NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

"Hari ini terakhir Kita ngangkatin lumpurnya. Besok lanjut renov, ya?" teriak Iman pada 3 orang karyawannya.

Nisa bersyukur, perkiraannya tidak salah. Hanya membutuhkan waktu seminggu untuk mengangkat lumpur itu.

"Besok Papah mulai belanja untuk keperluan renov ya, Mah." Nisa mengangguk senang.

Iman mengakui kebenaran pendapat Nisa dalam hatinya, tapi ia tidak mau mengungkapnya apalagi mengakui kalau Nisa itu benar.

Iman langsung belanja untuk keperluan renovasi. Ternyata itu menghabiskan banyak dana. Untung uangnya masih ada.

"Tuh, kalau Papah bayar tukang gali itu. Nggak akan cukup 'kan, Pah?" Iman juga senang. Ia bahkan dapat memberi upah pada karyawannya itu. Meskipun tidak banyak tapi mereka sangat senang menerimanya.

"Makasih, Bos!" teriak mereka serempak.

Akhirnya renovasi selesai. Tapi bagaimana membeli ikannya?

"Mah, Bang Ijay nawarin untuk nerusin kredit mobil Kita."

"Lah, terus uang muka yang udah Kita bayar gimana? 'Kan, sayang. 40 juta, lho."

'Lagian bang Ijay itu aneh - aneh aja. Dia yang nawarin mobil itu, tapi kok Dia mau Juga.'

"Dia udah beli mobil juga, 'kan?" ucap Nisa lagi. Iman mengangguk.

"Uang mukanya dia kembaliin setengah, jadi bisa buat beli ikan.

Setengah?

"Bang Ijay mobilnya kredit juga 'kan, Pah?"

"Iya. Emang kenapa?"

"Berapa bayar bulanannya?" meski bingung, Iman menyebutkan sejumlah angka. Setengah dari kreditan mobil Iman sekarang. Uang mukanya juga setengah uang muka mobil mereka.

"Kita tukeran aja, Pah! Dia suruh nambah karena uang muka Kita lebih besar. Kita jadi masih punya mobil." dengan cicilan segitu, Nisa percaya akan mampu membayarnya kalau pemancingan berjalan tidak seramai dulu.

Ternyata Ijay setuju. Ia benar - benar menyukai mobil itu.

Mobil berpindah tangan dan Iman mendapatkan uang untuk membeli ikan baru.

Dengan karyawan yang sama, mereka kembali membuka pemancingan.

Seperti dugaan Nisa, pemancingan tidak seperti dulu karena saat mereka off karena banjir dan renovasinya, banyak pemancing yang pindah ke tempat lain.

"Nggak papa. Syukurin aja." Meski akhirnya siang hari ditutup karena tidak ada pemancing yang datang.

Maya akhirnya berhenti karena hamil, padahal ia sangat suka bekerja di sini.

"Mbak Nisa baik. Dia nggak rewel sama sekali." Nisa juga tidak menahannya karena Maya yang tadinya bertugas siang berpindah ke malam karena siang tidak ada pemancing. Suaminya juga keberatan kalau bumil bekerja sampai tengah malam.

"Maafin Maya ya, Mbak kalau selama ini selalu bikin kesal Mbak." katanya saat berpamitan.

"Apaan sih, May?" Nisa memeluk Maya yang sudah Dia anggap sebagai adiknya sendiri.

Suami Maya juga menyalami Nisa.

"Makasih, Mbak. Udah menjaga Maya selama beberapa tahun ini."

"Saya juga makasih ya Bang, udah mengizinkan Maya bekerja di sini."

Perpisahan memang tidak ada yang menyenangkan. Ada airmata di mata Maya dan Nisa.

Rumah Mumu selesai setelah Iman, baru Edi dan terakhir Yanah. Keluarga mereka kini benar - benar berkumpul di sini.

Edi yang kini hanya tinggal berdua dengan Sari, istrinya, seharusnya dapat hidup lebih tenang karena anak - anaknya menempati rumahnya masing - masing.

"Mamah, minta nasi, dong.." Bara masuk dengan membawa 2 piring di tangannya.

"Kamu kok sampai bawa 2 piring begitu?" tanya Sari. Sepertinya Bara bukan hanya ingin minta nasi.

Perkiraan Sari benar. Bara juga memindahkan lauk pauk yang dimasak Sari ke atas piringnya.

"Emang istrimu nggak masak, Bar?"tanya Sari lembut. Bara menggeleng.

"Ini juga sekalian ngambilin buat Dia, Mah." Bara langsung ngeluyur untuk pulang ke runahnya yang berupa rumah petak yang saling menempel satu sama lain.

