Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
“Kenapa Ibu diam-diam menjual gelang emas untuk menebus kesalahan Maria?” suara Doni terdengar dingin, menatap ke arah Bu Galuh tanpa berkedip sekalipun.
Yang ditanya justru tidak langsung menjawab. Bu Galuh masih duduk di atas kursi kayu sambil menunduk, tidak menyangka jika putra sulungnya itu akan sangat marah dengan tindakannya.
“Jawab, Bu!” cecar Doni yang belum mendapat jawaban satupun dari Ibunya.
“Ibu kasihan sama Maria,” akhirnya mulut Bu Galuh mengeluarkan suara. “Apa tidak terlalu jahat membiarkannya bekerja di ladang pak Herman satu bulan penuh?”
Bukan hanya Doni dan Ibunya saja di ruang tengah itu, Maria duduk di ujung ruangan sambil terus menunduk, meski sesekali masih memperhatikan ke arah suaminya. Sedangkan Luna, wanita itu hanya diam dan berdiri tidak jauh dari ketiganya.
Doni yang baru pulang bekerja, dengan seragam khas perkebunan yang masih menempel di tubuhnya, tampak begitu kesal atau mungkin kecewa pada keputusan yang diambil oleh Ibunya.
“Apa Ibu masih ingat? Saat Luna yang menjadi tersangka, Ibu begitu bersemangat untuk menyalahkannya secara sepihak,” nafas Doni terdengar berat. “Lalu sekarang dengan mudahnya Ibu mengatakan jika kasihan pada Maria?”
“Doni! Maria itu istri kamu!” bentak Bu Galuh pada putranya.
Suasana mendadak sunyi. Doni sadar, meski dirinya sangat marah pada Ibunya, tidak seharusnya dia melontarkan kata-kata kasar pada wanita yang telah melahirkannya itu.
Emosi Bu Galuh memuncak, nafasnya terasa sesak. Ia tidak mau disalahkan oleh putranya hanya karena seorang menantu seperti Luna.
Dengan linangan air mata yang membasahi wajah, Maria bangkit lalu mendekat ke arah suaminya. “Jadi kamu lebih memilih bertengkar denganku dan Ibu, hanya untuk membela Luna, Mas?” tanyanya lirih.
Doni masih diam. Kata-kata istrinya seolah seperti tamparan keras yang terasa hingga sampai ke dalam. Hening begitu terasa di ruangan itu, hingga suara langkah kaki dari arah depan mengalihkan semuanya.
David, yang awalnya tampak tersenyum saat memasuki rumah, kini harus dibuat bingung akan situasi yang ada di hadapannya. “Ada apa ini?” tanyanya langsung.
Semua orang masih diam, hingga Maria mendekat dengan mata merah karena menangis. “Mas Doni marahin aku dan Ibu, hanya karena…dia membela Luna.”
Mata David berubah tajam, “Benar begitu, Mas?” tanyanya langsung percaya pada ucapan Maria.
Doni tidak menjawab. Pria itu hanya memberikan tatapan sinis ke arah David, menyebarkan udara yang dingin menjadi lebih tegang dari sebelumnya.
Merasa diabaikan, David langsung beralih pada Luna. Satu-satunya orang yang akan sangat mudah untuk disalahkan, pikirnya. “Luna, kumohon jaga sikapmu,” perintahnya secara sepihak.
Tanpa pertimbangan, bahkan tanpa menanyakan kejadian sebenarnya dari sudut pandang Luna sendiri. David memutuskan untuk percaya begitu saja pada Ibu dan juga kakak iparnya.
Doni yang melihat pemandangan memuakkan ini, mulai tersenyum sinis. “Kalau begitu,” ucap Doni pelan. “Bolehkah Luna membantu istriku bekerja di ladang pak Herman mulai besok?”
Tanpa banyak berpikir, David mengangguk cepat. “Tentu saja boleh, semua keluarga memang seharusnya saling membantu.”
“Baiklah, kalau begitu,” Doni masih melanjutkan. “Daripada mereka berdua harus menjalani hukuman yang berat, bagaimana jika kita jual saja beberapa barang berharga untuk menebus kesalahan itu pada pak Herman?”
“Tidak bisa begitu, Mas!” David rupanya menolak saran Doni dengan tegas. “Setidaknya jangan menyusahkan keluarga dengan meminta Ibu untuk menebus kesalahan itu pada pak Herman.”
Doni tersenyum puas. Semburat rasa senang terukir jelas pada wajahnya, “Aku setuju dengan pendapat David. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya apapun, biarkan saja yang bersalah menjalani hukumannya.”
Kini tatapan Doni beralih pada David, “Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, istriku yang bersalah. Sedangkan Luna, dia tidak ada sangkut pautnya sama sekali dalam masalah ini.”
