Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Kembali
Hari itu, hujan turun gerimis membasahi halaman rumah besar milik Dave. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan mencekam, seolah ikut merasakan kekosongan setelah kepergian Ana. Pintu utama masih terbuka sedikit, memperlihatkan jejak basah di lantai marmer yang tertinggal sejak Ana diseret paksa oleh Ratna dan Rani.
Pak Wen berdiri mematung di sudut ruangan, wajahnya murung. Matanya masih memandang kosong ke arah pintu, seakan berharap Ana akan kembali dan berdiri di ambang pintu dengan senyumnya yang lembut. Sebenarnya ia ingin sekali mempertahankan Ana, tapi statusnya di rumah ini hanyalah seorang kepala pelayan.
Namun harapan itu buyar ketika suara mobil terdengar dari luar. Dave baru saja pulang. Langkah kakinya cepat, terdengar menuruni mobil. Pintu dibuka lebar. Nafasnya masih sedikit terengah, mungkin karena hujan dan kelelahan.
“Ana!” Dave memanggil Ana karena biasanya gadis itu selalu menyambut kepulangan. "Pak Wen?" tanyanya curiga saat melihat ekspresi kepala pelayannya yang tampak cemas.
Pak Wen mendekat dengan ragu, menyeka tangannya yang masih lembap karena air hujan.
"Maaf, Tuan," ucapnya lirih. "Nona Ana baru saja dibawa pulang oleh Nyonya Ratna. Mereka memaksa Ana untuk pulang bersama mereka.”
Dave diam. Rahangnya mengeras, namun tidak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya memejamkan mata sesaat, lalu berkata pelan namun tegas, “Biarkan saja.”
Pak Wen menatapnya, bingung. “Tapi Tuan, nona Ana tidak ingin pergi. Aku sudah berusaha menghalangi, tapi…”
“Aku bilang biarkan saja,” potong Dave. Kali ini suaranya dingin dan tajam. “Sebentar lagi, aku akan menceraikannya.”
Pak Wen menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya perih mendengar kata-kata itu. Mungkin ia hanya kepala pelayan, tapi ia sudah menganggap Ana seperti putrinya sendiri. Ia tahu bagaimana Ana berusaha menjadi istri yang baik, meski sering diperlakukan dingin oleh Dave. Ia tahu bagaimana Ana tetap bersikap sopan, tak pernah membalas meski dihina oleh keluarga Dave.
Dengan suara gemetar, Pak Wen berkata, “Maaf, Tuan. Tapi Ana tidak layak diperlakukan seperti ini. Dia gadis yang baik. Dia mencintaimu, Tuan.”
Dave menoleh, menatap Pak Wen dengan sorot tajam. Tapi di balik tatapan itu, ada sedikit getar yang tidak bisa disembunyikan. Ia tak menyangka Pak Wen akan berkata seperti itu. Namun, ia tidak menjawab. Ia melangkah menuju tangga, membiarkan ucapan itu menggantung di udara.
Di kamarnya, Dave membuka lemari pakaian Ana. Masih ada beberapa pakaian yang tertinggal. Ia menatapnya sejenak, lalu menutup lemari itu kembali dengan kasar.
Sementara itu, di rumah Ratna, Ana terduduk lemas di sofa ruang tengah. Matanya bengkak karena menangis. Pipinya memerah akibat tamparan keras Rani yang memaksanya masuk ke dalam mobil. Ratna hanya duduk sambil menyesap teh, seolah tak terjadi apa-apa.
“Seharusnya kau sadar diri, Ana. Kau dan Dave sama sekali tidak pantas bersanding. Mulai sekarang, kau harus pergi mencari pekerjaan yang lain.”
Rani menyeringai, menyandarkan diri di dinding sambil melipat tangan. “Lagi pula sebentar lagi kau akan segera diceraikan Dave.”
Ana hanya bisa terdiam. Ia ingin membela diri, ingin berteriak bahwa ia tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tapi suaranya tertahan. Hatinya masih belum bisa menerima kenyataan tentang hidupnya yang gampang sekali di permainkan.
Malam pun tiba. Hujan masih belum reda.
Di rumah Dave, Pak Wen duduk di dapur, menatap gelas kopinya yang sudah dingin. Ia menghela napas panjang. Dalam hati, ia berdoa, semoga Dave segera sadar sebelum semuanya terlambat. Karena ia tahu, tak mudah menemukan wanita seperti Ana. Wanita yang tetap setia meski hati terus terluka.
***
Keesokan paginya, langit masih mendung. Sisa hujan semalam meninggalkan genangan air di halaman, dan embun masih menempel di kaca-kaca jendela rumah Dave. Udara pagi terasa lembab, dan suasana rumah pun masih murung sejak kepergian Ana.
Dave turun dari lantai atas dengan langkah mantap, mengenakan kemeja putih dan jas hitam yang rapi. Di tangannya, ia menggenggam secarik kertas yang baru saja ia ketik tadi malam.