Sari menghela nafas.

"Apa bedanya dulu dan sekarang?" bisik Sari. Tempat tinggalnya saja yang berpisah, Anak - anak tetap merecoki mereka. Hanya Mona yang tidak tinggal di sini. Ia mengikuti suami pulang ke kampungnya di daerah jawa tengah sana.

********

Anak Edi ada 5 dan semuanya sudah menikah. Kecuali Mona dan Lisa, semua tinggal di rumah petakan yang dibangun oleh Edi saat itu.

"Sama aja, Pah. Mereka cuma misah rumah, makan tetap aja nyendok ke sini." keluh Sari.

"Nggak usah masak, Mah!" reaksi Edi didengar oleh Bara.

"Bapak gitu, ya? Mau perhitungan sama anak? Boleh! Emang Bapak nggak bakal jadi tua, apa?" sentak sang anak. Edi semakin kesal.

"Bapak udah kenyang ya ngurusin Kalian semua sampai segede ini. Udah Bapak kawinin juga. Udah cukup, Bar! Seharusnya gantian, dong! Kalian yang ngurusin Bapak sama Mamah!" Edi melotot. Bara juga melotot.

"Jadi Saya nggak boleh ngambil makan di sini lagi?" Sari merasa bersalah telah mengeluh pada suaminya.

"Bukan gitu, Bar. Mamah.."

"Oke! Mulai sekarang Bara nggak mau nginjak rumah ini lagi." Bara menghentakkan kakinya sebelum bergegas keluar.

Sari mengejarnya.

"Bara! Tunggu, Bar..!"

Edi langsung menangkap lengan Sari.

"Udah biarin, Mah! Pengen tau, Dia mau kuat berapa lama!"

Bara yang mendengar panggilan mamanya merasa senang. Ia tahu Mamahnya tidak akan pernah setega itu. Tapi teriakan selanjutnya dari Bapaknya membuatnya kembali terbakar amarah.

"Awas aja Kamu, Pak! Bapak kayak nggak butuh sama anak aja!"

Seperti Iman, Edi juga mahir servis. Tapi ia kalah pintar dengan adiknya itu. Kalau Iman bisa memperbaiki semuanya, Edi hanya mampu servis motor.

"Aku mau mancing. Besok lagi aja, ya?"

Tapi seperti Iman, sekiranya ia sudah merasa cukup, ia menolak servis yang datang lagi.

Darah lebih kental dari air, ya?

Pemancingan malam hari masih dapat menopang kehidupan Iman dan Nisa. Terutama pendapatan dari warungnya. Nisa masih dapat menyisakan pendapatannya untuk biaya kuliah Nino dan kebutuhan harian mereka.

"Bayaran untuk semester ini udah ada, Mah?" tanya Nino hati - hati. Ia tidak mau membuat pusing Mamahnya.

"Ada, Nang. Tenang aja." Senyum Nisa. ia ikhlas meski harus mengalahkan kebutuhannya sendiri. Ia sudah tidak lagi membeli skincare yang biasa ia beli.

Iman sendiri mulai berlepas tangan. Ia merasa Nisa sudah mampu mencukupi kebutuhan mereka.

"Pah, Mamah minta duit, dong."

"Buat apa, sih?" sebenarnya Iman selalu memiliki uang karena ia masih menerima servis mobil dari teman - temannya.

"Mamah malas masak. Mau beli, duitnya kurang." Iman pun mengulurkan lembaran biru. Hanya selembar.

'Kenapa Papah tambah pelit, ya?' gumam hati Nisa. Iman tidak memberi kalau tidak diminta. Alasannya,

"Kan uangnya udah Mamah pegang semua?" uang ikan, maksudnya.

"Mamah cuma pegang, Pah.'Kan uangnya diminta Papah terus buat beli ikan. Buat beli pelet juga. Buat bonus juga." ucap Nisa gemas.

"Tapi masih cukup 'kan buat belanja?"

"Itu duit warung, Pah!"

"Nah itu ada. Pakai aja dulu!"

Selalu begitu. Pakai aja dulu. Sampai muak Nisa mendengarnya.

Iman juga tidak mau tahu berapa uang semesteran Nino, SPP Deni atau yang lainnya.

"Papah berangkat dulu, ya." Iman semakin tenggelam dengan kesenangannya sendiri. Mancing sana - sini. Offroad sana - sini.

Nisa mulai menerima keadaannya. Selama masih ada uang di tangannya, ia tidak akan meminta pada Iman.

.

*********

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!