Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhitungan Dingin, Tumbal Ji'an
Serempak, semua orang bersujud lebih dalam.
Membungkuk bagaikan rumput diterpa badai.
Kaisar Rong Gao Ming berdiri kokoh,
jubah hitamnya berpendar samar di bawah cahaya lentera.
Namun di sela riuh rendah ucapan selamat itu,
sebuah gerakan sangat kecil terjadi.
Saat Tabib tua itu menundukkan tubuhnya untuk kedua kalinya di depan Kaisar,
ia melipat jarinya di bawah lengan bajunya—
membentuk isyarat khusus yang hanya dimengerti Kaisar:
Satu jari menunjuk ke bawah, dua jari menggulung perlahan.
"Tidak hamil."
"Tapi tubuhnya sehat dan stabil."
"Kalau mau dibuat seolah-olah, tidak ada bahaya."
Kaisar menangkap sinyal itu dengan ekor matanya.
Tak ada perubahan di wajahnya.
Ia tetap berdiri angkuh, seolah dunia tunduk di bawah kakinya.
"Bagus,"
"Tabib ini mengerti tugasnya."
Dalam diam, Kaisar berbicara dalam hati:
"Yu Zhen...
Gadis itu... lagi-lagi mempertaruhkan kebenarannya demi keluargaku."
"Kalau begitu, aku juga akan mempertaruhkan seluruh kekuasaanku untuk menutupi dusta ini."
Karena bagi Rong Gao Ming—
di istana berdarah ini,
kadang...
kebohongan kecil demi orang yang berharga jauh lebih suci daripada semua sumpah kesetiaan palsu.
Kaisar mengangkat tangannya pelan,
lalu berbicara dengan suara yang memenuhi seluruh altar:
"Mulai hari ini,
Selir Xuan... akan diberi perlindungan khusus."
"Tak seorang pun di istana boleh mengusik ketenangannya.
Tak satu pun hukuman akan dijatuhkan padanya selama masa kehamilan ini."
Suara itu berat.
Penuh kekuasaan.
Dan... penuh janji.
Semua orang bersujud lebih dalam lagi.
Bahu-bahu bergetar.
Beberapa selir bahkan menangis pelan—entah sungguhan atau pura-pura.
Seketika beban berat di dada Xuan sedikit mereda,
digantikan kehangatan konyol yang belum pernah ia rasakan lagi sejak masa mudanya.
Jubah putihnya berkibar tipis dalam angin musim gugur.
Tetapi...
di balik ketegangan dan kemegahan ini,
pikiran Xuan malah terjebak pada satu hal lain.
Sesuatu yang membuat sudut bibirnya hampir berkedut geli.
"Mengandung..."
"Aku...? Mengandung...?"
Ia berusaha menahan ekspresi.
Tapi hatinya, yang selama ini ditempa kerasnya dunia istana,
tak bisa menahan geli aneh itu.
"Aku bahkan sudah hampir 40 tahun..."
"Sudah hampir menyerah pada mimpi sekecil itu..."
"Dan sekarang... aku hamil?!"
"Apa tubuhku... sehebat itu?"
Xuan nyaris tertawa kecil.
Untung ia cepat menunduk lagi, pura-pura batuk kecil untuk menyembunyikan getaran geli di bahunya.
"Luar biasa juga aku ini."
"Orang bilang setelah usia tiga puluh, peluangnya kecil."
"Tapi aku?"
"Satu kali pertemuan dua bulan lalu... dan langsung berhasil?"
Matanya melirik ke arah Kaisar tanpa sadar.
Kaisar Rong Gao Ming berdiri di sana, megah, kokoh.
Samar...
senyum tipis terbit di sudut bibirnya,
seolah mengiyakan semua kebetulan aneh ini. Tanpa menyadari bahwa semuanya hanya kesalahpahaman.
---
Di tengah keramaian yang penuh bisik-bisik dan ucapan selamat,
Selir Ji'an berdiri kaku.
Wajah cantiknya pucat—
bukan karena takut.
Bukan pula karena malu.
Tetapi karena...
amarah
yang mendidih dalam darahnya.
"Dia..."
"Dia hamil...?"
Giginya mengertak.
"Perempuan tua itu...!"
"Berani sekali mendahuluiku lagi!"
Tangannya gemetar kecil di balik lengan jubahnya,
mencengkeram erat sampai kukunya hampir menembus kulit.
Matanya memerah.
Untuk sesaat—
hanya sesaat—
akal sehatnya terlempar.
Bayangan gelap melintas dalam pikirannya:
"Dorong saja."
"Dorong dia... dari altar ini."
"Biar darahnya tumpah di depan semua orang."
"Biar bayinya musnah sebelum ia sempat bernafas."
"Biar wajah suci itu—hancur!"
Jari-jarinya bahkan sudah mulai bergerak setengah sadar.
Satu langkah kecil lagi...
Namun tepat sebelum ia benar-benar bergerak,
akalnya yang dingin mencengkeramnya kembali.
"Tidak."
"Tidak sekarang."
