NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:826
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 19

Pagi baru saja menjamah bumi Wonosari. Matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya dari balik rerimbun bambu. Tapi Yu Kastun sudah lebih dulu menyibak hari, menyambut gerobak sayur keliling milik Jumadi yang berhenti di depan rumahnya. Seperti biasa, bukan hanya belanjaan yang ia bawa pulang—tapi juga kabar terbaru dari jagad kecil desa mereka.

"Eh, tahu nggak sih? Si Wiji, anaknya Kaji Mispan itu, lagi deket-deketan sama Asmarawati. Lho, itu lho, anaknya Ki Ratmoyo!" kata Yu Kastun sambil memasukkan tomat dan bayam ke dalam kresek plastik.

"Masak to, Yu?" seru Bu Hartini, matanya membelalak.

"Sampean tahu dari mana, Yu?" tanya Bu Suminem penasaran.

"Iya tahu to, Bu. Wong mereka sering duduk-duduk di atas tanggul kali Brantas. Dekat warung angkringan saya. Sore-sore gitu, berduaan. Nggak pulang-pulang sampai hampir magrib," ujar Yu Kastun sambil tersenyum penuh arti.

"Wah, bakalan seru itu, Yu. Bisa-bisa perang dunia ketiga terjadi!" celetuk Jumadi, ikut menyahut dari balik gerobaknya.

"Iya, kita jadi penonton saja. Siapa tahu ceritanya lebih seru dari drakor!" kata Yu Kastun sambil tergelak. "Pokoknya hampir tiap sore mereka nongkrong berdua. Kalau belum gelap, belum bubar."

"Ya ampun… kalau memang benar mereka berpacaran, apa mungkin mereka akan berjodoh? Wong bapak-bapaknya itu ibarat anjing dan kucing," sahut Bu Suminem dengan nada setengah iba, setengah penasaran.

"Ndak mungkin, Bu!" sanggah Yu Kastun. "Pasti bakal dihalang-halangi sama bapaknya masing-masing. Lha wong ketemu saja mereka ogah!"

Tapi Bu Hartini punya pandangan lain. "Lho, tapi menurut saya, malah bagus kalau mereka jadi besanan. Daripada satru terus. Siapa tahu bisa merukunkan dua keluarga."

"Eh, jangan ngasal sampean, Bu! Ndak mungkin itu. Lha wong baru lihat wajahnya saja Kaji Mispan bisa manyun kalau ketemu Ki Ratmoyo!" timpal Yu Kastun lagi.

"Iya, siapa tahu saja, Yu… Gusti Allah itu Maha Membolak-balikkan hati," jawab Bu Hartini pelan.

Percakapan ringan itu terus menggelinding seperti bola salju. Kabar kedekatan Wiji dan Asmarawati dengan cepat merambat dari satu RT ke RT lain. Ada yang mendukung dengan harapan bisa memperbaiki hubungan dua keluarga yang sudah lama renggang. Tapi tak sedikit pula yang khawatir, jika hubungan mereka justru memperkeruh keadaan.

Hari demi hari berlalu, minggu berganti. Dan, kabar itu pun akhirnya sampai juga ke telinga yang selama ini diam tapi tak tuli: Kaji Mispan dan Ki Ratmoyo.

******

Berita itu akhirnya sampai juga ke dua telinga yang selama ini menolak untuk saling menyapa.

Ki Ratmoyo, ketika mendengar kabar bahwa putrinya, Asmarawati, disebut-sebut tengah menjalin kedekatan dengan Wiji—anak dari Kaji Mispan—tak segera menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap datar, seperti layar kelir yang menunggu adegan berikutnya. Di dadanya mungkin ada gelombang yang naik pelan, tapi tak sampai pecah di permukaan. Ia tahu, desas-desus sering lahir dari kekosongan. Ia pun memilih diam.

Sebagai ayah, tentu ia menyimpan tanda tanya. Tapi sebagai anggota BPD, dan lebih dari itu—seorang dalang—ia tahu betul pentingnya menata langkah. Di mata masyarakat, ia bukan hanya bapak rumah tangga, melainkan teladan. Dalang adalah penjaga tatanan, penjaga rasa. Maka sikapnya harus tenang, meski hatinya belum tentu demikian.

Ia belum menegur putrinya. Belum bertanya, belum menuntut jawaban. Ia membiarkan waktu yang berbicara, membiarkan langit yang menyaring kabar. Karena dalam diam itulah, ia merasa masih memegang kendali.

