala.
Senja sedang terbaring di atas kasur. Tumben sekali dia pulang cepat dan tidur di jam segini. Biasanya masih meminta sumbangan untuk masjid di pertigaan jalan.
Tidur Senja nampak gelisah. Aku penasaran. Kudekati laki-laki yang kini menjadi suamiku tersebut. Nampak Senja berkeringat. Apa dia mimpi buruk ya? Kata Ibu, kalau ada orang yang mimpi buruk, maka harus dibangunkan. "Ja, bangun!"
"Mentari," ucapnya dengan lemah.
"Iya, ini aku, Ja. Kenapa?"
Mata Senja masih terpejam dan tak menjawabku. Kini ia tak lagi gelisah tapi masih berkeringat. Aku merasa ada yang aneh. Kupegang keningnya dan terkejut karena panas sekali. Rupanya Senja demam. "Ja, kamu sakit? Sudah minum obat belum? Mau makan dulu sebelum minum obat?"
Senja tak menjawab saat kutawari makan. Kuambil stok obat milikku dan kubangunkan dia.
"Ja, bangun, Ja," panggilku sambil mengguncang tubuhnya pelan agar ia terbangun. Senja harus minum obat agar demamnya turun.
Senja membuka matanya dengan malas. Ia bahkan tak tahu kalau dirinya sakit. Kubantu dia minum obat lalu Senja kembali tertidur.
Aku harus apa lagi ya?
Oh iya, aku harus kompres dengan air hangat. Aku pergi ke dapur, memasak air lalu kembali lagi ke kamar dengan baskom berisi air hangat dan handuk kecil.
Sudah 4 jam Senja tertidur sambil kukompres namun demamnya hanya turun sedikit sementara obat penurun demam milikku sudah habis.
"Aku beli obat dulu ya, Ja!" Cepat-cepat aku pergi ke minimarket depan dan membeli obat penurun panas.
Saat aku kembali, Senja masih tertidur pulas. Aku harus mengganti kompres miliknya kalau mau demamnya cepat turun.
.
.
.
Aku duduk di samping tempat tidur menjaga Senja yang masih pulas sambil sesekali mengganti kompres di kepalanya. Panasnya sudah mulai turun sedikit. Entah sudah berapa lama aku tak tahu. Sebenarnya aku ingin membawa Senja ke rumah sakit, namun bagaimana nanti aku membayarnya? Senja pasti tak punya asuransi. Aku juga tak punya uang. Hanya ini yang bisa kulakukan. Kalau Senja bangun nanti, akan kuajak dia ke dokter.
"Tari," ucap Senja lemah.
Senja mengigau? Dia memanggil namaku?
"Tari." Senja mengigau lagi.
"Tari."
Tiga kali Senja memanggil namaku.
"Iya, ini aku. Senja... kamu baik-baik saja?" Kudekati wajahku dengannya, takut Senja terlalu lemah mengatakan apa yang ia ingin katakan.
Senja membuka matanya perlahan dan menatapku dengan lekat. Baru saja aku mau membuka mulutku dan menyuruhnya bangun untuk makan, secara tak terduga tangan Senja menarik tengkukku dan yang membuatku makin terkejut adalah secara tiba-tiba Senja menciumku.
Aku terdiam.
Rasanya otakku masih mencerna semua yang terjadi. Saat otakku menyadari kalau ciuman lembut ini nyata, aku sontak melepaskan diri darinya.
"Ja, kamu-" Aku berniat memarahinya yang memaksa menciumku namun Senja malah kembali tertidur.
Apa dia mengigau ya?
.
.
.
Senja berjalan keluar kamar dengan sedikit gontai. Rupanya ia masih belum sehat betul. Aku mendekatinya lalu membantunya duduk di kursi. "Kita ke dokter yuk, Ja!" ajakku. "Kamu lemas sekali walau sudah tak demam lagi."
Senja menggelengkan kepalanya. "Tak usah. Aku baik-baik saja."
"Yakin?" Kuamati wajah Senja, jauh lebih segar dan tak pucat lagi seperti semalam.
Senja mengangguk sambil tersenyum lemah. Ia mengangkat tangannya lalu mengusap kepalaku. "Makasih ya sudah menjagaku semalam."