“La—lalu apa maksud, Mas menanyakan hal itu padaku?” Mata David membulat sempurna, merasa jika baru saja dijebak dalam permainan kata-kata yang diciptakan oleh kakaknya sendiri.
Tangan Doni berayun, menepuk pundak David satu kali. “Aku hanya ingin tahu pendapatmu saja.”
Langkah kaki panjang itu pergi meninggalkan ruang tengah. Tapi syukurlah semua berjalan sesuai dengan apa yang Doni pikirkan. Maria harus menerima hukumannya, sedangkan keadilan masih berpihak pada orang baik seperti Luna.
Luna yang sejak tadi hanya berdiri diam di tempatnya, kini mulai mengambil langkah maju, mendekat ke arah suaminya. Hingga kini jarak diantara mereka hanya sekitar beberapa sentimeter saja.
David menoleh, “Ada apa?” tanyanya dengan sinis.
“Sepertinya kamu tidak ada bosannya untuk menyalahkanku, ya?” tanya Luna setengah berbisik.
David menjauhkan dirinya dari Luna. Pria itu membuat gerakan merapikan kemejanya tapi dalam versi yang kasar, seperti orang yang tengah marah bercampur malu.
“Kenapa berpikir seperti itu?” tanya David lagi. Tubuhnya yang tegap berbalik tepat di hadapan Luna tanpa rasa takut. “Aku hanya mengatakan hal yang benar.”
“Kau memang tidak pernah berada di pihakku, David,” luna mengeratkan rahang, sebelum tubuhnya berbalik dan pergi dari hadapan pria itu tanpa sepatah kata apapun lagi.
Percuma berbicara pada pria berhati batu seperti David. Semua hal baik tentang Luna, sepertinya telah terhapus dari ingatannya.
Sedangkan di belakang sana, Maria terduduk lesu di atas kursi. Memikirkan bagaimana nasibnya kini, membayangkan bekerja di ladang pak Herman yang luas, serta cuaca panas, belum lagi tubuhnya pasti akan sangat kotor setelah bekerja disana.
Bu Galuh sendiri juga hanya bisa diam, hatinya sakit saat putranya sendiri justru malah berdiri tanpa ragu untuk membela orang lain, daripada berada di pihaknya.
Maria,masih memiliki sedikit harapan. Wanita itu berpikir pasti ada jalan untuk bisa keluar dari lingkaran yang menjebak ini. Ia mendekat ke arah Bu Galuh, lalu bersimpuh di hadapannya. Mata yang sembab karena banyak menangis itu mendongak memberikan permohonan.
“Bu, saya mohon. Bebaskan saya dari hukuman ini, saya tidak sanggup jika harus bekerja di ladang,” ucap Maria sambil memohon.
Sedangkan Bu Galuh sendiri, saat ini tidak bisa berbuat banyak. Rencananya telah gagal untuk menjatuhkan Luna, malah sekarang ia sendiri yang harus menanggung malu akibat kejadian itu.
“Ibu,” panggil Maria lagi yang masih pada posisi awalnya.
“Baiklah, Ibu tetap akan membayar pada pak Herman,” ujar Bu Galuh akhirnya.
David menoleh saat mendengar keputusan berani yang diambil oleh Ibunya. “Ibu yakin? Mas Doni bisa marah besar jika tahu akan hal ini.”
“Biarkan saja,” jawab Bu Galuh santai. “Meskipun marah, Doni tidak akan berani membentak Ibunya.”
David merasa lelah dan tidak mau ikut campur dalam masalah ini. Pria itu pergi menuju ke kamar tanpa mengatakan apa-apa.
Kebahagiaan yang dialaminya hari ini karena kehadiran sosok wanita baru dalam hidupnya, seketika buyar dengan konflik keluarga yang tidak pernah selesai.
Untungnya, kini David mempunyai seseorang yang bisa mendengarkan segala macam keluh kesahnya. Meski untuk sementara ini mereka hanya berteman, tapi David rutin mengirimkan pesan pada Kumala, untuk tetap menjaga kualitas komunikasi keduanya.
Seperti saat ini, David yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya, tampak tertawa sendiri sambil mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya.
Luna, yang saat ini berada di lantai dua, melihat dengan sangat jelas tentang apa yang dilakukan oleh suaminya di lantai bawah. Hanya saja Luna tidak tahu, kepada siapa David berkirim pesan. Hingga membuat pria itu tersenyum tanpa henti.
Meski terkadang sangat tidak peduli pada apa yang dilakukan oleh David, Luna tetaplah seorang istri yang akan merasa curiga dengan sikap aneh yang dilakukan suaminya. Membuatnya berpikir, jika mungkin saja dia harus memastikannya sendiri.
“Aku akan menunggu waktu, dan memeriksa ponselnya,” ungkap Luna penuh tekad.
BERSAMBUNG