Sementara itu, Kaji Mispan menanggapi kabar serupa dengan cara yang berbeda. Kaget, marah, lalu murka. Baginya, kabar itu tak ubahnya tusukan yang datang dari arah tak terduga. Kedekatan antara anaknya dan anak musuh lamanya seolah mencoreng martabat. Maka kemarahan pun meledak, tanpa ampun, tanpa jeda.

Namun Wiji tak bergeming. Ia diam, tapi tidak tunduk. Dalam dirinya, perasaan kepada Asmarawati telah terlanjur tumbuh seperti akar di tanah basah—diam-diam menghunjam, sulit dicabut. Ia tahu bahwa hubungannya sedang digoyang oleh angin keras. Ia tahu ada risiko yang mengintai di balik langkah-langkah kecil yang mereka buat. Tapi semua itu tak cukup kuat untuk membuatnya mundur.

Hari-hari berganti, minggu dan bulan berlalu, namun Wiji masih tetap setia pada jalur yang ia pilih. Di balik layar telepon genggam, pesan-pesan terus mengalir. Tak selalu panjang, tak selalu romantis, tapi cukup untuk membuat keyakinan mereka tetap hidup.

Di antara larangan dan tekanan, ia tetap melangkah. Bukan karena keras kepala semata, tapi karena ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar konflik orang tua: perasaan yang sudah terlanjur tumbuh, dan tak mudah dimatikan hanya dengan kemarahan.

Bagi Wiji, mencintai Asmarawati bukan sekadar keberanian. Itu adalah bagian dari hidup yang ia perjuangkan diam-diam, melawan arah tanpa merasa menjadi musuh siapa-siapa.

Dan di antara dua kepala yang telah lama bersitegang, dua hati muda itu masih berusaha mencari jalannya sendiri—pelan, tapi pasti.

*****

Di ruang tengah rumah besar bercat krem itu, cahaya lampu gantung kristal memantulkan sinar ke marmer lantai yang mengilap. Sofa empuk berlapis kulit sintetis tampak rapi, dipadu karpet Turki yang membentang hingga mendekati anak tangga. Namun meski semuanya tampak mewah dan serba tertata, udara di dalamnya terasa tegang, seolah kemewahan itu tak cukup meredam api yang menyala di dada seorang ayah.

Kaji Mispan duduk di kursi utama, tangan kanannya menopang dagu, mata tertuju pada Wiji yang baru saja masuk dan meletakkan tas di samping lemari. Wiji tak sempat duduk, ketika suara ayahnya menebas keheningan malam.

“Bapak dengar-dengar, katanya kamu sekarang dekat sama anaknya Ratmoyo?”

Wiji mengerutkan alis. “Siapa yang bilang, Pak?”

“Semua orang bilang. Dari warung, dari langgar, sampai tukang parkir acara hajatan. Mereka lihat kamu sering duduk berduaan sama Asmarawati di tanggul kali.”

“Itu cuma omongan orang, Pak. Belum tentu benar semua yang mereka bilang.”

Suasana dalam rumah yang awalnya tenang berubah jadi medan retorik penuh tekanan. Mispan berdiri, langkahnya mantap melintasi karpet tebal, menunjuk tajam ke arah Wiji.

“Kamu jangan coba-coba bohong! Kalau itu benar, kamu bakal tahu sendiri akibatnya!”

Wiji memejamkan mata sejenak. AC di sudut ruangan menghembuskan udara sejuk, tapi dadanya tetap panas. “Kalau aku memang dekat sama Asmarawati, memangnya kenapa, Pak?”

“Kenapa? Karena dia anak musuh bapak! Anak si Ratmoyo! Kamu tahu, gimana dulu orang itu ngerusak nama baik bapak di depan semua orang?”

“Pak, aku bukan bapak. Aku cuma Wiji. Aku dan Asmarawati nggak tahu apa-apa soal masa lalu kalian.”

“Kamu itu anak siapa dulu! Mau dipermalukan lagi keluarga ini karena kelakuanmu?” suara Mispan meninggi, menggema di langit-langit tinggi rumah itu. Bahkan lukisan kaligrafi di dinding seolah ikut bergetar.

Wiji menunduk. Ia tahu, di rumah sebesar ini, ruang untuk bicara jujur justru sempit. Hanya ada gema dendam lama yang terus-menerus berulang.