Wah, Senja tahu cara berterima kasih juga rupanya. Aku ingin balas tersenyum namun aku teringat kalau semalam ia memaksa menciumku. Apa dia sengaja pura-pura sakit lalu menciumku? Ah, sepertinya tidak, untuk apa?
"Kok melamun?" Senja membuyarkan lamunanku.
"Tidak, aku tak melamun," elakku. "Oh iya, aku buatkan bubur untukmu. Aku ambilkan dulu ya!"
Kutinggalkan Senja dan pergi ke dapur. Aku masih terus terbayang saat Senja menciumku semalam. Ciumannya terasa lembut namun terkesan menuntut, sedikit agak memaksa namun dilakukan dengan hati.
Ah, kenapa aku terus kepikiran ya? Sadar, Mentari! Ini bukan ciuman pertamamu. Jangan berlebihan! Senja melakukannya tanpa sadar. Buktinya dia tak bersikap canggung dan melupakan apa yang ia lakukan semalam padaku. Aku juga harus melupakannya. Harus.
Kubawakan semangkuk bubur dan teh manis hangat untuk Senja. "Makan dulu lalu minum obat. Kalau masih demam, nanti kita ke dokter," kataku.
"Suapi," kata Senja dengan manja.
"Ish, kamu tuh cuma demam, Ja, bukan patah tulang." Walau mengeluh tetap saja kusuapi Senja.
"Bubur kamu...." Senja menatapku lekat.
Pasti Senja ingin memuji bubur buatanku. "Kenapa dengan buburku? Enak banget kan? Aku jago buat bubur, bukan?" tanyaku penuh harap.
"Hambar. Lain kali, pakai garam! Kamu pikir aku sedang puasa mutih?"
Tuh, kan, ngeselin lagi!
"Yaudah tak usah dimakan!" Aku berdiri dan hendak membawa mangkuk bubur ke dapur namun tangan Senja menghentikanku.
"Gampang banget ngambek sih? Aku tuh lagi sakit tau!" bujuk Senja.
"Ya kalau tidak enak, jangan kamu makan," balasku sambil tetap berdiri dengan tangan Senja memegang pergelangan tanganku.
"Aku belum selesai bicara. Duduk dulu dong!" bujuk Senja lagi.
Kali ini aku luluh, kemarin Senja demam tinggi. Jujur, aku khawatir dengan keadaannya. Walau bagaimanapun, Senja tetap suamiku.
"Bubur kamu memang hambar, tanpa garam, namun kalau kamu yang menyuapiku, rasanya berbeda. Kayak ada gurih-gurihnya gimana gitu," goda Senja.
Mau tak mau aku tersenyum mendengar ucapannya. "Memangnya aku penyedap rasa? Sudah, kamu habiskan makanan ini. Jangan kebanyakan sakit, nanti aku makan apa?"
"Tenang. Aku sekarang sudah sehat." Senja menepuk dadanya sambil tersenyum.
"Coba aku periksa." Kutaruh telapak tanganku di keningnya. Benar saja, Senja sudah tak lagi demam seperti semalam meski wajahnya masih agak pucat. "Iya, benar loh, sudah turun demammu."
"Iyalah. Aku sudah dapat obat yang mujarab."
"Obat mujarab apa? Aku cuma kasih kamu obat minimarket kok," jawabku. Kutaruh piring kosong yang sudah Senja makan isinya sampai tak tersisa di atas meja.
"Iya sih kamu hanya memberiku obat minimarket tapi kamu di universe lain memberiku obat paling ampuh."
Keningku berkerut. Apa sih yang Senja katakan? Aku tak mengerti.
"Semalam, kamu hadir di mimpiku dan memberiku obat yang sangat paten. Rasanya seperti nyata. Terima kasih ya, Tari. Kalau bisa, lebih sering kasih aku obat macam itu ya!"
Deg!
Apa yang Senja maksud obat adalah ciuman kami semalam?
****
lebih unik
Mentari rada2 menurutku
nazar ternyata,yg bikin tari salah faham 🤣
astagfirullah, gendheng
pantes tari ilfeel