Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Pernyataan Cinta
Naila menggendong Reivan yang sudah mulai mengantuk, lalu memanggil Rindu yang masih bermain di halaman. Senja mulai turun, udara mulai dingin.
"Rindu, ayo masuk, sudah sore," panggilnya lembut.
"Lindu mau tidur sama Mama yaa," kata Rindu manja. "Ma, kata Mbak Mel, besok Lindu ulang tahun?"
"Eh iya, berarti sekarang umur Rindu genap jadi empat tahun ya," jawab Naila sambil tersenyum. Mereka bertiga masuk ke rumah.
Martin semenjak tadi mengamati Naila. Memperhatikan cara memeluk anak-anaknya, cara Rindu begitu lekat padanya. Jantungnya terasa berat, ada rasa sakit yang tak mampu diungkapkan dengan kata.
"Naila, apa kamu bisa seperti itu juga padaku?" gumamnya.
Setelah suara ketiganya terdengar berada di dalam, ia turun perlahan, lalu mendekati Naila yang baru saja meletakkan Reivan di sofa.
"Nai ... Esok Rindu ulang tahun yang keempat," suaranya terdengar datar, tapi sorot matanya tajam.
Naila mengangguk. "Iya, Mas. Aku sudah menandai hari ulang tahun Rindu, Reivan, dan Mas," ia tersenyum kaku. Masih merasa bersalah dengan yang telah terjadi.
Martin sedikit terkejut mendengar Naila juga mengingat ulang tahunnya. Namun, ia baru sadar, ia tak tahu tanggal kelahiran Naila.
"Sebenarnya, diam-diam sudah kupersiapkan acara kecil-kecilan untuk Rindu esok."
Martin melipat tangan di dada. "Kenapa tidak membicarakannya padaku? Aku ini papanya Rindu."
Naila tertegun. "Maaf... aku pikir ini hal kecil. Sepertinya, Mas sangat sibuk, jadinya aku melakukannya sendiri."
Martin menghela napas. "Kamu sering membuat keputusan sendiri, seolah aku nggak ada."
Naila bingung. "Ma-maaf, Mas." Ia tertunduk, sedikit merasa takut.
Martin menatapnya tajam. "Bukankah kamu itu istriku, Naila? Jadi, semua rencana, semua yang kamu lakukan, semua yang akan diberikan kepada Rindu dan Reivan harus kita bicarakan berdua."
"Apa kamu masih menganggap dirimu hanya pengasuh?"
Naila terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Rona wajahnya memutih, menyiratkan rasa takut dan rasa bersalah. Ia hanya bisa memainkan jemari kedua tangan bergantian.
Martin melihat reaksi Naila. Akhirnya menghela napas panjag dan melangkah lebih dekat. Suaranya merendah, tapi menusuk.
"Aku rasa kamu selalu menjaga jarak, denganku. Tapi apa kamu tahu, setiap malam aku lihat kamu memeluk Rindu dan Reivan tanpa mengingat posisi aku sebagai suami kamu. Anehnya, aku merasa... seperti orang asing di rumah sendiri."
Naila menunduk, jantungnya berdetak cepat.
Martin menatapnya lekat-lekat. "Aku kira aku bisa bersikap biasa. Tapi ternyata aku tak bisa. Bahkan, saat kamu tak menceritakan tentang aku, tentang pernikahan kita, hatiku terluka." Martin menarik tangan Naila menaruh di dadanya.
Sunyi. Tangan Naila terasa bergetar.
Martin melepaskan tangan Naila, beralih pada kedua bahu gadis itu. "Apakah kamu mau mengatakan semua yang terjadi padaku?"
Naila tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa mengangguk cepat.
Martin melepaskan genggamannya pada bahu Naila, lalu berbalik dan meninggalkan ruang tengah. Tapi langkahnya berat, masih ada yang belum bisa ia ungkapkan.
Naila masih berdiri di tempat, menatap punggung Martin yang semakin menjauh. Bibirnya bergetar dan kedua tangannya masih bergetar.
...
Saat Malamnya, rumah pun berangsur sunyi. Rindu dan Reivan telah lelap. Naila baru saja membantu Bik Rum dan ART di dapur. Ia keluar sejenak, menghirup segarnya udara malam. Tanpa sengaja melihat cahaya lampu menyala samar dari balkon kamar lantai dua, tempat Martin berada.
Di sana, Martin tampak berdiri menatap langit kelabu yang tak berbintang.
Naila teringat akan semua yang disampaikan Martin. Wajah Martin sore tadi masih terbayang jelas.