"Aku masih punya putra."
Cheng Yao.
Pangeran Pertama.
Harapannya.
Satu-satunya warisannya.
Kalau ia bertindak bodoh sekarang—
menyerang terang-terangan—
bukan hanya dirinya yang jatuh.
Tapi masa depan Cheng Yao juga akan terkubur bersama aib ibunya.
Ji'an menahan napas.
Memaksa dirinya tenang.
Meski setiap helaan napas terasa seperti menelan bara api.
Ia perlahan-lahan menundukkan kepala...
seolah menghormati Kaisar,
seolah menerima nasib.
Padahal di balik kelopak matanya—
strategi baru mulai berputar.
Matanya melirik sekilas ke samping.
Di antara barisan pelayan yang berjongkok,
tersembunyi di barisan bawah,
ada seorang dayang setengah tua—
wajahnya muram, tubuhnya gemetar.
Tumbal.
Sosok yang selama ini dirawat dan dipelihara untuk momen-momen seperti ini.
Seorang "penjahat" yang bisa dikorbankan setiap kali situasi berubah buruk.
"Prioritasku sekarang..."
"Menyelamatkan diri."
"Memastikan aku tidak kehilangan segalanya malam ini."
"Dan saat badai ini berlalu..."
"Barulah aku akan membalas..."
"Dengan serangan yang tidak bisa ditepis lagi."
Ji'an menghela napas panjang.
Ia mengatur wajahnya...
membuatnya tampak sedih, lemah, penuh penyesalan.
Lalu dengan isyarat kecil,
ia menggerakkan jarinya ke arah dayang itu.
Dalam keheningan itu—
seorang dayang tua merangkak maju,
badannya gemetar, pipinya hampir mencium lantai batu dingin.
Suaranya serak saat bersujud:
"Yang Mulia...
hamba yang bersalah."
"Semua kesalahan... adalah kelalaian hamba."
Tangis palsunya terdengar memilukan.
Menggetarkan beberapa hati yang terlalu polos untuk tahu permainannya.
Ji'an menunduk sangat dalam.
Seolah berduka atas kesalahan pelayannya.
Padahal di balik itu—
senyum puas hampir muncul di sudut bibirnya.
"Bagus."
"Pergilah."
"Tutupi dosaku."
"Tebuslah ambisiku."
Kaisar Rong Gao Ming mengamati pemandangan itu dengan wajah tanpa ekspresi.
Namun bagi yang jeli,
sinar matanya mengeras sejenak.
Ia tahu.
Semua orang di kursi kekuasaan sepertinya tahu.
Tetapi...
kadang membiarkan kebohongan kecil lebih berguna daripada membuka borok besar.
Kaisar melambaikan tangannya pelan.
Kasim Agung maju, membacakan keputusan dengan suara berat:
"Atas pengakuan dan bukti yang ada...
hamba yang bersalah akan menerima hukuman cambuk tujuh puluh lima kali."
"Sementara Selir Ji'an... atas pengawasan lalai terhadap bawahannya...
dijatuhi hukuman cambuk dua puluh lima kali,
dan masa larangan menghadiri upacara resmi selama tiga bulan."
Riuh rendah kecil meletup.
Beberapa dayang menutup mulut menahan napas.
Beberapa pejabat bertukar pandang.
Ji'an menunduk lebih dalam.
Matanya menahan semburat merah marah,
tapi bibirnya tetap tersenyum tipis.
"Terserah."
"Dua puluh lima cambukan..."
"Tiga bulan larangan..."
"Itu harga murah untuk tetap bertahan hidup."
Sementara di sisi lain altar,
Selir Xuan berdiri dalam diam.
Wajahnya tetap tenang.
Namun dalam hatinya,
ia mencatat semua ini.
"Hari ini aku selamat..."
"Tapi perang ini... belum berakhir."
---
Saat dayang tua itu diseret ke tengah pelataran untuk menerima cambukan,
semua orang menunduk lebih dalam.
Suara keras cambuk pertama menghantam udara malam.
Menggetarkan dada siapa pun yang mendengar.
Satu.
Dua.
Tiga...
Sementara itu,
Ji'an berlutut di sisi altar.
Menerima cambukan pertama dengan gigi terkertap.
Matanya menatap tajam ke depan.
"Tunggu saja."
"Aku akan membayar semua ini."
"Aku akan membuat kalian semua... membayar lebih mahal lagi."
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.
Orang tak bersalahpun menjadi korban
Hingga menjatuhkan menjadi keharusan
Riwayat sebuah propinsi kaya yg rakyatnya menderita
Kesenjangan yg di sengaja
yang memaksakan kehendak lewat cara tetcela.
Demi keamanan dan kenyamanan Yu zhen
Semoga Yu Zhen tetap baik baik
Tolong jangan bermain dengan perasaan dulu..
Sebelum semua baik baik saja
Kalem tapi tegas
Tetaplah tumbuh dengan karaktermu
cerita bagus begini kenapa sedikit sekali peminatnya
Semoga rasa yg ada,tak berbuah petaka kedepannya