“Hah... embuhlah,” gumamnya lirih. Ia berbalik, melangkah menuju pintu depan.

“Eh Ji! Mau ke mana kamu?! Dasar celeng!” bentak Mispan di belakangnya, suaranya membelah malam yang mewah tapi tak damai.

Ruqayah muncul dari balik dinding ruang makan yang disekat ukiran jati. “Astaghfirullah, ada apa to, Pak? Malam-malam begini kok teriak-teriak?”

“Itu anakmu! Katanya pacaran sama anaknya si buto ijo Ratmoyo! Bapak jadi bahan gunjingan warga. Di mana muka kita mau disimpan, Yah?”

Ruqayah terdiam. Di benaknya, bayangan lama menyeruak. Waktu itu, rumah mereka belum semegah ini. Masih berdinding triplek, lantainya masih semen kasar. Saat itulah, Mispan kehilangan tempat di grup campursari Ngudi Laras karena fitnah Ratmoyo. Ia masih ingat betul—bukan hanya karena Mispan dituduh menggelapkan uang honor, tapi karena nama baik mereka dilumat begitu saja, tanpa pembelaan.

“Ah, itu kan cuma kata orang, Pak. Belum tentu benar,” ujar Ruqayah pelan.

“Tapi kalau itu benar?! Mau ditaruh mana muka kita ini?”

Ruqayah menarik napas panjang. “Yang jatuh cinta itu mereka, Pak. Anak-anak. Bukan kita. Dulu waktu kita jatuh, tidak ada yang bela kita. Masa sekarang kita malah mau menjatuhkan mereka?”

Mispan tak menjawab. Matanya menatap ke arah pintu yang baru saja dibanting Wiji. Kemewahan di sekelilingnya tak cukup membuat batinnya tenteram. Rumah ini mungkin besar, tapi di dalamnya, dendam lama masih mencari tempat untuk duduk.

Dan malam pun berlalu—dingin dan sunyi—di rumah yang megah tapi sedang dilanda badai yang tak kelihatan.

Malam itu udara terasa lengang. Angin berembus malas di sela-sela pepohonan jati, seolah enggan ikut campur urusan manusia. Di langit, bulan separuh menggantung lesu—seperti hati Wiji yang sedang tak utuh.

Ia melajukan motornya pelan, tanpa arah yang pasti, sampai akhirnya berhenti di depan rumah Tejo. Rumah kecil berdinding batako itu masih terang. Lampu neon di teras menyala temaram, menggantung bersama jaring laba-laba dan angin malam yang dingin.

Wiji mengetuk pintu sekali. Tak lama kemudian, Tejo keluar dengan kaus oblong dan celana pendek, wajahnya masih berminyak karena baru selesai menyolder dari bengkel.

"Walah, kamu to, Ji. Masuk... masuk."

Di ruang tamu dan ruang, Wiji duduk tanpa banyak bicara. Pandangannya kosong, seperti sedang menyelami sesuatu yang dalam dan tak bernama.

Tejo memperhatikan wajah sahabatnya itu—biasanya ceria, kini kusut.

"Kamu kenapa, Ji? Kok murung banget? Ada masalah ta?" tanya Tejo, sambil duduk menyender ke dinding.

"Ndak, Jo... Aku cuma kecapekan," jawab Wiji lirih.

Belum sempat Tejo membalas, dari arah dapur muncul Untung sambil menggigit pisang goreng.

"Lagi mikirin si Asmarawati, ya?" katanya sambil nyengir, tanpa permisi langsung duduk di antara mereka.

"Sok tahu kamu!" Wiji membalas, separuh sebal separuh malu.

"Lha terus? Kalau bukan Asmarawati, siapa lagi yang bisa bikin wajahmu kayak habis dicampur semen itu?" ujar Untung sambil menyalakan rokok kretek dari korek gas yang nyaris habis.

Wiji hanya menatapnya. Tak menjawab. Di dadanya, seribu kata mendesak ingin keluar, tapi lidahnya seperti dikunci.

"Ceritakan saja, Ji," kata Untung sambil menghembuskan asap ke langit-langit rumah.

"Laki-laki itu tidak banyak cerita, Tung," timpal Tejo sambil tetap menatap layar HP-nya, jempolnya sibuk scroll video pendek.