Dengan ragu, Naila naik ke lantai dua. Di depan pintu kamar itu, ia kembali berhenti. Tangannya sempat ingin mengetuk, tapi akhirnya perlahan ia mendorong daun pintu yang ternyata tidak dikunci.
Hening. Tak ada suara selain detak jantungnya sendiri. Kamar itu rapi dan beraroma maskulin. Tanpa berani menoleh terlalu banyak, Naila melangkah pelan ke arah balkon, mengikuti cahaya lampu temaram dan bayangan Martin.
Begitu sampai di ambang pintu balkon, ia berhenti sejenak. Lalu, dengan suara pelan, ia memanggil, "Mas..."
Pria itu menoleh. Wajahnya tampak lelah, matanya kosong memandang langit. "Kamu belum tidur?"
Naila menggeleng. "Baru mau ke kamar. Tapi aku lihat Mas masih di luar... aku khawatir... takut Mas masuk angin kelamaan di luar."
Martin tidak menjawab langsung. Tatapannya beralih kembali ke langit.
"Besok, kamu yang mendampingi Rindu tiup lilin ya," ucapnya akhirnya. "Biar aku yang memoto kalian."
Naila tersenyum kaku. "Kenapa tidak poto bersama?"
Martin mendengus kecil. "Dia lebih nyaman sama kamu. Aku mulai cemburu, tahu?"
Naila menunduk, malu sekaligus bingung.
Martin menatapnya dari samping. "Maaf ..."
Naila membalas tatapan Martin. "Maaf untuk apa?"
"Sepertinya aku terlalu keras ya?"
"...sedikit," jawab Naila jujur. "Tapi aku paham. Posisiku memang serba salah," bisiknya hampir tak terdengar.
Martin bergeming sejenak. Lalu suaranya berubah lirih, dalam. "Yang bingung itu justru aku, Naila."
Ia berbalik dan melangkah mendekat, langkahnya tenang namun tegas. Hanya berjarak satu langkah dari Naila sekarang.
"Dulu aku pikir... aku hanya butuh kamu sebagai pengasuh anak-anakku. Tapi kenyataannya, semuanya jadi berbeda. Aku ingin kamu dekat denganku juga, sebagaimana kamu dengan anak-anak kita."
"Mas..."
Martin menatapnya lekat-lekat. Tangannya bergerak ke kepala Naila yang selalu tertutup oleh kerudung. Seketika, bayangan Naila membuka kerudung kembali lewat. Tangannya pun berpindah pada kedua pipi Naila.
Naila menatap balik, matanya menyiratkan gelisah dan bingung.
"Apa kamu takut?"
Naila tak bisa berkata. Ia semakin gugup merasakan sentuhan-sentuhan lembut Martin. Naila mengatupkan bibirnya. Kata-kata Martin membuat gelisah.
"Mas... aku tak tahu harus bagaimana," bisiknya.
"Aku nggak mau pernikahan ini hanya sebatas di atas kertas. Aku ingin kamu, Naila."
Naila menunduk, merasa bersalah, tapi diam.
"Aku bahkan marah tanpa alasan karena kamu terus menghindar. Marah karena kamu lebih banyak tersenyum ke orang lain sementara padaku kamu selalu lari." Martin melepas kedua tangannya dan membelakangi sang istri.
Ia memejamkan mata, berusaha menahan diri dari sesuatu.
"Mas, jangan bilang begitu..." bisik Naila.
Martin menoleh pelan, menatapnya. Matanya kelihatan lelah. "Aku cinta padamu, Naila."
Naila menahan napas.
"Aku nggak tahu sejak kapan. Mungkin saat kamu merawat Rindu dan Reivan tanpa keluhan. Atau waktu kamu tertidur di sofa karena kecapekan, tapi pagi-pagi udah bangun buat bantu ART. Atau mungkin, waktu kamu peluk Reivan mengajarkan jalan. Waktu itu... aku sadar, kamu bukan hanya pengasuh anak-anakku. Kamu rumah buat kami semua."
Martin maju satu langkah. "Tapi aku takut. Takut kamu nggak merasakan hal yang sama. Takut kamu anggap semua ini cuma sandiwara pernikahan karena keadaan. Takut kamu akan pergi suatu hari nanti, dan aku harus kembali ke kesepian lagi."
Air mata Naila mengalir pelan. Martin perlahan menarik tangan Naila lalu menautkan jemari di antara jemari Naila.
"Aku bukan lelaki romantis, Naila. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—aku nggak mau kehilangan kamu. Kalau aku harus ulang semuanya dari awal, aku rela. Asal kamu tetap di sini. Di rumah ini. Di hidupku."
*Authornya lagi iseng, soalnya sepi wei, mana sawerannya ya?*