Andre sudah menunggu Dave di lantai bawah. Mata Andre langsung melirik amplop cokelat yang disodorkan tuannya.
"Ini gugatan cerainya. Kirimkan hari ini juga ke alamat tempat tinggal Ana sekarang," kata Dave singkat.
Andre menerima amplop itu dengan ekspresi bingung. Ia sempat menatap wajah Dave, mencari isyarat apakah keputusan ini bisa ditawar, tetapi Dave tidak memberi celah. Sorot matanya tajam, tak terbaca emosi.
"Kau yakin?" tanya Andre pelan, mencoba berhati-hati. "Ini cukup mendadak. Seharusnya kau bicara lebih dulu dengan Ana. Biar bagaimana pun, dia tidak memiliki kesalahan apapun padamu.”
Dave menyilangkan tangan di depan dada. “Tidak perlu. Katakan juga padanya, jangan pernah kembali ke rumah ini lagi. Aku tidak ingin melihat wajahnya. Lagi pula dia adalah istri yang dibeli oleh Lusi.”
Kalimat itu menusuk, bahkan untuk Andre yang hanya menyampaikan pesan. Ia mengangguk pelan, menahan napas, lalu berkata, “Baiklah. Jangan menyesal, itu saja pesanku.”
Setelah Andre keluar dari rumah, Pak Wen yang berdiri tak jauh di balik pintu, ikut mendengar percakapan tersebut. Ia menunduk dalam-dalam, menahan getir yang menyeruak di dadanya. Sesuatu dalam dirinya merasa keputusan itu keliru. Tapi ia tahu, bukan posisinya untuk mencampuri urusan keluarga majikannya, meski hatinya memberontak.
Sementara itu, di rumah Ratna, Ana sedang duduk di kamar kecil yang sempit dan tak pernah ia rindukan. Dindingnya lembab, dan suara Ratna dari luar terdengar terus mengeluh soal kehidupan hidup yang semakin mahal. Ana belum keluar kamar sejak pagi, dan tak berselera untuk makan.
Ketukan di pintu depan membuat Ratna bergegas membuka. Di sana berdiri Andre dengan raut wajah serius, membawa berkas dan sebuah pesan.
"Maaf, Bu. Aku ingin bertemu dengan Ana. Ada beberapa hal yang harus aku sampaikan kepadanya.”
Ratna menaikkan alis. "Untuk apa lagi?” tanya Ratna dengan nada membentak.
Andre tidak menjawab, hanya menunggu. Ratna akhirnya memanggil Ana dengan nada kesal.
"Ada yang mencarimu. Cepat keluar!"
Ana melangkah pelan keluar kamar. Rambutnya masih terurai kusut, wajahnya pucat. Ketika ia melihat Andre, hatinya tercekat. Sesuatu dalam dirinya langsung tahu, Andre pasti diminta untuk menjemput dirinya.
“Selamat pagi, Ana,” ucap Andre sopan. “Aku diminta untuk menyerahkan ini.”
Ia menyerahkan amplop berisi surat gugatan cerai. Ana menerimanya dengan tangan gemetar.
“Dan pesan dari Dave,” lanjut Andre, menunduk sedikit sebelum mengucapkannya, “Dia memintamu untuk tidak kembali ke rumah. Dia tidak ingin melihatmu lagi.”
Ana seperti kehilangan suara. Matanya menatap kosong pada amplop yang kini berada di genggamannya. Rani yang berdiri di belakang Ratna menyeringai penuh kemenangan, sementara ibunya mendengus pelan. Rencana mereka berhasil, dengan begitu, mereka akan segera mendapatkan uang dari Bella dan Nyonya Lusi.
"Baguslah, akhirnya sadar juga dia. Anak ini memang bukan istri yang pantas," gumam Ratna dengan tajam.
Namun Ana tetap diam. Ia tidak membantah, tidak menangis. Hanya matanya yang perlahan memerah. Ia menunduk, membungkuk sopan pada Andre.
“Terima kasih sudah menyampaikan,” ucapnya lirih.
Andre merasa tidak enak hati. Ia tahu Ana tidak bersalah. Tapi pekerjaannya hanya menjalankan perintah. Ia menatap Ana sejenak, lalu pergi tanpa berkata lagi.
Setelah pintu tertutup, Ana melangkah kembali ke kamarnya, memeluk surat itu erat-erat. Bukan karena ia ingin mempertahankan pernikahan itu, tapi karena di surat itu, ada akhir yang tak pernah ia bayangkan. Akhir dari semua pengorbanan yang ia lakukan.
Dan di rumah besar yang kini semakin sunyi, Pak Wen kembali berdiri di jendela dapur, memandang hujan gerimis yang turun lagi. Dalam hatinya ia bergumam, "Tuan Dave, semoga suatu hari nanti kau menyadari, bahwa kau telah melepas perempuan yang benar-benar mencintaimu."