Untung langsung menoleh, seolah tersinggung. "Apa katamu? Laki-laki tidak bercerita? Ndak semua laki-laki seperti itu, Jo! Coba pikir, kalau pak dalang ndak bercerita, terus siapa yang mau nonton wayangnya? Kalau sastrawan ndak nulis cerita, dia mau kerja apa. Apa mau mabar mobile legend kayak kamu itu.?"

Tejo nyengir, tak mau kalah. "Tapi kan kamu juga tiap hari kerjaannya ikut mabar Mobile Legends. Ndak ada bedanya, to?"

"Aku mabar cuma kadang-kadang."

"Tapi tetap ikut."

"Ndak sering."

"Tapi pernah."

Untung melotot, Tejo cengengesan. Dan keduanya pun larut dalam adu bantah yang tak jelas ujungnya.

Sementara itu, Wiji mendadak berdiri. Kepalanya pening, dadanya sesak, dan pikirannya makin semrawut.

"Sudah, jangan ribut. Asu!" semprotnya tiba-tiba. Suaranya tajam, memecah percakapan. Ia langsung berbalik dan melangkah keluar.

Tejo dan Untung saling pandang. Terdiam.

Dari luar, hanya suara langkah kaki dan motor dinyalakan yang terdengar. Malam kembali sunyi. Dan di antara sunyi itu, Wiji terus membawa gundahnya—sendiri.

********

Akhirnya Wiji meninggalkan mereka berdua—Tejo dan Untung yang masih saja saling membantah soal hal-hal remeh. Ia tak menemukan ketenangan di sana, justru pikirannya makin kusut. Seolah gelisah yang semula hanya sejumput, kini menjelma semak berduri di dalam kepala.

Dengan langkah pelan, ia menuntun motornya menyusuri jalan desa yang mulai lengang. Lampu-lampu rumah telah banyak yang padam. Hanya beberapa saja yang masih menyala—menyisakan bayang di dinding, seperti sisa-sisa cerita yang enggan tidur.

Wiji menuju tempat yang baginya paling sunyi: tanggul kali Brantas.

Di sanalah, di bawah rembulan yang mengambang pucat, ia duduk sendiri di atas tanah berumput yang masih hangat sisa siang. Angin malam membelai pelan, dan aroma lumpur basah menyeruak dari tepian kali. Bayangan bulan bergetar di permukaan air yang tenang, terpecah-pecah oleh aliran pelan yang tak pernah henti.

Ia menatapnya lama. Lama sekali. Seolah mencari makna dari bayang yang tak pernah utuh.

Di sekelilingnya, hanya suara kodok di petak sawah yang bersahut-sahutan. Dengung nyamuk menari di sekitar telinga, seperti percakapan lirih yang tak bisa dihindari. Dan Wiji, dalam diamnya, mulai berbincang dengan dirinya sendiri.

Ia memikirkan Asmarawati. Nama itu masih melekat di dadanya seperti doa yang tak bisa dihapus. Tapi kini, yang datang bersamanya bukan lagi senyum atau hangat tangan, melainkan kekhawatiran—tentang larangan, tentang dendam yang bukan miliknya, tentang bayang-bayang orang tua yang menutup jalan di hadapannya.

Wiji takut. Takut jika semua yang telah mereka rajut diam-diam akan terputus begitu saja. Ia takut kalau pada akhirnya, ia dan Asmarawati tak bisa nyawiji—menyatu, seperti harapannya selama ini.

Karena cinta, meski besar dan dalam, tetap bisa patah jika dunia memilih tak mengizinkannya tumbuh.

Malam terus beranjak, namun Wiji belum juga beranjak dari tanggul itu. Ia masih duduk, masih melamun, masih menyusun kemungkinan-kemungkinan di kepala—di antara rembulan yang retak di permukaan kali, dan kesunyian yang tak memberinya jawaban apa-apa.

Di tanggul Kali Brantas, malam makin larut. Rembulan menggantung di langit dengan cahaya muram. Angin membawa aroma lumpur dan gemerisik daun-daun padi dari sawah seberang. Wiji masih duduk di sana, memeluk lututnya sendiri, tenggelam dalam pusaran pikirannya yang campur aduk.

Tiba-tiba layar ponselnya menyala. Sebuah pesan masuk.

“Mas!.....” Nama pengirimnya: Asmarawati.

Wiji terdiam sejenak, lalu membalas pendek: “Iya, Dek.”

“Sampean di mana?” tanya Asmarawati.

Wiji mengetik cepat, lalu mengirim kebohongan kecil: “Aku di rumah.”

Beberapa detik kemudian balasan muncul: “Aku boleh telepon, ndak?”

Wiji mendadak panik. Pandangannya menyapu sekitar, seolah takut ketahuan. “Eeemmm... kita chat-an saja ya, Dek!”

Balasan dari Asmarawati muncul cepat, nadanya curiga: “Aaaaaa, kok gitu? Sampean pasti ndak di rumah. Sampean ngapusi to?” Disertai emoji wajah marah.

Wiji terkekeh, menyerah juga. “Hehehe... iya, aku lagi di luar.”

“Di mana?” kejar Asmarawati.

Wiji masih belum jujur sepenuhnya: “Di rumahnya Tejo.”

“Kenapa ndak jujur dari tadi?” tulis Asmarawati, disertai emoji kesal.

“Maaf, Dek. Maaf ya.” Wiji mengetik cepat, cemas, tapi juga lega. Setidaknya, ia masih bisa bicara dengannya malam ini.

Percakapan pun berlanjut. Kata demi kata mengalir seperti air Kali Brantas—kadang tenang, kadang deras, kadang menghantam bebatuan. Wiji merasa hatinya mulai lapang. Rasa cemas yang tadinya menyesakkan, kini perlahan menguap. Karena di balik semua kekacauan, satu hal tetap utuh: kedekatannya dengan Asmarawati.

Hingga kemudian, ia memberanikan diri menulis:

“Dek, aku mau cerita…”

“Boleh, Mas. Ayo! cerita kene!” balas Asmarawati, dengan emoji bunga.

“Kalau seandainya kamu mencintai seseorang, tapi kamu ditakdirkan tak bisa nyawiji dengannya… apa yang akan kamu lakukan?”

Beberapa detik hening. Lalu balasan masuk: “Pertanyaanmu sulit, Mas…” dengan emoji mata berkaca-kaca.

“Jawab saja sebisanya.” tulis Wiji lagi.

Tak lama kemudian, Asmarawati membalas panjang: “Jika aku nresnani seseorang, tapi tak bisa hidup bersamanya... maka aku akan berhenti mengganggunya. Tapi dalam diam, aku akan terus mendoakannya. Tak peduli siapa aku dalam hidupnya. Tak peduli siapa dia dalam hidupku. Tapi cintaku akan tetap tinggal, selamanya, di antara jeda dan doa.”

Wiji menatap layar itu lama. Lalu ia mengetik: “Yo’opo kalau dia menyakitimu? Apa kamu akan membalas rasa sakitnya sebagaimana kamu membalas cintanya?” kali ini dengan huruf kapital.

Balasan dari Asmarawati datang cepat: “Tidak!… Tidak!… Tidak, Mas!” dengan emoji mata berkaca-kaca.

“Kenapa?” balas Wiji singkat, penasaran.

Lalu Asmarawati menulis: “Karena tidak ada cinta yang tidak menyakiti. Justru orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling berpotensi menyakiti. Pramilo, siap mencintai… berarti harus juga siap menahan sakitnya. Seperti seorang ibu yang sedang melahirkan. Ia berjuang, menahan nyeri, bahkan siap kehilangan nyawa—semua demi satu hal: cinta. Karena pada dasarnya, cinta adalah perjuangan. Termasuk perjuangan menahan rasa sakit. Jangan menyerah, Mas… tetaplah berjuang atas nama katresnan!”

Suasana terasa makin melankolis. Langit makin sunyi, rembulan kian redup. Wiji menarik napas pelan, lalu menutup percakapan itu. “Baiklah. Sudah lewat tengah malam. Kita sudahi dulu obrolan hari ini. Sekarang kamu tidur.”

“Iya, Mas.” balas Asmarawati pendek.

“Sugeng dalu, kembang ati.” tulis Wiji lembut.

“Sugeng dalu, lintang ati.” balas Asmarawati meyakinkan.

Wiji pun berdiri. Dingin embun belum sepenuhnya menyentuh kulit, tapi hatinya sudah hangat oleh keyakinan baru. Ia menarik napas panjang, menatap ke langit, lalu membisik dalam hati:

“Mbok nganti pecahing jojo, wutahing ludiro… bakal tak perjuangno.” (Biar sampai remuk di dada, menyemburkan darah—akan aku perjuangkan!)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!